Rabu, 11 September 2013

Muqaddimah Ibn Khaldun




Muqaddimah Ibn Khaldun
(dalam Kacamata Max Weber & Emile Durkheim)
Oleh: Agus Mauluddin, Sosiologi IVA
(Copyright)







Muqaddimah 1
Peradaban Ummat Manusia Secara Umum

Dalam muqaddimah 1 atau Bab 1, Ibn Khaldun menjelaskan tentang Peradaban manusia. Peradaban manusia yang ditandai dengan pembagian-pembagian pekerjaan. Pada hakikatnya manusia pun terdapat simbiosis mutualisma, satu individu membutuhkan individu lain, satu kelompok membutuhkan kelompok lain. Jika dipandang dari perspektif Emile Durkheim dalam Division of Labour dan Solidaritas Organik-nya disebutkan bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hajat hidupnya tidak terlepas dari peran orang lain.
Division of Labour-nya durkheim menjelaskan, bahwa dalam tatanan sosial masyarakat adanya suatu pembagian kerja, pembagian kerja tersebut seringkali dijumpai pada masyarakat kota (Solidaritas Organik). Solidaritas organik merupakan salah satu teori yang dicetuskan durkheim, yang mana terdapatnya karakteristik-karakteristik yang khas, salah satu diantaranya, pola pikir masyarakatnya berorientasi nilai (fee), berpikir rasional dan lain sebagainya.
Manusia merupakan mahluk sosial, mahluk sosial yang senyatanya saling berinteraksi satu sama lain sehingga lambat-laun akan  membentuk sebuah organisasi masyarakat. Adanya suatu organisasi masyarakat merupakan suatu keharusan bagi manusia. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa munusia juga tidak akan bisa bertahan tanpa manusia lainnya. Fisik manusia adalah terbatas meskipun Tuhan telah menberikan kelebihan terhadap manusia. Kelebihan yang dapat membedakan manusia dengan mahluk lainnya, manusia berpikir sedangkan hewan hanya menggunakan instingnya saja. Akan tetapi tetap saja dibalik kelebihan manusia pasti terdapat kekurangan. Kegiatan manusia dalam melakukan aktifitasnya pastilah memerlukan materi lain baik itu tenaga maupun alat pendukung, misalnya makanan.
Bagi sebagian manusia makanan merupakan hal yang sepele. Tetapi jika di tinjau lebih jauh bagaimana proses makanan itu dibuat, tentu akan membutuhkan cerita yang panjang baik dari mulai proses pembuatan dari bahan mentah menjadi makanan siap saji. Dari hal tersebut dapat dibuktikan bahwa ada unsur-unsur yang mempengaruhi, diantaranya alat-alat, bahan mentah, tenaga, tempat dan lain-lain. Berarti manusia tidak akan bisa melakukan semuanya dalam satu kegiatan dan pastinya manusia membutuhkan tenaga lain.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya, banyak memberikan kontribusi dalam memandang fenomena sosial, yang disebutnya sebagai peristiwa yang terjadi dalam peradaban manusia atau keadaan sosial kemasyarakatan, walaupun dalam pembahasannya Ibn Khaldun tidak memberikan definisi tertentu tentang fenomena-fenomena yang ada.
