Jumat, 06 Desember 2013

Fenomena Slum (Kota Kumuh) di Ibukota

Fenomena Slum (Kota Kumuh) di Ibu kota,
Oleh: Agus Mauluddin, Sosiologi IV A (copyright).





Sering kita mendengar term slum, istilah itu sangat familiar bagi para pengamat atau penggandrung sosiologi perkotaan. Slum secara simplifikasi bisa diartikan kota kumuh. Kota kumuh seperti apa yang dimaksudkan? Kumuh yang tidak terawat tanpa adanya sanitasi, atau seperti apa?
Fenomena yang bisa kita lihat secara empiris, semisal ibukota Jakarta acap kali terlihat orang-orang yang menempati tempat tinggal “kumuh”, disamping bangunan-bangunan yang menjulang tinggi bak pencakar langit. Hal tersebut seakan-akan menjadi suatu fenomena yang biasa di ibukota Jakarta. Berangkat dari fenomena tersebut, sebenarnya faktor seperti apakah yang paling dominan atau yang melatar belakangi realita sosial yang ada seperti itu? Juga jika ditanya siapakah pihak yang harus disalahkan? Pemerintahkah, atau warga masyarakatnya sendiri? Ataukah ada pihak-pihak lain yang paling harus disalahkan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita lihat dari berbagai aspek. Semisal, kita runut dari faktor penyebabnya. Salah satu faktor penyebab terjadinya pemukiman kumuh di Ibukota adalah adanya faktor urbanisasi, yang mana disana terdapatnya Push Factor dan Pull Factor. Faktor pendorong atau Push Factor dari urbanisasi itu salah satunya karena pekerjaan di desa kurang memadai, sektor agraris yang kurang menguntungkan dan lain-lain. Juga Faktor penarik atau Pull Factor dari urbanisasi itu adanya stereotip positif, yang mana kota lebih menjanjikan pekerjaan. Walaupun kenyataannya bisa jadi bertolak belakang dengan stereotip yang ada. Itulah faktor urbanisasi yang berimplikasi pada terjadinya slum di ibukota. Selain faktor tersebut, sektor pemerintahan pun terlibat di dalamnya. Secara realita yang ada, bahwa pemerintah belum atau kurang memperhatikan pelokasian bagi para warga rural (desa) yang bermigrasi ke kota.
Jika memandang secara global pun, India yang nota bene Negara terpadat ke dua setelah RRC hingga era kini di tahun 2013, dari beberapa referensi mengatakan 75% adalah pedesaan atau masyarakat rural. Yang mana hal tersebut bisa berdampak pada urbanisasi yang besar dan berimplikasi pada terjadinya slum (kota kumuh). Hal tersebut merupakan suatu fenomena global yang bisa kita temui di luar Negara Indonesia. Memang secara substantif realita sosial yang ada tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di Indonesia.
Solusi yang ditawarkan penulis, setelah merefleksikan fenomena empiris yang ada. Maka pentingnya memperhatikan sektor-sektor yang ada di masyarakat rural (desa) agar tidak terjadinya pembludakan urbanisasi yang akan berimplikasi pada slum (kota kumuh). Semisal, diperhatikannya para petani dan hasil taninya di Negara sendiri yang bisa saja meningkatkan banyaknya lapangan pekerjaan di pedesaan. Selain itu, solusi lainnya ketika solusi pertama sudah dijalankan, sedikit banyaknya masyarakat tidak akan membludak di masyarakat urban (kota), juga menitik beratkan pada masyarakat urban yang sudah senyatanya slum, maka pemerintah di masyarakat urban menyediakan lokasi yang nyaman bagi para pendatang.

Fenomena tersebut menjadi bahan introspeksi diri, sehingga di lingkungan yang kita diami akan terciptanya sanitasi lingkungan yang baik, berpola hidup bersih, berpandangan cinta lingkungan. Karena akan berdampak pada good environment dan efeknya akan bisa dirasakan sendiri oleh personal.

Catatan: Tulisan ini (dengan beberapa penambahan) pernah diterbitkan di koran Sinarharapan, 17 November 2015. link: http://www.sinarharapan.co/news/read/151117134/kota-kumuh-dan-konvergensi-antara-rural-dan-urban

0 komentar:

Posting Komentar