Ali
Shariati
Sang
Ideolog Revolusi Islam
Karya:
M.Subhi-Ibrahim
Oleh:
Agus Mauluddin, Sosiologi Semester IIIA (copiright)
Sebuah
Resensi Metodologi Studi Islam
Ali Shariati (1933-1977)
Ali
Syariati seorang sosiolog Iran. Lahir pada tanggal 24 November 1933. Pemikirannya
terpengaruh oleh ayahnya sendiri, Muhammad Taqi. Muhammad Taqi adalah seorang Mulla/ulama
modernis. Ayahnya yang pertama mengajarkan tentang seni berpikir dan seni hidup
manusia.
Tahun
1941 Shariati masuk sekolah tingkat pertama di sekolah swasta Ibn Yamin. Di
sekolahnya, Shariati bersifat “mendua” jika sudah berada di kelas ia ingin
keluar, tetapi ketika sudah berada di luar ia ingin ke kelas. Ia seorang
pendiam, tak mau diatur, namun rajin. Ia pun jarang mengerjakan PR, meskipun
demikian di rumah ia adalah seorang kutu buku. Bersama ayahnya, Shariati banyak
menghabiskan waktu membaca di perpustakaan ayahnya, yang mempunyai 2000 koleksi
buku. Karya Vickor Hugo, Les Miserables, dalam terjemahan Persianya,
telah ia lahap sejak di sekolah dasar.
Mistisme
dan Filsafat dikenal shariati ketika menginjak bangku sekolah menengah atas.
Saat itu, sebenarnya shariati lebih meminati sastra, filsafat dan kemanusiaan
ketimbang ilmu sosial dan ilmu keagamaan. Shariati mengaku bahwa
ketertarikannya pada filsafat dipicu oleh sebaris kalimat Maeterlinck yang
berbunyi, “Bila kita meniup mati lilin, kemanakah perginya nyala lilin itu?”
Shariati
mengalami krisis kepribadian antara tahun 1946-1950 karena terlalu dini mengenal
tulisan-tulisan barat, seperti yang sudah di paparkan di atas. Bahwa sejak
sekolah dasar, shariati sudah dikenalkan dengan tulisan-tulisan dan
bacaan-bacaan “berat”. Hal itu membuat keyakinan religiusnya terguncang. Kegelisahan
dan keraguan menyelimuti Shariati, krisis keimanan yang akut melanda sukmanya. Baginya,
eksistensi tanpa Tuhan begitu menakjubkan, sepi dan asing, hingga kehidupan ini
menjadi suram dan hampa. Di ujung kegamangannya ia berkesimpulan bahwa
kebuntuan pemikiran yang dihadapinya hanya dapat diselesaikan dengan jalan
bunuh diri atau gila. Skeptisme filosofis mengantarkan Shariati berhadapan
dengan maut. Di tepi jurang pergolakan pemikiran yang mengancam hidupnya
tersebut, Shariati tertolong oleh Matsnawi-nya Rumi. Rumilah yang
menyelamatkan Shariati dari kehancuran diri.
Pada
tahun 1950, setamat dari sekolah menengah, Shariati masuk Kolese Pendidikan
Guru (Danisysaray-i Tarbiyat-i mu’allim) di Mashhad, yang dijalaninya
sembari mengajar. Pada masa ini, akhirnya Shariati mencapai titik kematangannya
dalam pencarian eksistensi, yaitu ketika ia lulus dari Kolese tersebut pada
tahun 1952. Shariati yakin bahwa Islam merupakan medium epistimologis untuk
mencandra kehidupan, baik individual maupun sosial.
Gejolak
politik di Iran menyeret Shariati ke gelanggang politik. Ia aktif dalam
berbagai organisasi-organisasi. Cita-cita politik Shariati adalah membebaskan
rakyat Iran dari penindasan rezim Shah Iran yang korup.
Tahun
1955, Shariati secara resmi menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas
Mashad. Kecerdasan intelektual dan ketajaman intuitifnya menjadikan Shariati
populer di kalangan politikus dan intelektual. Shariati pun pernah dipenjara
bersama ayahnya karena gerakan-gerakan yang dilakukan Shariati dan sebulan
kemudian Shariati dibebaskan.
Cinta
Shariati bersemi semasa di Universitas Mashhad. Pertemuannya dengan Puran-e
Syari’at Razavi berlanjut ke pelaminan. Kedua insan itu menikah pada 15 Juli
1958 di Mashhad. Selang lima bulan kemudian, Shariati meraih gelar BA Sastra
Persia. Selanjutnya, berkat prestasi akademiknya, ia mendapat beasiswa untuk
studi ke Sorbonne. Tahun 1959 ia berangkat ke Paris meski tak disertai istri
dan puterinya (Ehsan) yang baru lahir, yang menyusul satu tahun kemudian.
Di
paris ia dipengaruhi pemikiran Fanon dan merupakan salah satu tokoh yang sangat
dikagumi Shariati. Ide Fanon yang meresap pada karakter berpikir Shariati
adalah komitmen pembebasan dunia ketiga dari penindasan, kolonialisme, dan
imperialisme.
Shariati
aktif menulis, baik berbentuk terjemahan, prosa, puisi, artikel sosial politik
dan kebudayaan, jurnal mahasiswa iran di Perancis kerap menerbitkan
tulisan-tulisan Shariati. Nama Pena yang sering digunakan Shariati dalam
berbagai tulisannya, adalah syam, yang dalam bahasa Persia berarti
lilin.