Organisasi kemasyarakatan menurut Ibn Khaldun adalah satu keharusan. Para filsuf telah melahirkan pandangan  ini dengan perkataan mereka : “Secara hakiki bahwa manusia bersifat politis”. Ini berarti manusia memerlukan organisasi kemasyarakatan, yang menurut para filsuf dinamakan ‘kota’. Tanpa adanya organisasi, eksistensi manusia tidak akan sempurna.
Birokrasi bisa dipahami sebagai satu organisasi formal, dan mempunyai pemusatan otoritas. Max Weber pun memberikan pandangannya tentang birokrasi, menurut Weber, birokrasi mempunyai beberapa ciri sebagai berikut[1]:
1.      Pembagian tugas. Setiap tugas dan kegiatan dalam birokrasi dibagi menurut peraturan dan tatacara yang formal.
2.      Sistem peraturan. Setiap tugas dijalankan menurut satu sistem peraturan.
3.      Otoritas tersusun secara hierarkis. Semua jabatan disusun berdasarkan tingkat jabatan.
4.      Tatacara impersonal. Seorang pegawai menjalankan tugasnya secara formal dan impersonal, yaitu berdasarkan kepada peraturan tertentu tanpa menurut perasaan, suka-tidak suka, cinta atau benci.
5.      Pengambilan pegawai. Seorang calon dilantik berdasarkan kapabelitasnya.
Ibn Khaldun meneruskan pembahasannya, setelah manusia mencapai tahap organisasi kemasyarakatan, dan peradaban dunia telah menjadi kenyataan, umat manusia pun memerlukan seseorang yang akan memimpin dan mengayomi mereka. Karena manusia memiliki watak permusuhan dan berbuat zalim terhadap sesama. Maka menurut Ibn khaldun, dengan sendirinya orang yang akan melaksanakan kepemimpinannya itu haruslah salah seorang di antara mereka sendiri. Pemimpin harus menguasai mereka, dan mempunyai kekuatan dan wibawa melebihi mereka. Dan inilah yang dinamakan kekuasaan atau kedaulatan.
Salah satu ciri peradaban manusia yakni tingkat pengetahuan manusia itu sendiri. Karena yang membedakan antara manusia dengan binatang adalah akal atau pengetahuannya. Secara hakiki bahwa hewan tidak memiliki “akal” akan tetapi hanya insting, sedangkan manusia dianugerahkan akal oleh  Tuhan. Akal ini memang harus difungsikan menurut fungsinya yang akan membedakan manusia dengan binatang.
            Udara berpengaruh terhadap warna kulit, dan terhadap karakter manusia.[2] Senada dalam bukunya Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, dalam pembahasannya bahwa dalam Sosiologi adanya madzah Geografi. Madzhab Geografi ini adalah suatu madzah yang secara esensi menjelaskan bahwa letak geografis berpengaruh terhadap wana kulit dan karakter manusia. Misalnya saja orang yang bertempat tinggal di daerah yang ber-udara dingin, kecenderungan memiliki karakter tenang dalam bertindak, tidak tempramen dan lain sebagainya dan sebaliknya jika seseorang yang bertempat tinggal di daerah yang ber-udara panas, kecenderungan berkarakter keras, tempramen, dan lain-lain.



