Senin, 11 April 2016

Kota Kumuh di Ibu Kota

Kebijakan sosial inklusif dengan konsep ‘perkuat desa’ dan ‘pernyaman kota’. Perkuat desa yang dimaksudkan adalah perkuat sektor-sektor yang ada diperdesaan yang pada akhirnya desa akan mampu mandiri dan pada titik akhir urbanisasi kurang diminati lagi. Konsep ‘pernyaman kota’ dimaksudkan, ketika urbanisasi yang sudah senyatanya terjadi tentu harus ada sebuah solusi agar pemukiman kumuh tidak terus terjadi. Dalam hal ini dengan membuat rusun (Rumah Susun) di Ibu Kota untuk para pendatang yang memperhatikan sosiopsikologis Masyarakat.

Foto: www.google.com

Fenomena yang seakan-akan menjadi hal yang biasa di Ibu Kota adalah pemukiman kumuh.  Permasalahan pemukiman kumuh di Ibu Kota semakin pelik terlebih pada musim penghujan yang melanda Ibu Kota pada bulan-bulan terakhir di tahun 2015, hingga awal-awal tahun 2016 ini.

Dari tahun ke tahun permasalahan tempat tinggal “kumuh” semakin pelik ketika musim penghujan datang, Seperti misalnya beberapa pemukiman yang berada di bantaran sungai Ciliwung,kena dampak banjir  seperti misalnya daerah Kampung Pulo. Daerah Kampung Pulo sebenarnya sudah dilakukan normalisasi sungai, namun ternyata tetap saja “permasalahan tahunan yang menjadi langganan”  tetap saja terjadi. Selain kampung pulo daerah lainnya seperti Bukit Duri pun mengalami permasalahan yang sama.

Jika sekilas melihat sejarah (dua kasus wilayah saja) Kampung Pulo dan Bukit Duri, ternyata tidak sedikit pula penduduk masyarakatnya merupakan pendatang dari beberapa wilayah di luar Ibu Kota Jakarta (Urbanisasi). Mereka dari dahulu yang sudah dari beberapa generasi, atau yang hanya baru-baru (beberapa tahun saja) menempati daerah tersebut. Seperti dikutip dari CNN Indonesia, berikut sepenggal hasil petikan wawancara oleh wartawan CNN dengan Tano warga Bukit Duri,
 “Kalau digusur ya paling bakal balik lagi ke kampung,” kata Tano.
Tano (60), warga pendatang yang telah tinggal selama 15 tahun di Bukit Duri.

Pulang ke kampung halaman merupakan salah satu solusi yang dimiliki Tarno sebab dirinya masih belum mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Menurutnya, banyak warga di Bukit Duri yang merupakan pendatang seperti dirinya.”

Hal demikian jelas membuktikan bahwa warga yang berada di dua wilayah tersebut bukanlah asli penduduk, namun pendatang. Itu hanya dilihat dari dua daerah saja, bagaimana dengan daerah-daerah lain Ibu Kota?

Untuk mengurai permasalahan kota kumuh tersebut penulis menawarkan dua solusi, yaitu solusi preventif dan solusi kuratif.

Batasi Pendatang
Solusi yang penulis tawarkan diantaranya pemerintahan ibu kota (DKI Jakarta) yang kerap kali menjadi sandaran masyarakat perdesaanatau menjadi tumpuan bagi masyarakat yang berada di wilayah “penopang” (misalnya Depok, Bogor, Bekasi) untuk “dikunjungi” oleh para pekerja atau para pencari kerja, pemerintah DKI Jakarta harus memiliki regulasi yang sifatnya “membatasi” hingga pada titik tertentu men-stop para pendatang yang ingin ke ibu kota untuk bekerja.

Seperti misalnya pemerintah DKI Jakarta membuat kesepakatan dengan pemerintahan kota lainnya sebagai percontohan semisal Bogor, Depok, Bekasi untuk menyediakan pekerjaan yang sifatnya “Regional/perwilayah”. Misalnya saja bagi pemerintah Depok, warga masyarakat Depok bekerja di daerah Depok dan pemerintah Depok (mampu) menyediakan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja masyarakatnya dan yang tidak kalah penting kesejahteraan hidup dan kualitas kehidupan masyarakatnya harus terperhatikan. Sehingga orang-orang tidak melulu harus bertumpu pada Ibu Kota Jakarta. Begitu pula dengan daerah lainnya.

