Selasa, 11 Desember 2012

Sistem Kepercayaan Masyarakat Primitif

Sistem Kepercayaan Masyarakat Primitif
Suatu Tugas Antropologi Agama
Oleh: Agus Mauluddin, 
Mahasiswa Sosiologi IIIA, FISIP Sosiologi UIN SGD BDG (copyright)


Suku Dawan, NTT

A.Term
Dalam memberikan pengertian terhadap kepercayaan maupun agama sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda dan ada batasan-batasan tersendiri. Tapi disini, penulis akan memberi pengertian yang unifikasi atau bisa dibilang sama antara agama dan kepercayaan. Karena secara term antara agama dan kepercayaan mempunyai titik esensial yang sama.
Pengertian agama dalam buku Antropologi Agama Adeng Muchtar Ghazali, bahwa yang disebut agama adalah seperangkat kepercayaan, doktrin, norma-norma yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh manusia.
Sedangkan dari pengertian Masyarakat Pimitif pun banyak pengertian-pengertian yang diberikan oleh para ahli. Berdasarkan hasil kajian para antropolog dan sosiolog mengenai masyarakat primitif, munculah beberapa teori yang berhubungan dengannya. Salahsatunya tentang Istilah “primitif” ada yang mengistilahkan pra-literate, non-literate, archaic, dan sebagainya. Dalam artian bahwa sesuatu yang primitif itu sesuatu yang kuno, sudah ketinggalan zaman, prasejarah. Pengertian seperti ini kebanyakan dikemukakan oleh para ahli antropologi pada abad ke-19. Mereka menempatkan manusia primitif pada skala yang sangat rendah dari perkembangan kebudayaan manusia kontemporer. Bagi Spencer, orang primitif itu rasional. Sekalipun pengetahuannya sedikit dan lemah, namun pandangan-pandangannya masuk akal. Mereka melihat adanya kenyataan-kenyataan seperti matahari dan bulan, awan dan bintang-bintang, muncul dan hilang. Kenyataan ini memberikan pengertian adanya dualisme, yaitu tentang kondisi-kondisi yang tampak dan tidak tampak.

