HEGEMONI
DALAM KEMASAN KEBIJAKAN REKTOR
(Studi Kasus Tahfidz 1 Juz untuk Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati
Bandung)
Oleh: Agus
Mauluddin, Sosiologi VA
Fenomena masyarakat era dewasa ini menunjukan bahwa kesadaran akan
sesuatu ditempatkan pada posisi yang setinggi-tingginya. Kesadaran akan
realitas sosial yang ada, terindra, empiris, dan kritis begitu diperlihatkan
oleh masyarakat secara umum, terutama bagi para penggiat intelektual seperti
Mahasiswa. Mahasiswa sebagai agen sosial yang peka terhadap realitas sosialnya
tersebut.
Kampus merupakan tempat lalu lalangnya para pencari pencerahan. Mahasiswa sebagai
aktor yang haus ilmu pengetahuan, dan kedahagaan Mahasiswa terhadap pencerahan,
menjadikan kampus sebagai sarana untuk pemenuhan kebutuhannya tersebut. Kebutuhan
para Mahasiswa akan pengetahuan diserahkan pada lembaga pendidikan, yakni
kampus.
Sistem yang terdapat dalam lembaga pendidikan di tataran Mahasiswa,
tentunya tidak terlepas dari struktural dan fungsi-fungsi pada strukturnya.
Sistem yang selalu terkesan mendominasi para pencari pencerahan, yang
berimplikasi pada hal yang positif maupun negatif. Sistem yang merupakan suatu
hal yang selalu ada dalam setiap lembaga, yang tentunya bermacam dampak yang ditimbulkannya.
Dominasi para pemberi kebijakan terhadap objek yang diberi
kebijakan begitu kentara jika dilihat dalam sebuah sistem sosial. Terdapatnya
Hegemoni dari pihak pemberi kebijakan, tanpa disadari oleh objek yang diberi
kebijakan tersebut. Karena hegemoni terkesan tanpa pemaksaan dan “kekerasan”.
Hegemoni (Ritzer, 2012: 476) ini menurut gramsci diartikan sebagai kepemimpinan
budaya yang dilaksanakan oleh kelas yang berkuasa. Kelas yang berkuasa
menghegemoni atau mempengaruhi tanpa terkesan memaksa dan tanpa bernuansa kekerasaan,
akan tetapi mempengaruhi tanpa disadari. Hegemoni menjadi suatu cara untuk
melanggengkan kekuasaan kelas yang berkuasa.
Kebijakan yang diputuskan
oleh pemberi kebijakan dalam lembaga pendidikan kampus, yakni Rektor tentunya
bernuansa hegemoni. Kebijakan yang dibalut dengan anjuran, atau hingga menjadi
suatu keharusan, yakni diberlakukannya tahfidz minimal 1 Juz Al-Quran. Rektor
memberikan kebijakan tersebut, dan menjadikan sebagai pra-syarat lulusnya
perkuliahan (Wisuda). Diberlakukannya kebijakan tahfidz untuk setiap Mahasiswa
yang akan wisuda, menjadi suatu keharusan dan merupakan hegemoni atau pengaruh
dalam sebuah sistem yang harus ditaati tanpa disadari terpengaruhi dan tanpa merasa
dipaksa.
Kebijakan tersebut menuai banyak tanggapan, setuju dan tidak
setuju. Walaupun demikian, kebijakan tersebut tetap dipandang sebagai sesuatu
yang “lazim”, karena Universitas Islam tentunya mengedepankan aspek agama.
Dalam artian disana, diharapkan lulusan-lulusan UIN handal dalam agama, minimal
menguasai 1 Juz dalam Al-Quran. Dengan kemasan tahfidz Al-Quran tersebut,
Mahasiswa sedikit banyaknya merasa “berat”, karena kehausan akan pencerahan
ilmu pengetahuan sedikit terbebani karena diharuskannya menghapal Al-Quran. Menghapal
Al-Quran menjadi kewajiban baru para Mahasiswa, selain mencari ilmu pengetahuan
di kampus.
Mahasiswa sebagai agen sosial yang peka terhadap realitas
sosialnya, tentu memahami akan terdapatnya hegemoni dalam dunia empirisnya.
Mahasiswa sebagai agen intelektual, berperan pula dalam mengontrol setiap
kebijakan para pemberi kebijakan. Mahasiswa pun harus memiliki sumbangsih dalam
kebijakan tahfidz 1 Juz Al-Quran ini, seperti misalnya diberlakukannya sistem
gradual. Para Mahasiswa sudah bisa menghafal sejak awal masuk kuliah, tidak
secara komprehensif langsung. []
0 komentar:
Posting Komentar