Untuk memperkuat kebijakan tersebut buatlah sebuah perda (peraturan daerah) ataupun perbup/walikota (peraturan bupati/walikota), kaitannya dalam memperkuat dan melegitimasi kebijakan tersebut. Solusi yang dipaparkan diatas merupakan bentuk solusi preventif.

Kebijakan Sosial Inklusif
Solusi lainnya yang penulis tawarkan adalah kebijakan sosial inklusif. Kebijakan sosial inklusif yang penulis tawarkan yakni dengan konsep ‘perkuat desa’ dan ‘pernyaman kota’. Perkuat desa yang dimaksudkan adalah perkuat sektor-sektor yang ada diperdesaan, seperti sektor pertanian, perikanan dan industri kreatif perdesaan harus dikembangkan, tentu memerlukan perhatian dan tindakan yang nyata dari pemerintah setempat. Misalnya pemerintah Ciamis, dari 258 desa yang ada di Kabupaten Ciamis, pemerintah Kabupaten Ciamis mampu memaksimalkan sektor-sektor yang ada diperdesaan Ciamis, minimal dua atau tiga sektor yang sudah disebutkan diatas yakni sektor pertanian, perikanan dan industri kreatif perdesaan, pada akhirnya desa akan mampu mandiri dan pada titik akhir urbanisasi kurang diminati lagi. Solusi tersebut masih merupakan bentuk solusi yang preventif.

Sedangkan konsep yang kedua ‘pernyaman kota’merupakan bentuk solusi yang sifatnya kuratif. Solusi kuratif dimaksudkan, ketika urbanisasi yang sudah senyatanya terjadi tentu harus ada sebuah solusi agar pemukiman kumuh tidak terus terjadi. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai sebuah solusi kebijakan inklusif dengan membuatkannya rusun (Rumah Susun) di Ibu Kota untuk para pendatang (yang sudah senyatanya urban). Dengan dibuatkannya rusun ini agar para pendatang yang sudah sejak lama menempati tempat kumuh tidak menempati tempat kumuh lagi apalagi malah menciptakan pemukiman kumuh baru, yaitu dengan berpindah ke Rusun. Sehingga kemudian tidak ada lagi masyarakat yang tinggal di tempat kumuh.

Namun, lagi dan lagi kebijakan inklusif ini tidak sepenuhnya menjadi sebuah solusi yang relevan dan efektif karena tidak sedikit warga yang menolak tinggal di rusun malah ingin tetap tinggal di tempat kumuh. Karena terdapatnya permasalahan voiceless. Kebijakan inklusif pembuatan rusun tidak sesuai dengan keinginan warga (sebagai penerima kebijakan).

Salah satu alasannya seperti sebuah penelitian yang dilakukan litbang kompas, bahwa alasan mereka enggan untuk pindah ke rusun karena terlalu kuatnya sosiopsikologis mereka. Dalam arti ikatan-ikatan akan tempat yang sudah mereka tinggali dari dulu, interaksi dengan sesama tetangga, akan berdampak pada individualistik,  pun begitu dengan ‘ladang’ penghasilan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Ketika mereka harus pindah tempat tinggal, maka mereka harus beradaptasi ‘dari awal’ kembali dengan tempat tinggal barunya di rusun.

Maka solusi kuratif  yang yang ditawarkan dari litbang kompas dan dirasa efektif menurut penulis untuk menyelesaikan permasalahan kota kumuh adalah dengan membuat rusun yang tidak jauh dengan tempat tinggal mereka sebelumnya. Dengan demikian segi sosiopsikologis keterikatan dengan tempat tinggal yang lama masih terasa, selain itu pula pemindahan ketempat yang baru pun harus dilakukan perkelompok, dalam arti warga yang satu kelompok tidak akan perlu beradaptasi lagi karena ikatan-ikatan interaksi yang kuat sudah ada sejak dahulu, dan akses pada pekerjaan pun tidak akan terlalu sulit (kebanyakan pada sektor informal, pedagang kaki lima, penjual asongan dan lain-lain).

Dengan demikian conclusion dari tulisan ini adalah perlunya sebuah kebijakan alternatif atau kebijakan yang inklusif untuk menyelesaikan permasalahan Kota Kumuh (Pemukiman Kumuh di Ibu Kota), yaitu kebijakan yang berangkat atau memperhatikan masyarakat yang akan mendapatkan dampak dari suatu kebijakan tersebut.[]

Sumber: Koran Wartapriangan, 11 April 2016

0 komentar:

Posting Komentar