Kamis, 06 Desember 2012

Ali Shariati Sang Ideolog Revolusi Islam


Ali Shariati
Sang Ideolog Revolusi Islam
Karya: M.Subhi-Ibrahim
Oleh: Agus Mauluddin, Sosiologi Semester IIIA (copiright)
Sebuah Resensi Metodologi Studi Islam





Ali Shariati (1933-1977)
Ali Syariati seorang sosiolog Iran. Lahir pada tanggal 24 November 1933. Pemikirannya terpengaruh oleh ayahnya sendiri, Muhammad Taqi. Muhammad Taqi adalah seorang Mulla/ulama modernis. Ayahnya yang pertama mengajarkan tentang seni berpikir dan seni hidup manusia.
Tahun 1941 Shariati masuk sekolah tingkat pertama di sekolah swasta Ibn Yamin. Di sekolahnya, Shariati bersifat “mendua” jika sudah berada di kelas ia ingin keluar, tetapi ketika sudah berada di luar ia ingin ke kelas. Ia seorang pendiam, tak mau diatur, namun rajin. Ia pun jarang mengerjakan PR, meskipun demikian di rumah ia adalah seorang kutu buku. Bersama ayahnya, Shariati banyak menghabiskan waktu membaca di perpustakaan ayahnya, yang mempunyai 2000 koleksi buku. Karya Vickor Hugo, Les Miserables, dalam terjemahan Persianya, telah ia lahap sejak di sekolah dasar.
Mistisme dan Filsafat dikenal shariati ketika menginjak bangku sekolah menengah atas. Saat itu, sebenarnya shariati lebih meminati sastra, filsafat dan kemanusiaan ketimbang ilmu sosial dan ilmu keagamaan. Shariati mengaku bahwa ketertarikannya pada filsafat dipicu oleh sebaris kalimat Maeterlinck yang berbunyi, “Bila kita meniup mati lilin, kemanakah perginya nyala lilin itu?”
Shariati mengalami krisis kepribadian antara tahun 1946-1950 karena terlalu dini mengenal tulisan-tulisan barat, seperti yang sudah di paparkan di atas. Bahwa sejak sekolah dasar, shariati sudah dikenalkan dengan tulisan-tulisan dan bacaan-bacaan “berat”. Hal itu membuat keyakinan religiusnya terguncang. Kegelisahan dan keraguan menyelimuti Shariati, krisis keimanan yang akut melanda sukmanya. Baginya, eksistensi tanpa Tuhan begitu menakjubkan, sepi dan asing, hingga kehidupan ini menjadi suram dan hampa. Di ujung kegamangannya ia berkesimpulan bahwa kebuntuan pemikiran yang dihadapinya hanya dapat diselesaikan dengan jalan bunuh diri atau gila. Skeptisme filosofis mengantarkan Shariati berhadapan dengan maut. Di tepi jurang pergolakan pemikiran yang mengancam hidupnya tersebut, Shariati tertolong oleh Matsnawi-nya Rumi. Rumilah yang menyelamatkan Shariati dari kehancuran diri.
Pada tahun 1950, setamat dari sekolah menengah, Shariati masuk Kolese Pendidikan Guru (Danisysaray-i Tarbiyat-i mu’allim) di Mashhad, yang dijalaninya sembari mengajar. Pada masa ini, akhirnya Shariati mencapai titik kematangannya dalam pencarian eksistensi, yaitu ketika ia lulus dari Kolese tersebut pada tahun 1952. Shariati yakin bahwa Islam merupakan medium epistimologis untuk mencandra kehidupan, baik individual maupun sosial.
Gejolak politik di Iran menyeret Shariati ke gelanggang politik. Ia aktif dalam berbagai organisasi-organisasi. Cita-cita politik Shariati adalah membebaskan rakyat Iran dari penindasan rezim Shah Iran yang korup.
Tahun 1955, Shariati secara resmi menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Mashad. Kecerdasan intelektual dan ketajaman intuitifnya menjadikan Shariati populer di kalangan politikus dan intelektual. Shariati pun pernah dipenjara bersama ayahnya karena gerakan-gerakan yang dilakukan Shariati dan sebulan kemudian Shariati dibebaskan.
Cinta Shariati bersemi semasa di Universitas Mashhad. Pertemuannya dengan Puran-e Syari’at Razavi berlanjut ke pelaminan. Kedua insan itu menikah pada 15 Juli 1958 di Mashhad. Selang lima bulan kemudian, Shariati meraih gelar BA Sastra Persia. Selanjutnya, berkat prestasi akademiknya, ia mendapat beasiswa untuk studi ke Sorbonne. Tahun 1959 ia berangkat ke Paris meski tak disertai istri dan puterinya (Ehsan) yang baru lahir, yang menyusul satu tahun kemudian.
Di paris ia dipengaruhi pemikiran Fanon dan merupakan salah satu tokoh yang sangat dikagumi Shariati. Ide Fanon yang meresap pada karakter berpikir Shariati adalah komitmen pembebasan dunia ketiga dari penindasan, kolonialisme, dan imperialisme.
Shariati aktif menulis, baik berbentuk terjemahan, prosa, puisi, artikel sosial politik dan kebudayaan, jurnal mahasiswa iran di Perancis kerap menerbitkan tulisan-tulisan Shariati. Nama Pena yang sering digunakan Shariati dalam berbagai tulisannya, adalah syam, yang dalam bahasa Persia berarti lilin.


