Observasi
“Menyoroti Perpolitikan Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung”
Studi Kasus Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh: Agus Mauluddin, Mahasiswa Sosiologi IIIA (2012) (copyright)
Penulis
mengamati geliat politik Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung (UIN SGD
BDG), disini penulis lebih menitikberatkan pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP). Secara umum di UIN SGD BDG, terdapat dua Organisasi
besar (mendominasi) yang bertendensi pada perpolitikan praktis, yakni
Organisasi Mahasiswa HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia). Kedua organisasi besar ini begitu subur di UIN SGD
BDG sehingga menuai berbagai tanggapan dari berbagai mahasiswa, terutama dari
para mahasiswa “Netral” (tidak masuk Organisasi HMI maupun PMII) terlepas dari
tanggapan yang positif maupun negatif.
Stereotip
yang berkembang, bahwa para mahasiswa yang berorganisasi tersebut hanya mumpuni
dalam aspek retorika, konsep-konsep, dan mumpuni dalam “pemahaman di
permukaan” an sich. Akan
tetapi pada praktiknya nihil, dan ketika beretorika pun (dilihat esensi
pembicaraannya) dalam pemahaman agama hanya bagus "dipermukaan".
Dengan kearogansiannya mereka berkoar tentang agama, akan tetapi pada praktik
agamanya termasuk lalay (dalam peribadatan). Ada anggapan lain tentang
itu, memang tidak semua mahasiswa yang berorganisasi tersebut seperti demikian.
Tetapi memang yang nampak seperti demikian, jadi tidak salah juga yang
mengatakan mahasiswa yang berorganisasi bertabiat seperti itu.
Stereotip
positif anggapan mahasiswa terhadap organisasi tersebut yakni bahwa dengan
adanya organisasi tersebut berdampak positif karena mereka (HMI dan PMII)
"membangunkan mahasiswa dari tidur nyenyak, dari nina bobo para birokrat yang
haus akan kekuasaan". Dengan organisasi tersebut mahasiswa diajak masuk
dalam dunia kritis dan selalu mempertanyakan setiap kebijakan yang dilontarkan
para birokrat-birokrat.
Fokus penulis yakni pada
organisasi mahasiswa HMI dan PMII yang berada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Penulis mengamati kedua organisasi tersebut begitu kentara di FISIP,
dari mulai kalangan Mahasiswa hingga tataran birokrasi. Misalnya saja
SEMA-FISIP (Senat Mahasiswa FISIP) atau BEM-F FISIP. Dalam pemilihan SEMA pun bergulir
isu-isu politik, salah satunya perekrutan anggota KPRM (Komisi Pemilu Raya
Mahasiswa) berdasarkan sistem primordialisme atau nepotisme. Dan saat
berlangsungnya pemilihan ketua SEMA pun bisa dikatakan tidak dengan cara
“damai”, karna kentara nuansa politiknya. Pasti tatkala satu organisasi/partai
menduduki tampuk kekuasaan, disana pula oposisi siap “mengacaukan” event tersebut. Ketika perekrutan
anggota SEMA pun tentunya tidak terlepas dari sistem primordialisme, pemimpin
yang berada di singgasana kekuasaan tentunya akan merekrut anggota berdasarkan
“partai” nya. Disana begitu kentara nuansa politik, walaupun ada jargon dari
sang pemangku tampuk kekuasaan: Keorganisasian ini (SEMA-FISIP) terbentuk untuk
kebersamaan mahasiswa FISIP juga, akan tetapi secara empirik penulis mengamati
sistem primordialisme itu begitu tampak dan tetap ada.
Pada akhir, penulis menawarkan
gambaran sistem yang ideal yakni terhapusnya paradigma yang berkembang di
kalangan mahasiswa (Organisasi yang berbasis kepentingan politik praktis), agar
tidak ada lagi sistem primordialisme dan tetap mementingkan institusi daripada kepentingan golongan
pribadi.[]
Rujukan: https://www2.facebook.com/permalink.php?story_fbid=522872431080096&id=185572468143429
0 komentar:
Posting Komentar