Female Genital Mutilation (FGM) sebagai Fenomena Sosial Perempuan,
Oleh: Agus Mauluddin, Sosiologi V.
Oleh: Agus Mauluddin, Sosiologi V.
FGM _Africa_2005. |
Fenomena sosial merupakan fenomena masyarakat secara umum, yang
sering kita temukan memiliki karakteristik tersendiri satu sama lainnya.
Fenomena Sosial perempuan lebih terfokus pada aspek perempuan di dalamnya.
Terlepas dari itu berdasarkan dogmatis maupun kultural.
Fenomena Sosial Perempuan seperti Female Genital Mutilation atau
sering di sebut FGM ini atu pula sering orang menyebut sunat/sudat merupakan
fenomena sosial yang bisa ditemukan di daerah masing-masing, yang memang
mempunyai kultur tersendiri tentang FGM tersebut.
Foucault (Jones, 2010: 184) mengartikan FGM sebagai praktik
memotong sedikit klitoris. Foucault juga memberikan penjelasan bahwa FGM harus
dipahami dalam aspek tujuannya. Jika tujuan pokok perkawinan adalah agar suami
mendapatkan keturunan dari istrinya dan oleh karena itu ia dapat mewariskan
harta kekayaannya, maka pengaturan seksualitas perempuan menjadi suatu
keharusan. Tanpa jaminan keperawanan perempuan, seorang suami yang baru
menikahinya akan merasa skeptis tentang anak yang dilahirkannya, apakah
benar-benar keturunan biologisnya. Sering orang menyebut FGM ini yakni dusunat
atau disudat, terdapat juga fenomena FGM ini yang paling ekstrim yaitu menjahit
labia. Foucault (Jones, 2010: 185) pun menggambarkan bahwa feminis menyebutkan
hal tersebut sebagai bentuk yang sangat tegas dari patriarki. Karena ketika labia
seorang perempuan itu di jahit dan labianya semakin sempit itu akan
berimplikasi pada kepuasaan seorang laki-laki dalam berhubungan seks.
Sedangkan menurut Dr. Haifaa A. Jawad (2002: 179) FGM atau penyunatan
alat kelamin perempuan adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
satu macam operasi alat kelamin yang dilakukana kepada anak-anak perempuan,
gadis-gadis dan kaum perempuan. Secara umum ada tiga tipe pokok sirkumsisi pada
perempuan, yaitu:
Pertama, sirkumsisi adalah tipe penyunatan alat kelamin yang paling ringan, yang
mencakup tindakan memotong penutup klitoris. Dikenal juga dibeberapa
negara Muslim sebagai tindakan sunnah, dan ini adalah satu-satunya
bentuk penyunatan yang secara tepat dapat digambarkan sebagai sirkumsisi.
Kedua, eksisi adalah penyunatan yang menghilangkan klitoris dan seluruh labia
minora atau sebagian labia minora.
Ketiga, infibulasi adalah bentuk penyunatan yang paling berat. Terdiri dari tindakan
menghilangkan seluruh klitoris, labia minora dan bagian-bagian dari labia
mayora. Dua sisi vulva dijahit jadi satu dengan hanya menyisakan
satu lubang kecil untuk keluarnya darah menstruasi dan kencing.
Penulis menyoroti macam-macam FGM tersebut, dan menyimpulkan bahwa tipe
FGM yang pertama-lah yang dirasa cocok untuk diterapkan, jika memang suatu daerah
mengharuskan untuk melaksanakan praktek tersebut.
Sebagai contoh, jika dilihat berdasar historis pada masa Fir’aun,
terdapat seorang Janda dari mendiang Fir’aun dikubur hidup-hidup untuk
memastikan bahwa mereka tidak akan dapat memiliki hubungan dengan laki-laki
lain. Pada masa Romawi Kuno, budak-budak perempuan dipasangi cincin pada labia
mayora mereka untuk mencagah agar mereka tidak hamil. Fenomena yang begitu
miris untuk didengar. Begitu kejamnya perlakuan pada era pra kekinian.
Dilihat secara historis, bahwa FGM ini belum ada satu kesepakatan
pun tentang asal usul praktek ini. akan tetapi FGM ini diyakini telah dilakukan
secara meluas pada masa Mesir kuno atau pra-Islam, sehingga diperkirakan bahwa
Mesirlah negara pertama yang mempraktekan FGM ini. akan tetapi, diyakini juga
bahwa praktek ini mungkin adalah sebuah ritus remaja orang afrika yang sudah
tua usianya, yang disebarkan ke Mesir melalui cara difusi.
FGM ini telah dipraktekan oleh orang-orang Muslim, Katolik,
Protestan, Penganut Kopt, Penganut Animisme, dan para Ateis di negara
masing-masing. Misalnya di Mesir dan Sudan, orang-orang Muslim dan Kristen
sama-sama mempraktekan sirkumsisi perempuan dan praktek tersebutdidukung
oleh alasan-alasan budaya dan tradisional.