Konsep Qabil dan Habil
            Qabil dan Habil dalam sebuah riwayat atau dalam mitologi drama kosmik adalah seorang anak Adam, yang mempunyai saudara kembar. Baik Qabil maupun Habil mempunyai adik perempuan. Adik perempuan masing-masing akan dinikahkan dengan sistem nikah silang. Adik perempuan Qabil cantik jelita, sedangkan adik Habil tidak seperti adik Qabil. Secara sistem silang bahwa Qabil dinikahkan dengan adik Habil dan Habil dengan adik Qabil. Akan tetapi Qabil tidak bersedia karena tahu bahwa adiknya sendiri lebih cantik daripada adik Habil, dan Qabil ingin menikahi adiknya. Menanggapi hal itu, maka adam membuat suatu kesepakatan, bahwa yang Korbannya di terima maka ia yang akan menikahi pasangan yang diinginkannya. Korban Habil lah yang diterima oleh Allah dengan korban dari hasil menggembalaan, sedangkan korban Qabil tidak diterima dengan hasil pertanian.
Pada akhirnya Qabil tidak menerima kenyataan itu dan memutuskan membunuh Habil. Thing tersebut merupakan sebuah simbol, bahwa sebenarnya pembunuhan itu terjadi secara esensial bukan semata-mata karena wanita. Akan tetapi disana nampak struktur sosial dan konflik sosial, dalam artian Qabil diidentikan dengan pertanian dan Habil diidentikan dengan pengembala. Ketika Habil dalam bidang penggembalaan tidak perlu memerlukan modal yang besar, dalam artian untuk makanan ternak pun bisa diperoleh dari alam. Jika Qabil dalam bidang pertanian, dalam proses bertani pun begitu tidak sederhana, dari mulai memelihara, memberi pupuk, memanennya. Maka disana sebagai simbol, ketika Korban Qabil tidak diterima, karena Qabil tidak memberikan yang terbaik dalam artian lebih menyisakan untuk dirinya sendiri karena merasa dalam prosesnya pun tidak sederhana. Jika dielaborasikan lagi bahwa Ali Shariati disini bisa dikatakan mempunyai esensi konsep yang sama dengan Karl Marx. Dalam teori Karl Marx kita mengenal dengan Kaum Borjuis dan Proletar. Nah ekuivalennya yaitu konsep Qabil dan Habil.
Qabil diartikan sebagai kaum borjuis, penguasa, pemilik modal, sedangkan Habil diartikan sebagai kaum Proletar, yang dikuasai. Kenapa bisa dikatakan seperti itu? Tatkala melihat mitologi drama kosmik tadi, sebagai simbol bahwa dalam kutub Habil keadaannya bisa dibilang sosial tinggi, tidak adanya “pemetakan-pemetakan”, kepunyaan bersama. Berbeda dengan kutub Qabil, yang mulai adanya “pemetakan-pemetakan”, pembagian lahan—tanah, kepemilikan sendiri-sendiri, adanya persaingan-persaingan. Hal tersebut menurut Shariati adanya pergeseran dari kutub Habil ke kutub Qabil dan “nanti” akan kembali lagi ke kutub Habil. Dan menurut Shariati hal tersebut bisa terjadi jika adanya suatu revolusi. Dan kembalinya kepada kutub Habil yang indikatornya kehidupan bersama, tidak adanya individualisme, kepemilikan sendiri, masyarakat yang harmonis dan itu pula menurut Shariati sebagai masyarakat ideal.
Konsep Dialektika Sosiologi
Konsep dialektika sosiologi secara epistemologi—mitologi drama kosmik Allah menciptakan Adam untuk menjadi khalifah di muka bumi. Ia diberi modal dua hal, yakni pengetahuan (al-asma’) dan kebebasan kehendak (amanah). Adam dicipta dari dua unsur: tanah dan ruh Allah. Jadi, manusia pada kodratnya mempunyai dua dimensi itu. Tanah atau lumpur merupakan simbol kenistaan dan kerendahan, sementara ruh Ilahi adalah simbol keluhuran, kesempurnaan. Itu merupakan sebuah simbol, bahwa manusia mempunyai dua dimensi atau unsur—tanah atau lumpur yang berarti manusia tatkala dalam serendah-rendahnya seperti sebuah lumpur yang “rendah”, jika dalam tingkat kulminasi maka akan mendekati kesempurnaan yakni ruh Ilahiah.
Revolusi
            Konsep Ali Shariati tentang kaum penguasa dan yang dikuasai dalam konsep Qabil dan Habil adalah suatu struktur sosial. Struktur sosial yang terjadi dalam pemikiran Shariati dimana kutub Habil harus kembali lagi dan itu suatu hal yang pasti kembali di kehidupan yang akan datang. Dimana dalam utopia Shariati, terciptanya tatanan sosial yang baik, tidak adanya kepemilikan sendiri, hidup harmonis tanpa ada istilah sikut mensikut. Dalam hal ini Shariati juga menyebutkan konsep rausyanfikr (orang-orang yang tercerahkan). Orang-orang yang tercerahkan disini dalam artian, orang yang mempunyai pengetahuan (das sollen) dan diimplementasikan (das sein). Dalam revolusi ini ada 3 variabel penting, pertama al-insan (manusia itu sendiri), kedua ideologi, ketiga rausyanfikr. Nah disini tugas rausyanfikr menyadarkan al-insan atau manusia tentang ideologi yang akan di-“usung”. Dalam artian menyelamatkan manusia dari tindakan penindasan-penindasan.

0 komentar:

Posting Komentar