KRITIK SASTRA FEMINIS,
Karya Prof. Dr. Soenarjati Djajanegara,
Oleh: Agus Mauluddin, Sosiologi V.
Sering kita membaca berbagai tulisan sastra
maupun non-sastra, tulisan yang sering kita jumpai tentunya tidak terlepas dari
penokohan si pengarang. Kerap kali kita temukan story yang memang
bersifat gender. Gender dalam artian ada stereotip berbeda terhadap perempuan.
Perempuan yang sering orang sangkakan bersifat inferior, domestik, dan lain
sebagainya. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari siapa yang menulis
tulisan tersebut. Dominasi kaum laki-laki dalam dunia sastra pun begitu
kentara, pasalnya memang secara historis penulis-penulis bermunculan dari kaum
laki-laki. Hal tersebut dikarenakan secara kultur seperti itu, bahwa wanita
masih dipandang sebelah mata. Akan tetapi sekitar tahun 1960-an ketika mulai
munculnya gerakan feminisme. Gerakan feminisme ini adalah gerakan pejuang
perempuan, dimana perempuan meminta hak-haknya dan tidak selalu dipandang
inferior.
Munculnya kritik-kritik terhadap karya-karya
sastra, yang memang dipandang tulisannya bersifat subjektivitas laki-laki dan
menginferiorkan perempuan. Pandangan tersebut berimplikasi pada budaya konsumsi
masyarakat luas dan menjadikan pemahaman tersendiri tentang perempuan.
Kesuperioritasan laki-laki bisa begitu nampak karena memang pandangan
penulisnya pun dari kalangan laki-laki, akan tetapi tidak bisa digeneralisir
juga tentang hal itu, bahwa tidak semua penulis laki-laki yang sudut pandangnya
menstereotip negatif terhadap perempuan.
Feminisme pun memiliki pembagiannya
tersendiri, misalnya saja feminisme moderat memandang bahwa wanita harus mengembangkan
potensi dirinya, dengan menuntut ilmu dan lainnya akan tetapi perempuan pun
secara kodrati harus menikah, tidak diharuskannya melajang seumur hidup, begitu
juga wanita melahirkan dan menyusui. Feminisme moderat memang berpandangan
seperti itu. Jika dilihat pula dari pandangan feminisme radikal, bahwa gerakan
perempuan itu memandang dari sudut pandang radikal, derajat wanita harus berada
di atas laki-laki, dan gerakan ini memang menjadi pemicu munculnya “lesbian”.
Karena memang mereka menganggap, seakan-akan laki-laki itu selalu menindas,
menyiksa dan lain sebagainya dan menganggap bahwa perempuan lah yang dapat
mengertikannya, membuat nyaman dan membahagiakannya, walaupun terkadang ada
juga hubungan tersebut tidak sampai berhubungan badan, akan tetapi hanya sama dalam
hal perasaan saja.
Kritik sastra feminis ini memandang bahwa
perlu adanya kritikan terhadap penulis-penulis yang memang mempunyai sudut
pandang mutlak laki-laki saja dan selalu meninferiorkan wanita. Hal tersebut
perlu adanya perhatian, dan disana kaum feminisme hadir sebagai penyambung
lidah atau penyalur aspirasi dan mewakili seluruh perempuan yang ingin
memperjuangkan hak-haknya dan juga konsumsi masyarakat luas dalam mencerna
konsep perempuan tidak salah. Karena menurut Prof. Qurais Shihab bahwa antara
laki-laki dan perempuan saling melengkapi, menjadi partner satu sama lain,
wanita tidak hanya di area domestik saja, begitu juga laki-laki tidak hanya ada
di daerah publik saja.[]
0 komentar:
Posting Komentar