Foto: www.google.com |
Fenomena yang seakan-akan menjadi hal
yang biasa di Ibu Kota adalah pemukiman kumuh. Permasalahan pemukiman
kumuh di Ibu Kota semakin pelik terlebih pada musim penghujan yang
melanda Ibu Kota pada bulan-bulan terakhir di tahun 2015, hingga
awal-awal tahun 2016 ini.
Dari tahun ke tahun permasalahan tempat
tinggal “kumuh” semakin pelik ketika musim penghujan datang, Seperti
misalnya beberapa pemukiman yang berada di bantaran sungai Ciliwung,kena
dampak banjir seperti misalnya daerah Kampung Pulo. Daerah Kampung
Pulo sebenarnya sudah dilakukan normalisasi sungai, namun ternyata tetap
saja “permasalahan tahunan yang menjadi langganan” tetap saja terjadi.
Selain kampung pulo daerah lainnya seperti Bukit Duri pun mengalami
permasalahan yang sama.
Jika sekilas melihat sejarah (dua kasus
wilayah saja) Kampung Pulo dan Bukit Duri, ternyata tidak sedikit pula
penduduk masyarakatnya merupakan pendatang dari beberapa wilayah di luar
Ibu Kota Jakarta (Urbanisasi). Mereka dari dahulu yang sudah dari
beberapa generasi, atau yang hanya baru-baru (beberapa tahun saja)
menempati daerah tersebut. Seperti dikutip dari CNN Indonesia, berikut sepenggal hasil petikan wawancara oleh wartawan CNN dengan Tano warga Bukit Duri,
“Kalau digusur ya paling bakal balik lagi ke kampung,” kata Tano.
Tano (60), warga pendatang yang telah tinggal selama 15 tahun di Bukit Duri.
Pulang ke kampung halaman merupakan
salah satu solusi yang dimiliki Tarno sebab dirinya masih belum
mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Menurutnya, banyak
warga di Bukit Duri yang merupakan pendatang seperti dirinya.”
Hal demikian jelas membuktikan bahwa
warga yang berada di dua wilayah tersebut bukanlah asli penduduk, namun
pendatang. Itu hanya dilihat dari dua daerah saja, bagaimana dengan
daerah-daerah lain Ibu Kota?
Untuk mengurai permasalahan kota kumuh tersebut penulis menawarkan dua solusi, yaitu solusi preventif dan solusi kuratif.
Batasi Pendatang
Solusi yang penulis tawarkan diantaranya
pemerintahan ibu kota (DKI Jakarta) yang kerap kali menjadi sandaran
masyarakat perdesaanatau menjadi tumpuan bagi masyarakat yang berada di
wilayah “penopang” (misalnya Depok, Bogor, Bekasi) untuk “dikunjungi”
oleh para pekerja atau para pencari kerja, pemerintah DKI Jakarta harus
memiliki regulasi yang sifatnya “membatasi” hingga pada titik tertentu
men-stop para pendatang yang ingin ke ibu kota untuk bekerja.
Seperti misalnya pemerintah DKI Jakarta
membuat kesepakatan dengan pemerintahan kota lainnya sebagai percontohan
semisal Bogor, Depok, Bekasi untuk menyediakan pekerjaan yang sifatnya
“Regional/perwilayah”. Misalnya saja bagi pemerintah Depok, warga
masyarakat Depok bekerja di daerah Depok dan pemerintah Depok (mampu)
menyediakan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja masyarakatnya dan
yang tidak kalah penting kesejahteraan hidup dan kualitas kehidupan
masyarakatnya harus terperhatikan. Sehingga orang-orang tidak melulu
harus bertumpu pada Ibu Kota Jakarta. Begitu pula dengan daerah lainnya.
Untuk memperkuat kebijakan tersebut
buatlah sebuah perda (peraturan daerah) ataupun perbup/walikota
(peraturan bupati/walikota), kaitannya dalam memperkuat dan melegitimasi
kebijakan tersebut. Solusi yang dipaparkan diatas merupakan bentuk
solusi preventif.