B.Ciri-ciri keagamaan Masyarakat Primitif
1.Pandangan tentang Alam Semesta
Masyarakat primitif mengangap bahwa alam adalah sebagai subjek, dalam artian bahwa alam seakan-akan mempunyai jiwa, makhluk yang berpribadi dan menempatkan alam sebagai subjek atau “personal”. Berbeda dengan masyarakat modern yang menganggap alam sebagai objek, dalam artian disini bahwa manusia menempatkan alam bukan suatu yang memiliki jiwa dan manusia modern pun meyakini memang manusia sendiri dengan alam adanya simbiosis mutualisme. Akan tetapi mereka tidak memandang bahwa alam itu makhluk yang berpribadi, memiliki jiwa dan lain-lain.
Jika ditarik contoh, ketika alam mengeluarkan isi perutnya (gunung meletus) masyarakat primitif beranggapan bahwa penguasa gunung sedang murka terhadap mereka dan antisipasi terhadap peristiwa itu, mereka memberikan sembah-sembahan, mengadakan ritus-ritus yang motifnya agar sang penguasa gunung itu tidak murka lagi kepada mereka. Berbeda dengan masyarakat modern, ketika dihadapkan pada peristiwa tersebut, masyarakat modern meneliti kejadian tersebut, kenapa itu bisa terjadi. Secara esensial masyarakat modern tidak menempatkan gunung sebagai subjek, tapi objek. Maksudnya kejadian alam tersebut dikaji dan dicari antisipasi jika terjadi kembali kejadian alam tersebut.
2. Mudah mensakralkan Objek Tertentu
Masyarakat primitif mempunyai ciri yakni mudah mensakralkan objek tertentu, dalam artian memandang sakral pada suatu yang menurut mereka mengandung kemanfaatan, kebaikan, bencana. Misalnya saja, ketika seseorang yang menempati sebuah rumah baru, tak lama kemudian penghuni rumahnya ada yang sakit. Mereka langsung beranggapan bahwa penghuni rumah yang sakit itu karena pengaruh “jin” yang menghuni rumah baru mereka. Maka mereka berinisiatif agar terhindar dari pengaruh jin itu, maka dibuatlah suatu ritual tertentu dengan tujuan mengusir atau memindahkan “jin” tersebut agar tidak mengganggu penghuni rumah. Misalnya dengan memberikan “sesaji” atau dengan ritul-ritual tertentu.
Jika diera dewasa ini masih ada masyarakat yang berpandangan seperti itu, maka merujuk pada ciri masyarakat primitif, masyarakat tersebut bisa dikategorikan masyarakat primitif.
Solusi yang ditawarkan penulis menanggapi fenomena tersebut secara perspektif Islam yaitu pertama menanggapi hal yang transenden atau metafisik kita harus mempercayainya, karena dalam ajaran islam sendiri ada dogma yang mengatakan percaya pada Allah, Malaikat, Hari Akhir. Kesemuanya itu bersifat transenden, dalam artian bahwa kita harus percaya pada hal yang “gaib”. Akan tetapi kita jangan langsung menjustifikasi bahwa peristiwa tadi karena mahluk “gaib”, “jin” dan harus dengan penawar ritus-ritus tertentu atau dengan sesaji dan semacamnya. Menurut penulis diera dewasa ini yang menurut Auguste comte bisa disebut dunia logos, ilmiah maka kita berpandangan sakit memang karena kehendak Allah (hakikat) dan secara “syariat” disini secara ilmiah, sakit karena keadaan tubuh kita yang sedang goyah, tatkala ada virus masuk kedalam tubuh kita, body protect kita tidak bisa menangkisnya, hingga mengakibatkan sakit. Juga secara spiritual lebih meningkatkan keimanan dan ibadah kita, misal dengan rajin membaca ayat suci al-Qur’an. Kita jangan mempunyai konsep apa lagi konsep itu sangat kuat bahwa fenomena tersebut karena mahluk semacam “jin” atau apa, Secara psikologis ketika self, diri, atau ego sudah meyakini akan sesuatu yang kita yakini maka itu bisa-bisa terjadi.
3.Sikap Hidup yang Serba Magis
Ciri –ciri masyarakat primitif yakni masyarakat dalam kehidupnya itu selalu dihubungkan dengan hal-hal “gaib”. Ada hal-hal tertentu saja yang terjadi, masyarakat primitif langsung menghubingkannya dengan sesuatu hal yang magi. Kembali pada teorinya Auguste Comte dalam teori 3 tahapnya yakni masyarakat pada tahap mitos.
4.Hidup Penuh dengan Upacara Keagamaan
Ciri yang terakhir yang ditawarkan dalam buku Antropologi Agama Adeng Muchtar Ghazali, yakni ciri masyarakat primitif itu hidup penuh dengan upacara keagamaan. Yang secara esensial sebenarnya dari keempat ciri masyarakat primitif mempunyai sisi substansial yang sama. Ciri yang keempat dari masyarakat primitif adalah hidup yang penuh dengan upacara keagamaan, kita tarik contoh: ketika tibanya musim panen dalam pertanian, maka masyarakat primitif tidak menganggap sepele hal tersebut. Mereka beranggapan bahwa ada yang disebut dengan “dewi sri” atau dewi padi. Tatkala musim panen tiba mereka menyediakan sesaji-sesaji yang diperuntukan dewi sri tersebut sebagai tanda berterimakasih kepada dewi sri atas keberhasilan panen misalnya.

Dari pemaparan diatas, bahwa masyarakat primitif seperti itu dan mempunyai ciri-ciri seperti itu. Apakah kita selaku masyarakat yang hidup diera modern ini berada dalam kategori ciri-ciri masyarakat primitif ???

6 komentar: