Muqaddimah Ibn
Khaldun
(dalam Kacamata Max Weber & Emile
Durkheim)
Oleh: Agus Mauluddin, Sosiologi IVA
(Copyright)
Muqaddimah 1
Peradaban Ummat Manusia Secara
Umum
Dalam muqaddimah 1
atau Bab 1, Ibn Khaldun menjelaskan tentang Peradaban manusia. Peradaban manusia
yang ditandai dengan pembagian-pembagian pekerjaan. Pada hakikatnya manusia pun
terdapat simbiosis mutualisma, satu
individu membutuhkan individu lain, satu kelompok membutuhkan kelompok lain.
Jika dipandang dari perspektif Emile Durkheim dalam Division of Labour dan
Solidaritas Organik-nya disebutkan bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hajat
hidupnya tidak terlepas dari peran orang lain.
Division of Labour-nya
durkheim menjelaskan, bahwa dalam tatanan sosial masyarakat adanya suatu pembagian
kerja, pembagian kerja tersebut seringkali dijumpai pada masyarakat kota
(Solidaritas Organik). Solidaritas organik merupakan salah satu teori yang dicetuskan
durkheim, yang mana terdapatnya karakteristik-karakteristik yang khas, salah
satu diantaranya, pola pikir masyarakatnya berorientasi nilai (fee),
berpikir rasional dan lain sebagainya.
Manusia merupakan mahluk
sosial, mahluk sosial yang senyatanya saling berinteraksi satu sama lain sehingga
lambat-laun akan membentuk sebuah
organisasi masyarakat. Adanya suatu organisasi masyarakat merupakan suatu
keharusan bagi manusia. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa munusia juga tidak
akan bisa bertahan tanpa manusia lainnya. Fisik manusia adalah terbatas
meskipun Tuhan telah menberikan kelebihan terhadap manusia. Kelebihan yang
dapat membedakan manusia dengan mahluk lainnya, manusia berpikir sedangkan
hewan hanya menggunakan instingnya saja. Akan tetapi tetap saja dibalik
kelebihan manusia pasti terdapat kekurangan. Kegiatan manusia dalam melakukan
aktifitasnya pastilah memerlukan materi lain baik itu tenaga maupun alat
pendukung, misalnya makanan.
Bagi sebagian
manusia makanan merupakan hal yang sepele. Tetapi jika di tinjau lebih jauh
bagaimana proses makanan itu dibuat, tentu akan membutuhkan cerita yang panjang
baik dari mulai proses pembuatan dari bahan mentah menjadi makanan siap saji.
Dari hal tersebut dapat dibuktikan bahwa ada unsur-unsur yang mempengaruhi, diantaranya
alat-alat, bahan mentah, tenaga, tempat dan lain-lain. Berarti manusia tidak
akan bisa melakukan semuanya dalam satu kegiatan dan pastinya manusia membutuhkan
tenaga lain.
Ibn Khaldun dalam
Muqaddimahnya, banyak memberikan kontribusi dalam memandang fenomena sosial,
yang disebutnya sebagai peristiwa yang terjadi dalam peradaban manusia atau
keadaan sosial kemasyarakatan, walaupun dalam pembahasannya Ibn Khaldun tidak
memberikan definisi tertentu tentang fenomena-fenomena yang ada.
Organisasi kemasyarakatan
menurut Ibn Khaldun adalah satu keharusan. Para filsuf telah melahirkan pandangan
ini dengan perkataan mereka : “Secara
hakiki bahwa manusia bersifat politis”. Ini berarti manusia memerlukan
organisasi kemasyarakatan, yang menurut para filsuf dinamakan ‘kota’. Tanpa
adanya organisasi, eksistensi manusia tidak akan sempurna.
Birokrasi bisa
dipahami sebagai satu organisasi formal, dan mempunyai pemusatan otoritas. Max
Weber pun memberikan pandangannya tentang birokrasi, menurut Weber, birokrasi
mempunyai beberapa ciri sebagai berikut[1]:
1.