Kebijakan Sosial Inklusif
Solusi lainnya yang penulis
tawarkan adalah kebijakan sosial inklusif. Kebijakan sosial
inklusif yang penulis tawarkan yakni dengan konsep ‘perkuat desa’ dan
‘pernyaman kota’. Perkuat desa yang dimaksudkan adalah perkuat
sektor-sektor yang ada diperdesaan, seperti sektor pertanian, perikanan
dan industri kreatif perdesaan harus dikembangkan, tentu memerlukan
perhatian dan tindakan yang nyata dari pemerintah setempat. Misalnya
pemerintah Ciamis, dari 258 desa yang ada di Kabupaten Ciamis,
pemerintah Kabupaten Ciamis mampu memaksimalkan sektor-sektor yang ada
diperdesaan Ciamis, minimal dua atau tiga sektor yang sudah disebutkan
diatas yakni sektor pertanian, perikanan dan industri kreatif perdesaan,
pada akhirnya desa akan mampu mandiri dan pada titik akhir urbanisasi
kurang diminati lagi. Solusi tersebut masih merupakan bentuk solusi yang
preventif.
Sedangkan konsep yang kedua ‘pernyaman
kota’merupakan bentuk solusi yang sifatnya kuratif. Solusi kuratif
dimaksudkan, ketika urbanisasi yang sudah senyatanya terjadi tentu harus
ada sebuah solusi agar pemukiman kumuh tidak terus terjadi. Dalam hal
ini dimaksudkan sebagai sebuah solusi kebijakan inklusif dengan
membuatkannya rusun (Rumah Susun) di Ibu Kota untuk para pendatang (yang
sudah senyatanya urban). Dengan dibuatkannya rusun ini agar
para pendatang yang sudah sejak lama menempati tempat kumuh tidak
menempati tempat kumuh lagi apalagi malah menciptakan pemukiman kumuh
baru, yaitu dengan berpindah ke Rusun. Sehingga kemudian tidak ada lagi
masyarakat yang tinggal di tempat kumuh.
Namun, lagi dan lagi kebijakan inklusif
ini tidak sepenuhnya menjadi sebuah solusi yang relevan dan efektif
karena tidak sedikit warga yang menolak tinggal di rusun malah ingin
tetap tinggal di tempat kumuh. Karena terdapatnya permasalahan voiceless. Kebijakan inklusif pembuatan rusun tidak sesuai dengan keinginan warga (sebagai penerima kebijakan).
Salah satu alasannya seperti sebuah
penelitian yang dilakukan litbang kompas, bahwa alasan mereka enggan
untuk pindah ke rusun karena terlalu kuatnya sosiopsikologis mereka.
Dalam arti ikatan-ikatan akan tempat yang sudah mereka tinggali dari
dulu, interaksi dengan sesama tetangga, akan berdampak pada
individualistik, pun begitu dengan ‘ladang’ penghasilan yang dekat
dengan tempat tinggal mereka. Ketika mereka harus pindah tempat tinggal,
maka mereka harus beradaptasi ‘dari awal’ kembali dengan tempat tinggal
barunya di rusun.
Maka solusi kuratif yang yang
ditawarkan dari litbang kompas dan dirasa efektif menurut penulis untuk
menyelesaikan permasalahan kota kumuh adalah dengan membuat rusun yang
tidak jauh dengan tempat tinggal mereka sebelumnya. Dengan demikian segi
sosiopsikologis keterikatan dengan tempat tinggal yang lama masih
terasa, selain itu pula pemindahan ketempat yang baru pun harus
dilakukan perkelompok, dalam arti warga yang satu kelompok tidak akan
perlu beradaptasi lagi karena ikatan-ikatan interaksi yang kuat sudah
ada sejak dahulu, dan akses pada pekerjaan pun tidak akan terlalu sulit
(kebanyakan pada sektor informal, pedagang kaki lima, penjual asongan
dan lain-lain).
Sumber: Koran Wartapriangan, 11 April 2016
0 komentar:
Posting Komentar