Selasa, 29 Maret 2016

Kritik Sastra Feminis Karya Prof Dr Soenarjati Djajanegara

Sering kita membaca berbagai tulisan sastra maupun non-sastra, tulisan yang sering kita jumpai tentunya tidak terlepas dari penokohan si pengarang. Kerap kali kita temukan kisah cerita yang memang bersifat gender. Gender dalam artian ada stereotip berbeda terhadap perempuan. Perempuan yang sering orang sangkakan bersifat inferior, dan posisinya hanya berada di ranah domestik. 

Hal demikian tentunya tidak terlepas dari siapa yang menulis tulisan tersebut. Dominasi kaum laki-laki dalam dunia sastra begitu kentara, pasalnya memang secara historis penulis-penulis bermunculan dari kaum laki-laki. Hal tersebut dikarenakan secara kultur seperti demikian, bahwa wanita masih dipandang sebelah mata.

Image: www.google.com

Pada perkembangannya sekitar tahun 1960-an ketika mulai munculnya gerakan feminisme, yang mana gerakan feminisme ini adalah gerakan pejuang perempuan, di mana perempuan menuntut hak-haknya dan memberikan pemahaman kepada masyarakat luas bahwa perempuan tidak selalu dipandang inferior.

Munculnya kritik-kritik terhadap karya-karya sastra, yang memang dipandang tulisannya tersebut bersifat subjektivitas laki-laki dan menginferiorkan perempuan. Pandangan tersebut berimplikasi pada persepsi masyarakat luas dan menjadikan pemahaman tersendiri tentang perempuan.

Kesuperioritasan laki-laki bisa begitu tampak karena memang pandangan penulisnya dari kalangan laki-laki. Walaupun demikian tidak bisa digeneralisir pula bahwa tidak semua penulis laki-laki yang sudut pandangnya menstereotip negatif terhadap perempuan. Hanya memang secara umum penulis beranggapan bahwa mayoritas karya-karya sastra berasal dari buah tangan para kaum adam/laki-laki.

Feminisme pun memiliki pembagiannya tersendiri, misalnya, feminisme moderat yang memandang bahwa wanita harus mengembangkan potensi dirinya dengan memperkaya wawasan, memperluas pengetahuan dan mengutamakan ilmu (menuntut ilmu). Walaupun demikian tetap saja perempuan secara kodrati harus berkeluarga atau menikah, tidak diharuskannya melajang seumur hidup, begitu juga wanita kelak akan melahirkan dan menyusui. Feminisme moderat memang berpandangan seperti demikian.

Akan tetapi jika dilihat dari pandangan feminisme radikal, bahwa gerakan perempuan ini memandang dari sudut pandang radikal. Derajat wanita harus berada di atas laki-laki. Dan, gerakan ini memang menjadi pemicu munculnya praktik lesbian. Karena, memang mereka menganggap, seakan-akan laki-laki itu selalu menindas dan menyiksa, yang pada akhirnya akan menganggap bahwa perempuanlah yang hanya dapat mengertikannya, membuat nyaman dan membahagiakannya. Terkadang hubungan tersebut tidak sampai berhubungan badan, akan tetapi hanya sama dalam hal perasaan.

Kritik sastra feminis ini memandang bahwa perlu adanya kritik terhadap penulis-penulis yang memang mempunyai sudut pandang mutlak laki-laki saja dan selalu meninferiorkan wanita. Hal tersebut perlu adanya perhatian, di mana kaum feminisme (feminisme moderat) hadir sebagai penyambung lidah atau penyalur aspirasi dan mewakili seluruh perempuan yang ingin memperjuangkan hak-haknya dan juga konsumsi masyarakat luas dalam mencerna konsep perempuan tidak salah. Karena, menurut Prof Qurais Shihab bahwa antara laki-laki dan perempuan saling melengkapi, menjadi partner satu sama lain, wanita tidak hanya di area domestik saja, begitu juga laki-laki tidak hanya ada di area publik saja.[]

Sumber: Koran Suara Karya, 27 Februari 2016

[link: http://www.suarakarya.id/2016/02/27/kritik-sastra-feminis-%E2%80%A2-karya-prof-dr-soenarjati-djajanegara.html]

0 komentar:

Posting Komentar