Pembagian tugas. Setiap tugas dan kegiatan dalam
birokrasi dibagi menurut peraturan dan tatacara yang formal.
2.
Sistem peraturan. Setiap tugas dijalankan menurut
satu sistem peraturan.
3.
Otoritas tersusun secara hierarkis. Semua jabatan
disusun berdasarkan tingkat jabatan.
4.
Tatacara impersonal. Seorang pegawai menjalankan
tugasnya secara formal dan impersonal, yaitu berdasarkan kepada peraturan
tertentu tanpa menurut perasaan, suka-tidak suka, cinta atau benci.
5.
Pengambilan pegawai. Seorang calon dilantik
berdasarkan kapabelitasnya.
Ibn Khaldun meneruskan
pembahasannya, setelah manusia mencapai tahap organisasi kemasyarakatan, dan
peradaban dunia telah menjadi kenyataan, umat manusia pun memerlukan seseorang
yang akan memimpin dan mengayomi mereka. Karena manusia memiliki watak
permusuhan dan berbuat zalim terhadap sesama. Maka menurut Ibn khaldun, dengan
sendirinya orang yang akan melaksanakan kepemimpinannya itu haruslah salah
seorang di antara mereka sendiri. Pemimpin harus menguasai mereka, dan
mempunyai kekuatan dan wibawa melebihi mereka. Dan inilah yang dinamakan
kekuasaan atau kedaulatan.
Salah satu ciri peradaban
manusia yakni tingkat pengetahuan manusia itu sendiri. Karena yang membedakan
antara manusia dengan binatang adalah akal atau pengetahuannya. Secara hakiki
bahwa hewan tidak memiliki “akal” akan tetapi hanya insting, sedangkan manusia
dianugerahkan akal oleh Tuhan. Akal ini
memang harus difungsikan menurut fungsinya yang akan membedakan manusia dengan
binatang.
Udara berpengaruh terhadap warna kulit, dan terhadap
karakter manusia.[2]
Senada dalam bukunya Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, dalam
pembahasannya bahwa dalam Sosiologi adanya madzah Geografi. Madzhab Geografi
ini adalah suatu madzah yang secara esensi menjelaskan bahwa letak geografis
berpengaruh terhadap wana kulit dan karakter manusia. Misalnya saja orang yang
bertempat tinggal di daerah yang ber-udara dingin, kecenderungan memiliki
karakter tenang dalam bertindak, tidak tempramen dan lain sebagainya dan
sebaliknya jika seseorang yang bertempat tinggal di daerah yang ber-udara
panas, kecenderungan berkarakter keras, tempramen, dan lain-lain.
Muqaddimah 2
Peradaban Badui, bangsa-bangsa dan
Kabilah-kabilah luar, serta kondisi kehidupan mereka, ditambah beberapa
keterangan dasar dan Kata Pengantar
Dalam Muqaddimah 2
dijelaskan oleh Ibn Khaldun, dalam bab-bab pertama disebutkan, “Bentuk Bumi
bulat, penuh dengan unsur-unsur air. Bumi bagaikan anggur yang mengapung diatas
air surut”.
Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa perbedaan hal ihwal penduduk adalah akibat dari perbedaan cara
mereka memperoleh penghidupan. Mereka hidup bermasyarakat tidak lain hanyalah
untuk saling membantu di dalam memperoleh penghidupan dan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang sederhana, sebelum mereka mencari kebutuhan hidup yang
lebih tinggi.
Lebih lanjut Ibnu
Khaldun menjelaskan bahwa dalam masyarakat ada yang hidup dengan bertani,
menanam sayur dan buah-buahan, ada pula yang memelihara ternak. Bagi masyarakat
yang demikian ini, pemenuhan kebutuhan mereka masih sebatas pada apa yang
mereka perlukan, sebab mereka tidak mampu memperoleh lebih dari itu. Namun
berbeda ketika mereka telah mencapai kondisi kehidupan yang berkecukupan bahkan
berlebih, akan terjadi perubahan dalam pola hidup mereka. Hal ini ditandai
dengan pembangunan rumah-rumah serta gedung-gedung yang berukuran besar dan
dihiasi dengan pernak-pernik. Begitu juga dengan pakaian yang digunakan oleh
masyarakat, semakin indah dengan hiasan-hiasan. Masyarakat yang seperti inilah
yang disebut sebagai orang-orang kota atau penduduk kota.