Muqaddimah 2
Peradaban Badui, bangsa-bangsa dan Kabilah-kabilah luar, serta kondisi kehidupan mereka, ditambah beberapa keterangan dasar dan Kata Pengantar

Dalam Muqaddimah 2 dijelaskan oleh Ibn Khaldun, dalam bab-bab pertama disebutkan, “Bentuk Bumi bulat, penuh dengan unsur-unsur air. Bumi bagaikan anggur yang mengapung diatas air surut”.
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa perbedaan hal ihwal penduduk adalah akibat dari perbedaan cara mereka memperoleh penghidupan. Mereka hidup bermasyarakat tidak lain hanyalah untuk saling membantu di dalam memperoleh penghidupan dan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sederhana, sebelum mereka mencari kebutuhan hidup yang lebih tinggi.
Lebih lanjut Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa dalam masyarakat ada yang hidup dengan bertani, menanam sayur dan buah-buahan, ada pula yang memelihara ternak. Bagi masyarakat yang demikian ini, pemenuhan kebutuhan mereka masih sebatas pada apa yang mereka perlukan, sebab mereka tidak mampu memperoleh lebih dari itu. Namun berbeda ketika mereka telah mencapai kondisi kehidupan yang berkecukupan bahkan berlebih, akan terjadi perubahan dalam pola hidup mereka. Hal ini ditandai dengan pembangunan rumah-rumah serta gedung-gedung yang berukuran besar dan dihiasi dengan pernak-pernik. Begitu juga dengan pakaian yang digunakan oleh masyarakat, semakin indah dengan hiasan-hiasan. Masyarakat yang seperti inilah yang disebut sebagai orang-orang kota atau penduduk kota.
Di antara mereka ada yang hidup dengan keahlian, dan ada pula yang hidup dengan berniaga. Usaha mereka lebih berkembang dan lebih mewah dibandingkan dengan orang-orang badui, sebab mereka hidup melebihi batas kebutuhan dan mata penghidupan mereka sesuai dengan kekayaan mereka.
Menurut Ibnu Khaldun, orang-orang badui ada lebih awal atau lebih tua dari pada orang-orang kota. Hal ini karena sebelum orang-orang memilih untuk menetap dan membangun kota dengan kebiasaan hidup mewah, mereka berasal dari kelompok-kelompok pengembara atau badui serta kebiasaan hidup dengan kebutuhan terbatas. Orang badui juga lebih berani dari pada penduduk tetap, dikarenakan orang badui terbiasa dengan kehidupan yang liar dan jauh dari kota, oleh karena itu mereka mempertahankan diri sendiri tanpa bantuan orang/kelompok lain. Selain itu, orang badui juga tidak terikat dengan hukum-hukum pemerintahan, pendidikan dan pengajaran.
Sifat kepemimpinan selalu dimiliki oleh orang tertentu yang memiliki solidaritas sosial.[3] Dalam artian disana bahwa dalam setiap kepemimpinan erat kaitannya dengan sistem primordialisme atau sistem kesukuan. Tentunya dalam hal tersebut kepemimpinan tersebut tidak terlepas dari otoritas seorang pemimpinnya. Otoritas tersebut menurut Max Weber[4] adalah sebagai berikut:
1.      Otoritas tradisional. Kepercayaan yang mapan terhadap status quo, atau terhadap tradisi zaman dulu. Alasan utamanya karena seseorang taaat pada struktur otoritas yang melekat pada diri orang yang memiliki otoritas atau didasarkan atas kesetiaan pribadi kepada pemimpinnya.
2.      Otoritas kharismatik. Kepercayaan yang mapan karena kharismatik yang dimiliki seorang pemimpin. Kharismatik lebih menunjukan adanya suatu daya tarik dalam pribadi seorang pemimpin.
3.      Otoritas legal rasional. Otoritas ini berdasarkan atas peraturan yang legal. Orang yang memiliki otoritas legal rasional adlaah orang yang memiliki posisi sosial menurut peraturan yang sah memiliki otoritas itu.



Muqaddimah 3
Dinasti, Kerajaan, Khalifah, Pangkat, Pemerintahan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu.