Orang-orang Muslim di beberapa negara tertentu masih terus percaya
secara salah bahwa perempuan yang disirkumsisi itu dari sudut pandang
agama dinilai tidak bersih, dan dengan disirkumsisi itu perempuan akaan
bersih dan lebih suci.
Pada saat ini, FGM dipraktekan di lebih dari 20 Negara. Di Afrika
meliputi negara Kamerun, Ghana, Mauritania, Chad, Mesir Utara, Kenya, Tanzania,
Sudan, Mali, Bostwana, Ethiopia, Nigeria. Di Asia pun dipraktekan seperti familiar
di kalangan orang-orang Muslim Philipina, Malayasia, Pakistan, dan Indonesia.
Namun operasi pembedahaan ini tidak umum dilakukan di beberapa negara tertentu
seperti, yaitu Saudi Arabia, Iranm Iraq, Yordania, Syiria, Lebanon, Maroko,
Aljazair, dan Tunisia.
Menurut penuturan orang Sudan bahwa alat-alat kelamin perempuan
bagian luar itu kotor dan dianggap juga jelek. Oleh karenanya, alat-alat
kelamin tersebut perlu dihilangkan untuk menjaga kebersihan. Alasan lain yankni
alasan seksual, hal tersebut meliputi beberapa persoalan tertentu seperti
penjagaan keperawatan yang dinilai tinggi disemua masyarakat yang memegangnya,
seakan-akan menjadi sebuah syarat bagi perkawinan.
Berdasarkan pada persoalan penting yang sering sekali disebutkan
baik oleh kaum perempuan ataupun laki-laki adalah apa yang disebut dengan
bentuk alamiah perempuan yang “sangat bernafsu seksual” dan pentingnya
mengurangi keinginan tersebut supaya mereka terhindar dari malu dan tercela. “penting
bagi semua perawan untuk dipaksa menjalani sirkumsisi agar mereka dapat
menjaga kesuciannya. Ujar perawat Mesir yang bekerja pada pusat kesehatan
disana. Menurut perawat mesir disana juga bahwa ia akan melakukan sirkumsisi
terhadap anaknya untuk melemahkan birahi seksual anak-anak perempuan,
sehingga perempuan akan terjaga kesuciannya.
Dalam kacamata Fiqih atau menurut Hadis yang paling sering
disebutkan tentang FGM ini adalah hadis yang menceritakan bahwa Nabi SAW,
setelah melihat Ummu Atiyyah – tukang sunat, beliau memerintahkan kepadanya
untuk “memotong sediki dan tidak melebih-lebihkannya, karena yang demikian itu
lebih menyenangkan bagi perempuan dan lebih baik bagi suaminya”. Sunat itu
sunnah bagi laki-laki dan makrumah (perbuatan yang mulia) bagi
perempuan.
Akan tetapi, setelah melihat secara lebih dekat terhadap hadis
tersebut, ternyata ada versi lain yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan
dengannya, yang akhisnya mengurangi kreadibilitas hadis tersebut. Selain itu,
hadis-hadis yang ada secara umum dinilai sebagai hadis-hadis yang tidak shahih
dan dha’if. Menurut Mahmud Syaltut, mantan Syeikh al-Azhar Kairo.
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa sunat perempuan itu tidak memiliki dasar
apapun, baik dalam al-Quran maupun al-Hadis.
Menurut Syeikh Abbas, Rektor Institut Muslim pada Masjid di Paris,
menegaskan pandangan ini. “Kalau sunat bagi laki-laki (meskipun tidak menjadi
wajib) itu memiliki tujuan estetika dan higenisitas, maka tidak ada satu pun
teks keagamaan islam tentang nilai yang menetapkan adanya eksisi bagi
perempuan.
Akan tetapi pandangan umum penulis secara sosiologis, bahwa FGM ini
bisa diterapkan memang untuk negara, daerah yang memiliki kearifan lokal/
keyakinan terhadap keharusannya FGM ini. akan tetapi tentunya yang
memperhatikan aspek kesehatan. Salah satunya jika dilihat dari macam-macam FGM
tersebut. Dengan sirkumsisilah penulis rasa bisa untuk diterapkan. Dalam
artian bahwa dengan memotong sedikit klitoris atau senada dengan apa yang
dikatakan Pip Jones (2010), hanya memotong sedikit klitoris tidak akan berdampak
negatif terhadap perempuannya, tentunya juga dengan menggunakan alat dan teknik
yang baik dan benar.[]
Sumber Bacaan:
Jawad, Haifaa
A, 2002, Otentisitas Hak-hak Perempuan, Yogyakarta: Fajar Pustaka
Jones, Pip,
2010, Pengantar Teori-teori Sosial, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar