Selasa, 03 Desember 2013

RELEVANSI TEORI TERHADAP KASUS (Observasi: Budaya Tradisional "Mapag" Bayi Lahir)

RELEVANSI TEORI TERHADAP KASUS,

(Observasi: Budaya Tradisional "Mapag" Bayi Lahir).



Budaya Indonesia.
Budaya tradisional “mapag” bayi lahir merupakan suatu budaya yang terdapat pada masyarakat Sunda secara umum, secara khusus budaya ini ada pada masyarakat sunda dusun Sindanghayu, daerah Ciamis – Jawa Barat. Budaya tradisional “mapag” bayi ini adalah budaya yang dilakukan masyarakat sekitar yang dilakukan ketika ada seorang anak yang baru dilahirkan, secara spontan warga masyarakat (tetangga) berbondong-bondong melihat bayi tersebut dan tidak hanya sampai disitu, ketika malam tiba warga masyarakat kembali datang kekediamannya untuk menemani bayi tersebut, ada yang hingga larut malam. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan sebenarnya tidak ada yang spesial, dalam artian adanya keharusan-keharusan yang perlu dilaksanakan. Aktivitas tersebut memang hanya bermaksud untuk menemani, hanya aktivitas kebiasaan-kebiasaan lazimnya bertamu saja.
Berdasarkan teori yang dicetuskan oleh para tokoh sosiologi tentang perubahan sosial, salah satunya adalah Auguste Comte (Johnson, 1986: 87) memandang perubahan itu bersifat evolusi atau secara lambat. Menurut Comte semua masyarakat berkembang dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain. Idenya dirumuskan dalam sebuah konsep “Hukum Tiga Tahap” (Law of Three Stages). Comte (Ritzer, 2012: 25) berpandangan bahwa pemikiran manusia berubah dari tingkatan teologi, kemudian metafisika dan akhirnya pada tahap positif atau tahap rasionalitas. Pada tingkatan positif ini faktor-faktor intelektual memainkan peran yang utama, atau pun pada tingkatan positif ini kepercayaan pada ilmu dan rasionalitas yang menjadi dasar utama.
Studi kasus perubahan budaya tradisi “mapag” bayi lahir yang ada didaerah dusun Sindanghayu terdapat perubahan-perubahan yang terjadi. Dilihat dari teori Auguste Comte, dalam teori tiga tahapnya disebutkan bahwa (pemikiran) manusia berkembang dari satu tingkat ke tingkat yang lainnya. Bisa dilihat budaya tradisional “mapag” bayi lahir pada awalnya atau menurut Comte pada masa teologis, metafisis bahwa (pemikiran) masyarakatnya menganggap dengan menemani seorang anak yang baru dilahirkan akan mencegah dari gangguan roh-roh jahat yang bertujuan untuk mengambil bayi tersebut. Selain itu ada yang berpandangan pula agar tidak ada yang mengambil bagian-bagian dari bayi, seperti “ari-ari” bayi tersebut, misalkan untuk dijadikan syarat perdukunan dan lain sebagainya. Budaya tersebut semata-mata bertujuan untuk menjaga si Bayi dari gangguan-gangguan roh-roh jahat maupun manusia sendiri untuk dijadikannya syarat praktik-praktik perdukunan. Intinya pada masa itu pemikiran manusia masih bersifat mistis. Akan tetapi disana pandangan tersebut sudah berubah, menurut comte sudah masuk ke tahap Positifis, bahwa masyarakat dusun Sindanghayu, daerah Ciamis – Jawa Barat sudah tidak mempercayai lagi dengan pandangan tersebut, akan tetapi tujuan-tujuan menemani bayi tersebut sudah rasional yakni sebagai ungkapan rasa bahagia karena sudah terlahirnya seorang anak, ikut merasakan kebahagiaan bersama keluarga yang melahirkan anak tersebut. Tentunya bayi tersebut akan menjadi bagian dari masyarakat daerah dusun Sindanghayu disana.
Tokoh Sosiologi kenamaan Prancis, Emile Durkheim (Plumer, 2011: 25) memberikan pandangan tentang masyarakat, bahwa masyarakat berdiri dengan cara yang khas sebagai sebuah kenyataan kolektif atas individu-individu yang berada di dalamnya, juga terdapat perihal sosial yang menjadi sebuah fakta diluar individu yang merubah individu itu sendiri (atau sering juga disebut sengan “fakta sosial”).
Berdasarkan pemikiran Durkheim bahwa dalam masyarakat itu terdapat faktor-faktor diluar individu yang merubah individu, karena masyarakat merupakan kumpulan dari individu-individu maka perubahan individu tersebut akan berpengaruh terhadap masyarakat dan akan menghasilkan suatu kebudayaan. Perubahan yang terjadi pada tradisi “mapag” bayi lahir merupakan hasil dari faktor diluar individu yang merubahnya. Salah satunya melalui media. Media memberikan peran yang begitu dominan dalam perubahan sosial budaya. Misalnya, di era ­high-Teknologi dewasa ini seiring dengan pemikiran manusia yang begitu rasional, setiap informasi dipublikasikan lewat media yang akan merubah pemikiran manusianya itu sendiri. Lebih spesifik lagi pemaknaan terhadap budaya “mapag” bayi tersebut tentunya tidak akan lagi dipandang sebagai sesuatu yang mistis, dewasa ini akan di pandang secara rasional. Walaupun demikian tentunya masih tetap ada saja masyarakat yang masih berpandangan mistis. Akan tetapi cara umum pandangan rasional yang mendominasi masyarakat dewasa ini.
Sedangkan menurut Himes dan Moore (Soelaiman, 115) dimensi perubahan sosial itu meliputi dimensi perubahan struktural, dimensi kultural, dan dimensi interaksional. Disana tentunya jelas bahwa perubahan sosial meliputi dimensi kultural atau budaya. Bahwa budaya tradisional “mapag” bayi lahir mengalami perubahan, salah satunya dalam aspek pola pikir masyarakatnya.[]

0 komentar:

Posting Komentar