Di antara mereka
ada yang hidup dengan keahlian, dan ada pula yang hidup dengan berniaga. Usaha
mereka lebih berkembang dan lebih mewah dibandingkan dengan orang-orang badui,
sebab mereka hidup melebihi batas kebutuhan dan mata penghidupan mereka sesuai
dengan kekayaan mereka.
Menurut Ibnu Khaldun,
orang-orang badui ada lebih awal atau lebih tua dari pada orang-orang kota. Hal
ini karena sebelum orang-orang memilih untuk menetap dan membangun kota dengan
kebiasaan hidup mewah, mereka berasal dari kelompok-kelompok pengembara atau
badui serta kebiasaan hidup dengan kebutuhan terbatas. Orang badui juga lebih
berani dari pada penduduk tetap, dikarenakan orang badui terbiasa dengan
kehidupan yang liar dan jauh dari kota, oleh karena itu mereka mempertahankan
diri sendiri tanpa bantuan orang/kelompok lain. Selain itu, orang badui juga
tidak terikat dengan hukum-hukum pemerintahan, pendidikan dan pengajaran.
Sifat kepemimpinan
selalu dimiliki oleh orang tertentu yang memiliki solidaritas sosial.[3]
Dalam artian disana bahwa dalam setiap kepemimpinan erat kaitannya dengan
sistem primordialisme atau sistem kesukuan. Tentunya dalam hal tersebut
kepemimpinan tersebut tidak terlepas dari otoritas seorang pemimpinnya.
Otoritas tersebut menurut Max Weber[4]
adalah sebagai berikut:
1.
Otoritas tradisional. Kepercayaan yang mapan terhadap
status quo, atau terhadap tradisi zaman dulu. Alasan utamanya karena seseorang
taaat pada struktur otoritas yang melekat pada diri orang yang memiliki
otoritas atau didasarkan atas kesetiaan pribadi kepada pemimpinnya.
2.
Otoritas kharismatik. Kepercayaan yang mapan karena kharismatik
yang dimiliki seorang pemimpin. Kharismatik lebih menunjukan adanya suatu daya
tarik dalam pribadi seorang pemimpin.
3.
Otoritas legal rasional. Otoritas ini berdasarkan atas
peraturan yang legal. Orang yang memiliki otoritas legal rasional adlaah orang
yang memiliki posisi sosial menurut peraturan yang sah memiliki otoritas itu.
Muqaddimah 3
Dinasti, Kerajaan, Khalifah,
Pangkat, Pemerintahan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu.
Menurut Ibn Khaldun, sebuah
dinasti (kerajaan/pemerintahan) hanya bisa ditegakkan atas bantuan dan
solidaritas sosial. Kedudukan menjadi seorang raja/pemimpin adalah posisi yang
terhormat dan diperebutkan, karena memberikan pada orang yang menjabatnya
segala kekayaan duniawi dan kepuasan lahir dan batin. Oleh karena itu menjadi
ajang perebutan oleh siapapun, maka untuk mendapatkannya tidak mungkin tanpa
solidaritas sosial.
Solidaritas sosial menurut
Emile Durkheim terbagi menjadi Solidaritas Mekanik dan Organik[5],
yakni sebagai berikut:
1.
Solidaritas Mekanik. Solidaritas yang memiliki
karakteristik yang begitu kentara merujuk pada masyarakat pedesaan. Dimana
orientasi kolektif begitu kentara disana, afektifitas begitu tinggi.
2.