Menurut Ibn Khaldun, sebuah dinasti (kerajaan/pemerintahan) hanya bisa ditegakkan atas bantuan dan solidaritas sosial. Kedudukan menjadi seorang raja/pemimpin adalah posisi yang terhormat dan diperebutkan, karena memberikan pada orang yang menjabatnya segala kekayaan duniawi dan kepuasan lahir dan batin. Oleh karena itu menjadi ajang perebutan oleh siapapun, maka untuk mendapatkannya tidak mungkin tanpa solidaritas sosial.
Solidaritas sosial menurut Emile Durkheim terbagi menjadi Solidaritas Mekanik dan Organik[5], yakni sebagai berikut:
1.      Solidaritas Mekanik. Solidaritas yang memiliki karakteristik yang begitu kentara merujuk pada masyarakat pedesaan. Dimana orientasi kolektif begitu kentara disana, afektifitas begitu tinggi.
2.      Solidaritas Organik. Solidaritas yang memiliki karakteristik masyarakat perkotaan, yang mana orientasi kolektif sudah begitu pudar, dan sifat individualitas yang begitu tunggi, masyarakat yang sudah bersifat atau berorientasi rasional.
Ibn Khaldun memiliki pandangan, “Apabila pada suatu waktu mereka mendirikan negara, mereka tidak lagi akan berjuang gigih, sebagaimana yang tadinya telah mereka lakukan. Mereka malahan memilih hidup menganggur, bersenang-senang dan bermalas-malasan…. Demikianlah dengan cepat mereka menjadi terbiasa dengan cara hidup mewah. Cara hidup mewah itu lalu mereka wariskan kepada keturunan mereka..”
Ibn Khaldun menyebutkan ada lima tahap dalam perkembangan sebuah dinasti, pertama, tahap sukses, setelah merebut kekuasaan dari penguasa sebelumnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara menjadi model bagi rakyatnya. Di dalam menetapkan dan menentukan keputusan selalu melibatkan bawahannya, sebab sikap yang demikian didikte oleh solidaritas sosial, dan hal itu yang memberikan kekuasaan pada dinasti.
Kedua, tahap penguasa bertindak sewenang-wenang, dengan tidak melibatkan bawahan ketika menetapkan dan menentukan keputusan. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut campur dalam urusannya. Akibatnya seluruh kekuasaan ada di tangan keluarganya.
Ketiga, tahap senang-sentosa. Segala perhatian raja tercurah pada usaha mengumpulkan pajak, mengatur uang belanja, pemasukan dan pengeluaran, mendirikan bangunan-bangunan besar dan konstruksi-konstruksi kokoh. Pada tahap ini seluruhnya, mereka masing-masing bebas dengan pendapatnya, mereka membangun kekuatan dan meluruskan bagi calon penggantinya.
Keempat,  tahap kepuasan hati. Sang raja merasa puas atas pencapaian dan pembangunan pendahulunya. Ia melanjutkan tradisi dan kebiasaan seperti adanya dan dengan sangat berhati-hati. Sebuah malapetaka apabila keluar dari tradisi yang telah ada.
Kelima, tahap boros dan hidup berlebihan. Penguasa menjadi perusak terhadap sesuatu yang ditinggalkan pendahulunya. Ia menuju pemuasan hawa nafsu, kesenangan, menghibur diri bersama kaumnya. Ia merusak dasar-dasar yang telah diletakkan para pendahulunya dan merobohkan yang telah mereka bangun.
Demikianlah tahapan sebuah dinasti yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun, berdasarkan yang pernah terjadi pada dinasti-dinasti yang pernah ada pada masa lalu.
Selanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan tentang kedaulatan, menurutnya kedaulatan adalah lembaga yang seupa dengan tabiat bagi umat manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa kesatuan sosial dan saling membantu, situasi memaksa mereka untuk saling memperhatikan dan dengan demikian dapat memenuhi keperluan mereka. Kedaulatan merupakan lembaga terhormat yang dituntut berbagai pihak dan perlu dipertahankan, dan hal itu tidak terlaksana tanpa solidaritas.
Sementara itu, menurut Ibn Khaldun tidak setiap solidaritas memiliki kedaulatan. Ia dimiliki oleh mereka yang sanggup menguasai rakyat, sanggup memungut iuran negara, mengirimkan angkatan bersenjata, melindungi perbatasan dan tak seorang penguasa pun berada di atasnya. Ada pula solidaritasnya yang tidak dapat melaksanakan tindakan-tindakan yang merupakan bagian dari hakikat kedaulatan, inilah yang disebut oleh Ibnu Khaldun sebagai kedaulatan yang cacat, tidak sempurna. Dan ada juga yang solidaritasnya tidak cukup kuat untuk menguasai dan mengawasi seluruh solidaritas atau mencegah timbulnya solidaritas-solidaritas itu, sehingga menimbulkan kekuasaan baru di atas kekuasaan mereka.
Ibn Khaldun cukup banyak menjelaskan mengenai Negara, kota dan peradaban yang menyertainya. Setelah orang memulai kehidupan menetap dan membentuk sebuah komunitas/oraganisasi (dinasti) yang berdaulat, lambat laun mereka mulai mendirikan bangunan-bangunan dan perencanaan kota. Hal ini yang disebut dengan kemajuan (hadlarah), yang disebabkan oleh kemewahan dan kesentosaan.
Pembangunan peradaban yang pesat inilah yang mengakibatkan berbagai perubahan dalam sendi kehidupan masyarakat, muncul pola kehidupan baru pada tubuh masyarakat kota. Di antaranya seni berpakaian dan berpenampilan, aktivitas perniagaan dan jasa yang meningkat, adanya struktur birokrasi dan administrasi yang jelas, adanya hasil karya tangan masyarakat, serta memunculkan dialek-dialek baru dalam masyarakat.
Tidak hanya itu, kesenjangan pun mulai terlihat dalam masyarakat. Mulai terlihat ketimpangan antara kawasan dengan pembangunan yang pesat dengan yang tertinggal. Serta penguasa yang terlalu condong pada orang kaya, pemilik modal (kapitalis).



