Minggu, 01 Desember 2013

HEGEMONI DALAM KEMASAN KEBIJAKAN REKTOR (Studi Kasus Tahfidz 1 Juz untuk Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung)


HEGEMONI
DALAM KEMASAN KEBIJAKAN REKTOR
(Studi Kasus Tahfidz 1 Juz untuk Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Oleh: Agus Mauluddin, Sosiologi VA




Fenomena masyarakat era dewasa ini menunjukan bahwa kesadaran akan sesuatu ditempatkan pada posisi yang setinggi-tingginya. Kesadaran akan realitas sosial yang ada, terindra, empiris, dan kritis begitu diperlihatkan oleh masyarakat secara umum, terutama bagi para penggiat intelektual seperti Mahasiswa. Mahasiswa sebagai agen sosial yang peka terhadap realitas sosialnya tersebut.
Kampus merupakan tempat lalu lalangnya  para pencari pencerahan. Mahasiswa sebagai aktor yang haus ilmu pengetahuan, dan kedahagaan Mahasiswa terhadap pencerahan, menjadikan kampus sebagai sarana untuk pemenuhan kebutuhannya tersebut. Kebutuhan para Mahasiswa akan pengetahuan diserahkan pada lembaga pendidikan, yakni kampus.
Sistem yang terdapat dalam lembaga pendidikan di tataran Mahasiswa, tentunya tidak terlepas dari struktural dan fungsi-fungsi pada strukturnya. Sistem yang selalu terkesan mendominasi para pencari pencerahan, yang berimplikasi pada hal yang positif maupun negatif. Sistem yang merupakan suatu hal yang selalu ada dalam setiap lembaga, yang tentunya bermacam dampak yang ditimbulkannya.
Dominasi para pemberi kebijakan terhadap objek yang diberi kebijakan begitu kentara jika dilihat dalam sebuah sistem sosial. Terdapatnya Hegemoni dari pihak pemberi kebijakan, tanpa disadari oleh objek yang diberi kebijakan tersebut. Karena hegemoni terkesan tanpa pemaksaan dan “kekerasan”. Hegemoni (Ritzer, 2012: 476) ini menurut gramsci diartikan sebagai kepemimpinan budaya yang dilaksanakan oleh kelas yang berkuasa. Kelas yang berkuasa menghegemoni atau mempengaruhi tanpa terkesan memaksa dan tanpa bernuansa kekerasaan, akan tetapi mempengaruhi tanpa disadari. Hegemoni menjadi suatu cara untuk melanggengkan kekuasaan kelas yang berkuasa.
 Kebijakan yang diputuskan oleh pemberi kebijakan dalam lembaga pendidikan kampus, yakni Rektor tentunya bernuansa hegemoni. Kebijakan yang dibalut dengan anjuran, atau hingga menjadi suatu keharusan, yakni diberlakukannya tahfidz minimal 1 Juz Al-Quran. Rektor memberikan kebijakan tersebut, dan menjadikan sebagai pra-syarat lulusnya perkuliahan (Wisuda). Diberlakukannya kebijakan tahfidz untuk setiap Mahasiswa yang akan wisuda, menjadi suatu keharusan dan merupakan hegemoni atau pengaruh dalam sebuah sistem yang harus ditaati tanpa disadari terpengaruhi dan tanpa merasa dipaksa.
Kebijakan tersebut menuai banyak tanggapan, setuju dan tidak setuju. Walaupun demikian, kebijakan tersebut tetap dipandang sebagai sesuatu yang “lazim”, karena Universitas Islam tentunya mengedepankan aspek agama. Dalam artian disana, diharapkan lulusan-lulusan UIN handal dalam agama, minimal menguasai 1 Juz dalam Al-Quran. Dengan kemasan tahfidz Al-Quran tersebut, Mahasiswa sedikit banyaknya merasa “berat”, karena kehausan akan pencerahan ilmu pengetahuan sedikit terbebani karena diharuskannya menghapal Al-Quran. Menghapal Al-Quran menjadi kewajiban baru para Mahasiswa, selain mencari ilmu pengetahuan di kampus.
Mahasiswa sebagai agen sosial yang peka terhadap realitas sosialnya, tentu memahami akan terdapatnya hegemoni dalam dunia empirisnya. Mahasiswa sebagai agen intelektual, berperan pula dalam mengontrol setiap kebijakan para pemberi kebijakan. Mahasiswa pun harus memiliki sumbangsih dalam kebijakan tahfidz 1 Juz Al-Quran ini, seperti misalnya diberlakukannya sistem gradual. Para Mahasiswa sudah bisa menghafal sejak awal masuk kuliah, tidak secara komprehensif langsung. []


0 komentar:

Posting Komentar