Solidaritas Organik. Solidaritas yang memiliki karakteristik
masyarakat perkotaan, yang mana orientasi kolektif sudah begitu pudar, dan
sifat individualitas yang begitu tunggi, masyarakat yang sudah bersifat atau
berorientasi rasional.
Ibn Khaldun memiliki pandangan,
“Apabila pada suatu waktu mereka mendirikan negara, mereka tidak lagi akan
berjuang gigih, sebagaimana yang tadinya telah mereka lakukan. Mereka malahan
memilih hidup menganggur, bersenang-senang dan bermalas-malasan…. Demikianlah
dengan cepat mereka menjadi terbiasa dengan cara hidup mewah. Cara hidup mewah
itu lalu mereka wariskan kepada keturunan mereka..”
Ibn Khaldun menyebutkan ada
lima tahap dalam perkembangan sebuah dinasti, pertama, tahap sukses,
setelah merebut kekuasaan dari penguasa sebelumnya. Pada tahap ini, orang yang
memimpin negara menjadi model bagi rakyatnya. Di dalam menetapkan dan
menentukan keputusan selalu melibatkan bawahannya, sebab sikap yang demikian
didikte oleh solidaritas sosial, dan hal itu yang memberikan kekuasaan pada
dinasti.
Kedua, tahap penguasa
bertindak sewenang-wenang, dengan tidak melibatkan bawahan ketika menetapkan
dan menentukan keputusan. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut
campur dalam urusannya. Akibatnya seluruh kekuasaan ada di tangan keluarganya.
Ketiga, tahap
senang-sentosa. Segala perhatian raja tercurah pada usaha mengumpulkan pajak,
mengatur uang belanja, pemasukan dan pengeluaran, mendirikan bangunan-bangunan
besar dan konstruksi-konstruksi kokoh. Pada tahap ini seluruhnya, mereka
masing-masing bebas dengan pendapatnya, mereka membangun kekuatan dan
meluruskan bagi calon penggantinya.
Keempat, tahap kepuasan hati. Sang raja merasa puas
atas pencapaian dan pembangunan pendahulunya. Ia melanjutkan tradisi dan
kebiasaan seperti adanya dan dengan sangat berhati-hati. Sebuah malapetaka
apabila keluar dari tradisi yang telah ada.
Kelima, tahap boros dan
hidup berlebihan. Penguasa menjadi perusak terhadap sesuatu yang ditinggalkan
pendahulunya. Ia menuju pemuasan hawa nafsu, kesenangan, menghibur diri bersama
kaumnya. Ia merusak dasar-dasar yang telah diletakkan para pendahulunya dan
merobohkan yang telah mereka bangun.
Demikianlah tahapan sebuah
dinasti yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun, berdasarkan yang pernah terjadi
pada dinasti-dinasti yang pernah ada pada masa lalu.
Selanjutnya Ibnu Khaldun
menjelaskan tentang kedaulatan, menurutnya kedaulatan adalah lembaga yang seupa
dengan tabiat bagi umat manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa kesatuan
sosial dan saling membantu, situasi memaksa mereka untuk saling memperhatikan
dan dengan demikian dapat memenuhi keperluan mereka. Kedaulatan merupakan
lembaga terhormat yang dituntut berbagai pihak dan perlu dipertahankan, dan hal
itu tidak terlaksana tanpa solidaritas.
Sementara itu, menurut Ibn
Khaldun tidak setiap solidaritas memiliki kedaulatan. Ia dimiliki oleh mereka
yang sanggup menguasai rakyat, sanggup memungut iuran negara, mengirimkan
angkatan bersenjata, melindungi perbatasan dan tak seorang penguasa pun berada
di atasnya. Ada pula solidaritasnya yang tidak dapat melaksanakan tindakan-tindakan
yang merupakan bagian dari hakikat kedaulatan, inilah yang disebut oleh Ibnu
Khaldun sebagai kedaulatan yang cacat, tidak sempurna. Dan ada juga yang
solidaritasnya tidak cukup kuat untuk menguasai dan mengawasi seluruh
solidaritas atau mencegah timbulnya solidaritas-solidaritas itu, sehingga
menimbulkan kekuasaan baru di atas kekuasaan mereka.