Muqaddimah 4
Negeri dan Kota, serta semua bentuk peradaban lain.
`           Ibn Khaldun pun jika dilihat secara perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, ia pun dalam bab 4 membahas tentang Sosiologi Perkotaan, dalam sosiologi perkotaan mendirikan bangunan dan merencanakan kota merupakan ciri kemajuan, hadlarah (menetap).[6] Disana pun terdapatnya Negara, kota besar, kota kecil[7]. Negara sebagai satuan terbesar dan kebawahnya terdapat kota besar, juga kota kecil.
Solidaritas atau Ashabiah berada pada masyarakat “padang pasir” dari pada perkotaan. Dan manusia pun tidak terlepas dari kebutuhan-kebutuhan yang melinkupinya, seperti kebutuhan Primer: Sandang, Pangan, Papan. Kebutuhan Pokok lebih murah dibanding dengan kebutuhan tambahan.
Dalam bentuk peradaban pun salah satunya dapat dicirikan dari aspek bangunannya, Masjid sebagai bangunan Raksasa di dinia. Tempat-tempat mulia dipermukaan bumi, Al-Baitul-Haram di Mekah dibangun oleh Ibrahim as beserta putranya Ismail as, Baitul Maqdis atau Al-Aqsha di Palestina dibangun oleh Daud as dan putranya Sulaiman as, dan Masjid Medinah di medinah dibangun oleh Nabi Muhammad Saw.[8]
Kedaulatan dan Negara merupakan puncak solidaritas sosial, ‘ashabiyah, dan bahwa hadlarah merupakan puncak badawah, dan peradaban, ‘umran, seluruhnya sejak dari badawah hingga hadlarah.[9] Puncak peradaban, ‘umran, adalah hadlarah dan kemewahan. Bahwa bila peradaban telah mencapai puncaknya, ia pun berubah menuju korupsi dan mulai menuju akhir peradaban.[10]




