RELEVANSI TEORI TERHADAP KASUS,
(Observasi: Budaya Tradisional "Mapag" Bayi Lahir).
Budaya tradisional “mapag” bayi lahir merupakan suatu budaya yang
terdapat pada masyarakat Sunda secara umum, secara khusus budaya ini ada pada
masyarakat sunda dusun Sindanghayu, daerah Ciamis – Jawa Barat. Budaya tradisional
“mapag” bayi ini adalah budaya yang dilakukan masyarakat sekitar yang dilakukan
ketika ada seorang anak yang baru dilahirkan, secara spontan warga masyarakat
(tetangga) berbondong-bondong melihat bayi tersebut dan tidak hanya sampai disitu,
ketika malam tiba warga masyarakat kembali datang kekediamannya untuk menemani
bayi tersebut, ada yang hingga larut malam. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan
sebenarnya tidak ada yang spesial, dalam artian adanya keharusan-keharusan yang
perlu dilaksanakan. Aktivitas tersebut memang hanya bermaksud untuk menemani,
hanya aktivitas kebiasaan-kebiasaan lazimnya bertamu saja.
Berdasarkan teori yang dicetuskan oleh para
tokoh sosiologi tentang perubahan sosial, salah satunya adalah Auguste Comte (Johnson, 1986: 87) memandang
perubahan itu bersifat evolusi atau secara lambat. Menurut Comte semua
masyarakat berkembang dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain. Idenya
dirumuskan dalam sebuah konsep “Hukum Tiga Tahap” (Law of Three Stages). Comte (Ritzer, 2012: 25) berpandangan bahwa pemikiran manusia
berubah dari tingkatan teologi, kemudian metafisika dan akhirnya pada tahap
positif atau tahap rasionalitas. Pada tingkatan positif ini faktor-faktor intelektual memainkan peran yang utama, atau pun pada tingkatan positif ini kepercayaan pada ilmu dan rasionalitas yang menjadi dasar utama.
Studi
kasus perubahan budaya tradisi “mapag” bayi lahir yang ada didaerah dusun
Sindanghayu terdapat perubahan-perubahan yang terjadi. Dilihat dari teori
Auguste Comte, dalam teori tiga tahapnya disebutkan bahwa (pemikiran) manusia
berkembang dari satu tingkat ke tingkat yang lainnya. Bisa dilihat budaya
tradisional “mapag” bayi lahir pada awalnya atau menurut Comte pada masa
teologis, metafisis bahwa (pemikiran) masyarakatnya menganggap dengan menemani
seorang anak yang baru dilahirkan akan mencegah dari gangguan roh-roh jahat
yang bertujuan untuk mengambil bayi tersebut. Selain itu ada yang berpandangan
pula agar tidak ada yang mengambil bagian-bagian dari bayi, seperti “ari-ari”
bayi tersebut, misalkan untuk dijadikan syarat perdukunan dan lain sebagainya. Budaya
tersebut semata-mata bertujuan untuk menjaga si Bayi dari gangguan-gangguan
roh-roh jahat maupun manusia sendiri untuk dijadikannya syarat praktik-praktik
perdukunan. Intinya pada masa itu pemikiran manusia masih bersifat mistis. Akan
tetapi disana pandangan tersebut sudah berubah, menurut comte sudah masuk ke
tahap Positifis, bahwa masyarakat dusun Sindanghayu, daerah Ciamis – Jawa Barat
sudah tidak mempercayai lagi dengan pandangan tersebut, akan tetapi
tujuan-tujuan menemani bayi tersebut sudah rasional yakni sebagai ungkapan rasa
bahagia karena sudah terlahirnya seorang anak, ikut merasakan kebahagiaan
bersama keluarga yang melahirkan anak tersebut. Tentunya bayi tersebut akan
menjadi bagian dari masyarakat daerah dusun Sindanghayu disana.
Tokoh
Sosiologi kenamaan Prancis, Emile Durkheim (Plumer, 2011: 25) memberikan pandangan tentang
masyarakat, bahwa masyarakat berdiri dengan cara yang khas sebagai sebuah
kenyataan kolektif atas individu-individu yang berada di dalamnya, juga
terdapat perihal sosial yang menjadi sebuah fakta diluar individu yang merubah
individu itu sendiri (atau sering juga disebut sengan “fakta sosial”).
Berdasarkan
pemikiran Durkheim bahwa dalam masyarakat itu terdapat faktor-faktor diluar
individu yang merubah individu, karena masyarakat merupakan kumpulan dari
individu-individu maka perubahan individu tersebut akan berpengaruh terhadap
masyarakat dan akan menghasilkan suatu kebudayaan. Perubahan yang terjadi pada
tradisi “mapag” bayi lahir merupakan hasil dari faktor diluar individu yang
merubahnya. Salah satunya melalui media. Media memberikan peran yang begitu
dominan dalam perubahan sosial budaya. Misalnya, di era high-Teknologi
dewasa ini seiring dengan pemikiran manusia yang begitu rasional, setiap
informasi dipublikasikan lewat media yang akan merubah pemikiran manusianya itu
sendiri. Lebih spesifik lagi pemaknaan terhadap budaya “mapag” bayi tersebut
tentunya tidak akan lagi dipandang sebagai sesuatu yang mistis, dewasa ini akan
di pandang secara rasional. Walaupun demikian tentunya masih tetap ada saja masyarakat
yang masih berpandangan mistis. Akan tetapi cara umum pandangan rasional yang
mendominasi masyarakat dewasa ini.
Sedangkan
menurut Himes dan Moore (Soelaiman, 115) dimensi perubahan sosial itu meliputi dimensi
perubahan struktural, dimensi kultural, dan dimensi interaksional. Disana tentunya jelas bahwa perubahan sosial meliputi dimensi kultural atau
budaya. Bahwa budaya tradisional “mapag” bayi lahir mengalami perubahan, salah
satunya dalam aspek pola pikir masyarakatnya.[]
0 komentar:
Posting Komentar