Fenomena
Slum (Kota Kumuh) di Ibu kota,
Sering kita mendengar term
slum, istilah itu sangat familiar bagi
para pengamat atau penggandrung sosiologi perkotaan. Slum secara simplifikasi bisa diartikan kota kumuh. Kota kumuh
seperti apa yang dimaksudkan? Kumuh yang tidak terawat tanpa adanya sanitasi,
atau seperti apa?
Fenomena yang bisa kita lihat secara empiris, semisal ibukota
Jakarta acap kali terlihat orang-orang yang menempati tempat tinggal “kumuh”,
disamping bangunan-bangunan yang menjulang tinggi bak pencakar langit. Hal
tersebut seakan-akan menjadi suatu fenomena yang biasa di ibukota Jakarta. Berangkat
dari fenomena tersebut, sebenarnya faktor seperti apakah yang paling dominan
atau yang melatar belakangi realita sosial yang ada seperti itu? Juga jika
ditanya siapakah pihak yang harus disalahkan? Pemerintahkah, atau warga
masyarakatnya sendiri? Ataukah ada pihak-pihak lain yang paling harus disalahkan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut kita lihat dari berbagai aspek. Semisal, kita runut dari faktor
penyebabnya. Salah satu faktor penyebab terjadinya pemukiman kumuh di Ibukota
adalah adanya faktor urbanisasi, yang mana disana terdapatnya Push Factor dan Pull Factor. Faktor pendorong atau Push Factor dari urbanisasi itu salah satunya karena pekerjaan di
desa kurang memadai, sektor agraris yang kurang menguntungkan dan lain-lain.
Juga Faktor penarik atau Pull Factor dari
urbanisasi itu adanya stereotip positif, yang mana kota lebih menjanjikan
pekerjaan. Walaupun kenyataannya bisa jadi bertolak belakang dengan stereotip
yang ada. Itulah faktor urbanisasi yang berimplikasi pada terjadinya slum di ibukota. Selain faktor tersebut,
sektor pemerintahan pun terlibat di dalamnya. Secara realita yang ada, bahwa
pemerintah belum atau kurang memperhatikan pelokasian bagi para warga rural (desa) yang bermigrasi ke kota.
Jika memandang secara global pun, India
yang nota bene Negara terpadat ke dua setelah RRC hingga era kini di tahun 2013,
dari beberapa referensi mengatakan 75% adalah pedesaan atau masyarakat rural. Yang mana hal tersebut bisa
berdampak pada urbanisasi yang besar dan berimplikasi pada terjadinya slum (kota kumuh). Hal tersebut
merupakan suatu fenomena global yang bisa kita temui di luar Negara Indonesia. Memang
secara substantif realita sosial yang ada tidak jauh berbeda dengan apa yang
ada di Indonesia.
Solusi yang ditawarkan penulis, setelah
merefleksikan fenomena empiris yang ada. Maka pentingnya memperhatikan
sektor-sektor yang ada di masyarakat rural
(desa) agar tidak terjadinya pembludakan urbanisasi yang akan berimplikasi
pada slum (kota kumuh). Semisal,
diperhatikannya para petani dan hasil taninya di Negara sendiri yang bisa saja
meningkatkan banyaknya lapangan pekerjaan di pedesaan. Selain itu, solusi lainnya
ketika solusi pertama sudah dijalankan, sedikit banyaknya masyarakat tidak akan
membludak di masyarakat urban (kota), juga menitik beratkan pada masyarakat
urban yang sudah senyatanya slum, maka
pemerintah di masyarakat urban menyediakan lokasi yang nyaman bagi para
pendatang.
Fenomena tersebut menjadi bahan
introspeksi diri, sehingga di lingkungan yang kita diami akan terciptanya
sanitasi lingkungan yang baik, berpola hidup bersih, berpandangan cinta
lingkungan. Karena akan berdampak pada good
environment dan efeknya akan bisa dirasakan sendiri oleh personal.
Catatan: Tulisan ini (dengan beberapa penambahan) pernah diterbitkan di koran Sinarharapan, 17 November 2015. link: http://www.sinarharapan.co/news/read/151117134/kota-kumuh-dan-konvergensi-antara-rural-dan-urban
Catatan: Tulisan ini (dengan beberapa penambahan) pernah diterbitkan di koran Sinarharapan, 17 November 2015. link: http://www.sinarharapan.co/news/read/151117134/kota-kumuh-dan-konvergensi-antara-rural-dan-urban
0 komentar:
Posting Komentar