Muqaddimah 5
Tentang berbagai aspek mencari penghidupan seperti keuntungan dan pertukangan. Segala ihwal yang terjadi sehubungan dengannya, dan di dalamnya terdapat sejumlah persoalan
Dalam bab 5 ini membahas tentang mencari penghidupan dan akan menghasilkan hasil atau keuntungan. Keuntungan adalah nilai yang timbul dari kerja manusia. [11] Seseorang memiliki hak untuk memiliki sesuatu (barang) dan manusia harus berusaha untuk mendapatkan penghasilan (rezaki), karena penghasilan tersebut adalah alat agar kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan hidup bisa terbeli dengan cara jual beli (tukar-menukar). [12] Ibn Khaldun menjelaskan tentang pekerjaan dan produksi, dalam jenis pertukangan tertentu, harga bahan mentah harus diperhitungkan, nilai kerja harus ditambahkan kepada biaya produksi.[13] 
Pertanian, industri, dan perdagangan adalah jalan yang wajar untuk mencari penghidupan.[14] Pertanian adalah sarana penghidupan yang paling tua dan yang paling sesuai dengan alam, diidentikan pula dengan Adam, bapak seluruh manusia. Pertukangan (ahl s-sho-naai’) umumnya terdapat di kota dan diidentikan dengan Idris, bapak kedua dari umat manusia. Sistem dalam perdagangan, mendapatkan laba dengan mencari perbedaan antara harga pembelian dan penjualan, cara tersebut sering dinamakan mukayasah.[15]
Secara alamiah watak manusia adalah egois.[16] Manusia memiliki kencenderungan lebih mementingkan personalnya sendiri, tentunya harus ada yang mengatur dari kesaling sifat ego yang dimiliki setiap manusia tersebut.
Arsitektur merupakan yang pertama dan yang paling tua dari keahlian peradaban hidup menetap, hadlarah.[17] Ada anggapan, guru pertukangan kayu adalah Nuh dan dengan pertukangan itu dua mendirikan kapal layar penyelamat dan pembawa mukjizat di kala bah besar. Informasi tersebut berdasarkan karena belum ada argumentasi kuat tentang kekunoan pertukangan kayu sebelum Nuh.[18]
Keahlian menjahit khusus ada pada peradaban hidup menetap, hadlarah. Karena bangsa pengembara tidak membutuhkannya, hanya memakai pakaian yang melingkar tubuh begitu saja.[19] Dalam literatur agama bahwa idris adalah Nabi paling tua dan ada pula yang mengatakan bahwa Hermes adalah Nabi Idris.[20]
Dunia kedokteran di masyarakat kota begitu nampak dan begitu sangat diperlukan, dan begitu berbeda pada masyarakat badawi. Masyarakat kota sering terkenanya penyakit dan begitu sangat membutuhkan seorang dokter.
Sumber penyakit berasal dari makanan. Didalam tubuh manusia terdapatnya panas alami, yang salah satu fungsinya untuk mencerna makanan yang nantinya dirubah menjadi energi dan lain-lain. Ketika seseorang yang memiliki pola hidup yang kurang baik, terutama pada makan. Misalnya pola makan yang tidak teratur, makan yang terlalu banyak maka di dalam tubuh akan mengalami penumpukan, karena panas alami yang ada di dalam tubuh panasnya melemah, karena bisa jadi makanan yang sebelumnya masih dalam proses, akan tetapi sudah ada makanan lagi yang masuk. Maka terjadilah penumpukan di dalam tubuh. penumpukan makanan tersebut akan menyebabkan busuk di dalam tubuh. dan setiap yang berada dalam proses pembusukan mengandung panas. Dapat dicontohkan oleh makanan, atau kotoran binatang yang dibiarkan membusuk. Panas muncul mengambil bagian di dalamnya. Panas didalam tubuh tersebut yang mengakibatkan terjadinya demam. Demam merupak awal terjadinya penyakit, karena dari pembusukan tersebut lahir penyakit pada anggota tubuh tersebut, dan munculah luka-luka pada tubuh dan pencernaan pun tentunya tidak stabil. Demam dapat disembuhkan dengan tidak memberi makanan kepada orang sakit untuk beberapa waktu, dan memberikan makanan yang cocok hingga sakitnya benar-benar sembuh. Membatasi makanan pada suatu macam makanan dan membatasi diri pada satu macam makanan atau beberapa macam yang tidak menjadikan suatu campuran yang menakjubkan dan aneh. Mungkin sesekali pola seperti mencampur adukan makanan tidak cocok dengan tubuh dan bagian-bagiannya. Penyakit secara mayoritas banyak terjadi pada masyarakat hadlarah, menetap, kota, karena ditopang dengan pola hidup makan yang banyak dan jarangnya berolahraga.[21]
Orang Baduwi kebanyakan buta huruf, tidak bisa baca tulis.[22] Karena salah satu ciri peradaban adalah melek huruf, bisa baca tulis. Salah satu pertukangan yang di paparkan oleh Ibn Khaldun yakni Menyamyi
Ibn Khaldun pun memberikan pandangannya tentang alasan kesenangan yang ditimbulkan oleh musik. Kesenangan adalah pencapaian hal-hal yang serasi dan tercapainya kualitas yang diharapkan.[23] Setiap orang menginginkan keindahan dan objek pandangan, pendengaran sebagai tuntutan fitrahnya.[24]



