Image: www.google.com |
Berbicara Perempuan nampaknya ada yang kurang jika tidak membicarakan Gender. Gender seakan-akan melekat (embedded) dengan
perempuan itu sendiri. Sering kita mendengar istilah gender, dalam
dunia akademik misalnya, maupun dalam topik obrolan-obrolan santai di
warung kopi. Gender menjadi sebuah topik yang debatable dan
seakan-akan menjadi suatu yang “tak lekang dimakan zaman” untuk
diperbincangkan. Gender secara umum dapat diartikan sebagai sifat yang
melekat pada diri laki-laki maupun perempuan secara konstruk sosial
budaya.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA., (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) menjelaskan ada 2 teori besar tentang gender ini. pertama, Teori nature yakni
teori yang menyebutkan bahwa adanya pembedaan antara derajat laki-laki
dan perempuan karena memang secara alamiah. Bisa dilihat secara alamiah,
biologis, bahwa gerak perempuan seakan-akan terbatasi oleh hal yang
bersifat biologis, semisal mengandung, melahirkan, menyusui. Hal
tersebut seakan-akan menjadi suatu penghambat bagi gerak seorang
perempuan dan hal seperti itu tidak terjadi pada laki-laki. Dalam kaitan
ini bahwa lak-laki memang lebih superior dari pada perempuan. Apalagi
jika dilihat secara historis, pada zaman peperangan kala itu peran
laki-laki menjadi sangat penting, karena memang dalam peperangan
diperlukannya “kekuatan” tanpa ada banyak yang membatasi dan perempuan
itu terbatasi oleh hal-hal yang bersifat biologis tadi. Kedua, teori nurture yakni
adanya penyebutan derajat laki-laki lebih tinggi dibandingkan derajat
perempuan itu hanya karena konstruk masyarakat, atau bentukan sosial.
Berbicara Politik, erat kaitannya dengan
kekuasaan, kekuasaan pun tentunya tidak terlepas dari superioritas
laki-laki. Laki-laki seakan-akan selalu yang memiliki kesempatan dalam
berbagai lini, begitu pula dalam hal kekuasaan atau politik dan berbeda
halnya dengan perempuan. Perempuan seakan-akan tidak banyak memiliki
kesempatan andil di dunia politik.
Peraturan manusia bisa saja berubah dan
bersifat dinamis, begitu pula dengan peran seorang perempuan dalam
kancah perpolitikan di era kekinian.
Secara umum kuota bagi perempuan di
ranah perpolitikan yakni berkisar 30 %. Memang kuota yang dimiliki
perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Dan tingkat
partisipasinya pun selama beberapa tahun terakhir (dengan 30% itu) masih
belum terpenuhi semua. Selain itu pula tingkat kepercayaan masyarakat
pada ‘pemimpin perempuan’ kurang begitu baik.
Alasannya sering orang menyebutkan bahwa
perempuan mempunyai sifat yang berkecenderungan mengutamakan emosional
daripada rasional. Karena berbicara politik berbicara pula kebijakan.
Perempuan dirasa dalam memberikan arah kebijakannya lebih mengutamakan
emosionalnya. Walaupun memang faktanya mungkin tidak demikian.
Adanya stigma masyarakat, bahwa
perempuan harus atau hanya berkutat pada ranah domestik saja.
Berpendidkan tinggi tidak diharuskan karena perempuan pada akhirnya akan
kembali ke ranah domestik lagi.
Hal tersebut berpengaruh terhadap karir
politik perempuan (baik itu keinginan mencalonkan diri atau sudah
mencalonkan namun kurang dukungan).
Fakta berbicara
Sebagai contoh Perempuan Indonesia
dewasa ini sebagai cerminan Kartini Masa Kini, banyak menduduki jabatan
Politis, dari mulai Pemerintahan Pusat hingga Pemerintahan Daerah
seperti menjadi Kepala Daerah Provinsi (Gubernur) atau berkompetisi di
tingkat Provinsi (Mencalonkan Gubernur), Kabupaten (Bupati), hingga
tingkat Desa (Kepala Desa), pun demikian di jajaran menteri di kabinet
masa pemerintahan Jokowi-JK misalnya terdapat delapan menteri perempuan.