Ibn Khaldun cukup banyak
menjelaskan mengenai Negara, kota dan peradaban yang menyertainya. Setelah
orang memulai kehidupan menetap dan membentuk sebuah komunitas/oraganisasi
(dinasti) yang berdaulat, lambat laun mereka mulai mendirikan bangunan-bangunan
dan perencanaan kota. Hal ini yang disebut dengan kemajuan (hadlarah), yang
disebabkan oleh kemewahan dan kesentosaan.
Pembangunan peradaban yang
pesat inilah yang mengakibatkan berbagai perubahan dalam sendi kehidupan
masyarakat, muncul pola kehidupan baru pada tubuh masyarakat kota. Di antaranya
seni berpakaian dan berpenampilan, aktivitas perniagaan dan jasa yang
meningkat, adanya struktur birokrasi dan administrasi yang jelas, adanya hasil
karya tangan masyarakat, serta memunculkan dialek-dialek baru dalam masyarakat.
Tidak hanya itu, kesenjangan
pun mulai terlihat dalam masyarakat. Mulai terlihat ketimpangan antara kawasan
dengan pembangunan yang pesat dengan yang tertinggal. Serta penguasa yang
terlalu condong pada orang kaya, pemilik modal (kapitalis).
Muqaddimah 4
Negeri dan Kota, serta semua
bentuk peradaban lain.
` Ibn Khaldun pun jika
dilihat secara perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, ia pun dalam bab 4
membahas tentang Sosiologi Perkotaan, dalam sosiologi perkotaan mendirikan
bangunan dan merencanakan kota merupakan ciri kemajuan, hadlarah (menetap).[6]
Disana pun terdapatnya Negara, kota besar, kota kecil[7].
Negara sebagai satuan terbesar dan kebawahnya terdapat kota besar, juga kota
kecil.
Solidaritas atau Ashabiah berada pada masyarakat “padang
pasir” dari pada perkotaan. Dan manusia pun tidak terlepas dari
kebutuhan-kebutuhan yang melinkupinya, seperti kebutuhan Primer: Sandang,
Pangan, Papan. Kebutuhan Pokok lebih murah dibanding dengan kebutuhan tambahan.
Dalam bentuk peradaban pun salah satunya dapat dicirikan
dari aspek bangunannya, Masjid sebagai bangunan Raksasa di dinia. Tempat-tempat
mulia dipermukaan bumi, Al-Baitul-Haram di Mekah dibangun oleh Ibrahim as beserta
putranya Ismail as, Baitul Maqdis atau Al-Aqsha di Palestina dibangun oleh Daud
as dan putranya Sulaiman as, dan Masjid Medinah di medinah dibangun oleh Nabi
Muhammad Saw.[8]
Kedaulatan dan Negara merupakan puncak solidaritas
sosial, ‘ashabiyah, dan bahwa hadlarah merupakan puncak badawah,
dan peradaban, ‘umran, seluruhnya sejak dari badawah hingga hadlarah.[9] Puncak
peradaban, ‘umran, adalah hadlarah dan kemewahan. Bahwa bila
peradaban telah mencapai puncaknya, ia pun berubah menuju korupsi dan mulai menuju
akhir peradaban.[10]
Muqaddimah 5
Tentang berbagai aspek mencari
penghidupan seperti keuntungan dan pertukangan. Segala ihwal yang terjadi
sehubungan dengannya, dan di dalamnya terdapat sejumlah persoalan
Dalam bab 5 ini membahas
tentang mencari penghidupan dan akan menghasilkan hasil atau keuntungan. Keuntungan
adalah nilai yang timbul dari kerja manusia. [11]
Seseorang memiliki hak untuk memiliki sesuatu (barang) dan manusia harus
berusaha untuk mendapatkan penghasilan (rezaki), karena penghasilan
tersebut adalah alat agar kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan hidup bisa
terbeli dengan cara jual beli (tukar-menukar). [12]
Ibn Khaldun menjelaskan tentang pekerjaan dan produksi, dalam jenis pertukangan
tertentu, harga bahan mentah harus diperhitungkan, nilai kerja harus
ditambahkan kepada biaya produksi.[13]
Pertanian,
industri, dan perdagangan adalah jalan yang wajar untuk mencari penghidupan.[14]
Pertanian adalah sarana penghidupan yang paling tua dan yang paling sesuai
dengan alam, diidentikan pula dengan Adam, bapak seluruh manusia. Pertukangan (ahl
s-sho-naai’) umumnya terdapat di kota dan diidentikan dengan Idris, bapak
kedua dari umat manusia. Sistem dalam perdagangan, mendapatkan laba dengan
mencari perbedaan antara harga pembelian dan penjualan, cara tersebut sering
dinamakan mukayasah.[15]
Secara alamiah watak
manusia adalah egois.[16]
Manusia memiliki kencenderungan lebih mementingkan personalnya sendiri,
tentunya harus ada yang mengatur dari kesaling sifat ego yang dimiliki setiap manusia
tersebut.