Konsep
Qabil dan Habil
Qabil dan Habil dalam
sebuah riwayat atau dalam mitologi drama kosmik adalah seorang anak Adam, yang
mempunyai saudara kembar. Baik Qabil maupun Habil mempunyai adik perempuan.
Adik perempuan masing-masing akan dinikahkan dengan sistem nikah silang. Adik
perempuan Qabil cantik jelita, sedangkan adik Habil tidak seperti adik Qabil.
Secara sistem silang bahwa Qabil dinikahkan dengan adik Habil dan Habil dengan
adik Qabil. Akan tetapi Qabil tidak bersedia karena tahu bahwa adiknya sendiri
lebih cantik daripada adik Habil, dan Qabil ingin menikahi adiknya. Menanggapi
hal itu, maka adam membuat suatu kesepakatan, bahwa yang Korbannya di terima
maka ia yang akan menikahi pasangan yang diinginkannya. Korban Habil lah yang
diterima oleh Allah dengan korban dari hasil menggembalaan, sedangkan korban
Qabil tidak diterima dengan hasil pertanian.
Pada
akhirnya Qabil tidak menerima kenyataan itu dan memutuskan membunuh Habil. Thing
tersebut merupakan sebuah simbol, bahwa sebenarnya pembunuhan itu terjadi
secara esensial bukan semata-mata karena wanita. Akan tetapi disana nampak
struktur sosial dan konflik sosial, dalam artian Qabil diidentikan dengan
pertanian dan Habil diidentikan dengan pengembala. Ketika Habil dalam bidang
penggembalaan tidak perlu memerlukan modal yang besar, dalam artian untuk makanan
ternak pun bisa diperoleh dari alam. Jika Qabil dalam bidang pertanian, dalam
proses bertani pun begitu tidak sederhana, dari mulai memelihara, memberi
pupuk, memanennya. Maka disana sebagai simbol, ketika Korban Qabil tidak
diterima, karena Qabil tidak memberikan yang terbaik dalam artian lebih
menyisakan untuk dirinya sendiri karena merasa dalam prosesnya pun tidak
sederhana. Jika dielaborasikan lagi bahwa Ali Shariati disini bisa dikatakan
mempunyai esensi konsep yang sama dengan Karl Marx. Dalam teori Karl Marx kita
mengenal dengan Kaum Borjuis dan Proletar. Nah ekuivalennya yaitu konsep Qabil
dan Habil.
Qabil
diartikan sebagai kaum borjuis, penguasa, pemilik modal, sedangkan Habil
diartikan sebagai kaum Proletar, yang dikuasai. Kenapa bisa dikatakan seperti
itu? Tatkala melihat mitologi drama kosmik tadi, sebagai simbol bahwa dalam
kutub Habil keadaannya bisa dibilang sosial tinggi, tidak adanya
“pemetakan-pemetakan”, kepunyaan bersama. Berbeda dengan kutub Qabil, yang
mulai adanya “pemetakan-pemetakan”, pembagian lahan—tanah, kepemilikan
sendiri-sendiri, adanya persaingan-persaingan. Hal tersebut menurut Shariati
adanya pergeseran dari kutub Habil ke kutub Qabil dan “nanti” akan kembali lagi
ke kutub Habil. Dan menurut Shariati hal tersebut bisa terjadi jika adanya
suatu revolusi. Dan kembalinya kepada kutub Habil yang indikatornya kehidupan
bersama, tidak adanya individualisme, kepemilikan sendiri, masyarakat yang
harmonis dan itu pula menurut Shariati sebagai masyarakat ideal.
Konsep
Dialektika Sosiologi
Konsep
dialektika sosiologi secara epistemologi—mitologi drama kosmik Allah
menciptakan Adam untuk menjadi khalifah di muka bumi. Ia diberi modal dua hal,
yakni pengetahuan (al-asma’) dan kebebasan kehendak (amanah). Adam
dicipta dari dua unsur: tanah dan ruh Allah. Jadi, manusia pada kodratnya
mempunyai dua dimensi itu. Tanah atau lumpur merupakan simbol kenistaan dan
kerendahan, sementara ruh Ilahi adalah simbol keluhuran, kesempurnaan. Itu
merupakan sebuah simbol, bahwa manusia mempunyai dua dimensi atau unsur—tanah
atau lumpur yang berarti manusia tatkala dalam serendah-rendahnya seperti
sebuah lumpur yang “rendah”, jika dalam tingkat kulminasi maka akan mendekati
kesempurnaan yakni ruh Ilahiah.
Revolusi
Konsep Ali Shariati tentang kaum
penguasa dan yang dikuasai dalam konsep Qabil dan Habil adalah suatu struktur
sosial. Struktur sosial yang terjadi dalam pemikiran Shariati dimana kutub
Habil harus kembali lagi dan itu suatu hal yang pasti kembali di kehidupan yang
akan datang. Dimana dalam utopia Shariati, terciptanya tatanan sosial yang
baik, tidak adanya kepemilikan sendiri, hidup harmonis tanpa ada istilah sikut
mensikut. Dalam hal ini Shariati juga menyebutkan konsep rausyanfikr (orang-orang
yang tercerahkan). Orang-orang yang tercerahkan disini dalam artian, orang yang
mempunyai pengetahuan (das sollen) dan diimplementasikan (das sein). Dalam
revolusi ini ada 3 variabel penting, pertama al-insan (manusia itu
sendiri), kedua ideologi, ketiga rausyanfikr. Nah disini tugas rausyanfikr
menyadarkan al-insan atau manusia tentang ideologi yang akan di-“usung”.
Dalam artian menyelamatkan manusia dari tindakan penindasan-penindasan.
0 komentar:
Posting Komentar