Muqaddimah 6
Berbagai macam ilmu pengetahuan, metode-metode pengajarannya, serta kondisi yang terjadi sehubungan dengan hal itu
Dalam bab terakhir ini, bab 5 Ibn Khaldun menjelaskan, “Mengenai kesanggupan manusia untuk berpikir sehingga membedakan jenisnya dari binatang, kecakapannya memperoleh penghidupan dalam kehidupan bersama dan kemampuannya mempelajari Tuhan yang disembahnya serta wahyu-wahyu yang diterima para Rasul-Nya, sehingga semua binatang tunduk dan berada dalam kekuasaannya. Melalui kesanggupannya untuk berpikir itulah, Tuhan mengaruniai manusia keunggulan diatas makhluk-makhluk yang lain.[25]
Tingkatan berpikir manusia, pertama persepsi (tasawwur), kedua apersepsi (tashdiq), ketiga pengetahuan (‘ilm) atau pengetahuan hipotetis (dzann).[26]  Dengan pikiran maka manusia akan memiliki tindakan-tindakan yang teratur.[27] Manusia adalah makhluk sosial (al-insanu madaniyyun bit-thab’i). Organisasi sosial (al-ijtima’al-basyariy), memiliki makna bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian, dan eksistensinya tidaklah terlaksana kecuali dengan kehidupan bersama. Jika dalam suatu masyarakat memiliki satu tujuan maka akan terciptanya saling membantu satu sama lain, akan tetapi jika memiliki visi yang berbeda akan menimbulkan perselisihan dan pertengkaran. Maka perlunya aspek politik untuk mengatur segala aktifitas mereka.[28] Tindakan-tindakan dipandang pula oleh Max Weber[29], yaitu sebagai berikut:
1.      Tindakan Zweckrational. Tindakan rasional yang berhubungan dengan suatu cita-cita.
2.      Tindakan Werirational. Tindakan rasional berhubungan dengan suatu nilai.
3.      Tindakan yang bercorak tradisi merupakan tindakan yang ditentukan oleh tradisi dan adat istiadat.
4.      Tindakan emosi atau afektif. Tindakan yang ada akibat reaksi emosi seseorang dalam keadaan tertentu.



[1] M. Taufiq Rahman, Glosari Teori Sosial, Ibnu Sina Press, Bandung, 2011, h. 10-11
[2] Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 89
[3] Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 158
[4] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, CV Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 25
[5] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Terjemahan Robert M.Z Lawang), PT Gramedia, Jakarta, 1986, h. 181
[6] Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h.395
[7] Ibid, h. 395
[8] Ibid, h.405
[9] Ibid, h. 433
[10] Ibid, h. 437
[11] Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 447
[12] Ibid, h. 448
[13] Ibid, h. 450
[14] Ibid, h. 451-452
[15] Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 452
[16] Ibid, h. 464
[17] Ibid, h. 485
[18] Ibid, h. 489
[19] Ibid, h. 490
[20] Ibid, h. 491
[21] Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 495-498
[22] Ibid, h. 499
[23] Ibid, h. 512
[24] Ibid, h. 513
[25] Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 521
[26] Ibid, h. 522-523
[27] Ibid, h. 524
[28] Ibid, h. 526
[29] M. Taufiq Rahman, op.cit, h. 124-125

2 komentar:

  1. terimakasih banyak... walaupun masih banyak yang harus diperbaiki tulisannya. hehe

    BalasHapus