Arsitektur
merupakan yang pertama dan yang paling tua dari keahlian peradaban hidup
menetap, hadlarah.[17]
Ada anggapan, guru pertukangan kayu adalah Nuh dan dengan pertukangan itu
dua mendirikan kapal layar penyelamat dan pembawa mukjizat di kala bah besar.
Informasi tersebut berdasarkan karena belum ada argumentasi kuat tentang
kekunoan pertukangan kayu sebelum Nuh.[18]
Keahlian menjahit
khusus ada pada peradaban hidup menetap, hadlarah. Karena bangsa
pengembara tidak membutuhkannya, hanya memakai pakaian yang melingkar tubuh
begitu saja.[19]
Dalam literatur agama bahwa idris adalah Nabi paling tua dan ada pula yang
mengatakan bahwa Hermes adalah Nabi Idris.[20]
Dunia kedokteran di
masyarakat kota begitu nampak dan begitu sangat diperlukan, dan begitu berbeda
pada masyarakat badawi. Masyarakat kota sering terkenanya penyakit dan begitu
sangat membutuhkan seorang dokter.
Sumber penyakit
berasal dari makanan. Didalam tubuh manusia terdapatnya panas alami, yang salah
satu fungsinya untuk mencerna makanan yang nantinya dirubah menjadi energi dan
lain-lain. Ketika seseorang yang memiliki pola hidup yang kurang baik, terutama
pada makan. Misalnya pola makan yang tidak teratur, makan yang terlalu banyak
maka di dalam tubuh akan mengalami penumpukan, karena panas alami yang ada di
dalam tubuh panasnya melemah, karena bisa jadi makanan yang sebelumnya masih dalam
proses, akan tetapi sudah ada makanan lagi yang masuk. Maka terjadilah
penumpukan di dalam tubuh. penumpukan makanan tersebut akan menyebabkan busuk di
dalam tubuh. dan setiap yang berada dalam proses pembusukan mengandung panas.
Dapat dicontohkan oleh makanan, atau kotoran binatang yang dibiarkan membusuk.
Panas muncul mengambil bagian di dalamnya. Panas didalam tubuh tersebut yang
mengakibatkan terjadinya demam. Demam merupak awal terjadinya penyakit, karena
dari pembusukan tersebut lahir penyakit pada anggota tubuh tersebut, dan
munculah luka-luka pada tubuh dan pencernaan pun tentunya tidak stabil. Demam
dapat disembuhkan dengan tidak memberi makanan kepada orang sakit untuk
beberapa waktu, dan memberikan makanan yang cocok hingga sakitnya benar-benar
sembuh. Membatasi makanan pada suatu macam makanan dan membatasi diri pada satu
macam makanan atau beberapa macam yang tidak menjadikan suatu campuran yang
menakjubkan dan aneh. Mungkin sesekali pola seperti mencampur adukan makanan
tidak cocok dengan tubuh dan bagian-bagiannya. Penyakit secara mayoritas banyak
terjadi pada masyarakat hadlarah, menetap, kota, karena ditopang dengan
pola hidup makan yang banyak dan jarangnya berolahraga.[21]
Orang Baduwi
kebanyakan buta huruf, tidak bisa baca tulis.[22]
Karena salah satu ciri peradaban adalah melek huruf, bisa baca tulis. Salah
satu pertukangan yang di paparkan oleh Ibn Khaldun yakni Menyamyi
Ibn Khaldun pun memberikan
pandangannya tentang alasan kesenangan yang ditimbulkan oleh musik. Kesenangan
adalah pencapaian hal-hal yang serasi dan tercapainya kualitas yang diharapkan.[23]
Setiap orang menginginkan keindahan dan objek pandangan, pendengaran sebagai
tuntutan fitrahnya.[24]
Muqaddimah 6
Berbagai macam ilmu pengetahuan,
metode-metode pengajarannya, serta kondisi yang terjadi sehubungan dengan hal
itu
Dalam bab terakhir ini, bab 5 Ibn Khaldun menjelaskan, “Mengenai
kesanggupan manusia untuk berpikir sehingga membedakan jenisnya dari binatang,
kecakapannya memperoleh penghidupan dalam kehidupan bersama dan kemampuannya
mempelajari Tuhan yang disembahnya serta wahyu-wahyu yang diterima para
Rasul-Nya, sehingga semua binatang tunduk dan berada dalam kekuasaannya. Melalui
kesanggupannya untuk berpikir itulah, Tuhan mengaruniai manusia keunggulan
diatas makhluk-makhluk yang lain.[25]
Tingkatan berpikir manusia, pertama persepsi
(tasawwur), kedua apersepsi (tashdiq), ketiga pengetahuan (‘ilm)
atau pengetahuan hipotetis (dzann).[26]
Dengan pikiran maka manusia akan
memiliki tindakan-tindakan yang teratur.[27]
Manusia adalah makhluk sosial (al-insanu madaniyyun bit-thab’i). Organisasi
sosial (al-ijtima’al-basyariy), memiliki makna bahwa manusia tidak bisa
hidup sendirian, dan eksistensinya tidaklah terlaksana kecuali dengan kehidupan
bersama. Jika dalam suatu masyarakat memiliki satu tujuan maka akan terciptanya
saling membantu satu sama lain, akan tetapi jika memiliki visi yang berbeda
akan menimbulkan perselisihan dan pertengkaran. Maka perlunya aspek politik
untuk mengatur segala aktifitas mereka.[28]
Tindakan-tindakan dipandang pula oleh Max Weber[29],
yaitu sebagai berikut:
1.
Tindakan
Zweckrational. Tindakan rasional yang berhubungan dengan suatu
cita-cita.
2.
Tindakan
Werirational. Tindakan rasional berhubungan dengan suatu nilai.
3.
Tindakan
yang bercorak tradisi merupakan tindakan yang ditentukan oleh tradisi dan adat
istiadat.
4.
Tindakan
emosi atau afektif. Tindakan yang ada akibat reaksi emosi seseorang dalam
keadaan tertentu.
[1]
M. Taufiq Rahman, Glosari Teori
Sosial, Ibnu Sina Press, Bandung, 2011, h. 10-11
[2]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan
Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 89
[3]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan
Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 158
[4]
Mahmud, Sosiologi Pendidikan, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 25
[5] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan
Modern (Terjemahan Robert M.Z Lawang), PT Gramedia, Jakarta, 1986, h. 181
[6]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan
Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h.395
[11]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan
Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 447
[15]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan
Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 452
[19] Ibid,
h. 490
[21]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan
Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 495-498
[25]
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Terjemahan
Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, h. 521
[29]
M. Taufiq Rahman, op.cit, h.
124-125
keren banget bang.,.,.
BalasHapusterimakasih banyak... walaupun masih banyak yang harus diperbaiki tulisannya. hehe
BalasHapus