Sebut saja Prof. DR. Yohana Susana Yembise, Dip.Apling, MA Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan termasuk Menteri
Perempuan Pertama dari Papua.
Perempuan dalam Perpolitikan Nasional,
misalnya saja jika berkaca pada perpolitikan Daerah di Kabupaten Ciamis
3 tahun silam pada tahun 2013, booming dengan pesta rakyat 5
tahunan yakni pemilihan kepala daerah, atau pemilihan Bupati Kabupaten
Ciamis. Terdiri dari 4 calon pasangan, yang memang didominasi oleh
laki-laki. Akan tetapi ada seorang perempuan yang berani tampil sebagai
wakil bupati. Walaupun pada akhirnya keluar terpilih dengan suara
terbanyak ketiga. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi suatu
permasalahan, malah merupakan suatu simbol bahwa perempuan pun exsist dalam ranah perpolitikan, khususnya pada pencalonan kepala daerah di kabupaten Ciamis.
Pada tahun yang sama, pemilihan Gubernur
Jawa Timur muncul sosok perempuan yang begitu berani mencalonkan diri
sebagai calon gubernur Jawa Timur. Walaupun tidak berhasil menjadi
Gubernur, akan tetapi suara yang didapat merupakan perolehan kedua
terbesar. Dan perlu diapresiasi kegigihan Khofifah (yang saat ini mampu menjadi Menteri Sosial) untuk melaju dalam pemilu kepala daerah Jawa Timur tersebut.
Masih di tahun yang sama, kasus yang
lainnya pun, seperti pada pemilihan Wali Kota Banjar, Hj. Ade Uu sukses
menjadi walikota Banjar, Jawa Barat.
Terlebih pada Pilkada serentak tahun
2015 kemarin, terdapat pembuktian yang cukup mencengangkan, dengan
kehadiran perempuan dikancah perpolitikan Nasional. Diantarnya dikuatkan
oleh penelitian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
menunjukan bahwa muncul 46 perempuan calon kepala daerah/wakil kepala
daerah dengan suara terbanyak di pilkada serentak gelombang pertama di
45 kabupaten/kota, dari jumlah itu, 24 diantaranya adalah kepala daerah
dan sisanya 22 sebagai wakil kepala daerah. Dengan perolehan suara yang
terbilang tinggi, yaitu untuk kepala daerah rata-rata menang dengan
perolehan suara 57,44 persen. Sementara untuk wakil kepala daerah
rata-rata perolehan suaranya 44, 57 persen.
Fenomena di Indonesia pada Pemilu
serentak yang lebih mencengangkan, pemilu serentak ‘menghasilkan’
perempuan calon kepala daerah (yang goal) dengan suara
terbanyak. Suara terbanyak diantaranya Rita Widyasari di Kabupaten Kutai
Kartanegara (Kalimantan Timur), Tri Rismaharini di Kota Surabaya (Jawa
Timur), dan Siti U Suruwaky di Kabupaten Seram Bagian Timur (Maluku).
Selain sebagai kepala daerah, terdapat
pula yang menjadi wakil kepala daerah diantaranya Sofia Joesoef di
Kabupaten Batanghari (Jambi), Tuty Hamid di Kabupaten Banggai Laut
(Sulawesi Tengah) dan Dyah Hayuning Pratiwi di Kabupaten Purbalingga
(Jawa Tengah).
Bahkan, yang lebih mencengangkan lagi di
salah satu daerah yaitu Kabupaten Klaten (Jawa Tengah), calon kepala
daerah dan wakilnya yang meraih suara terbanyak adalah perempuan. Mereka
adalah Sri Hartini yang berpasangan dengan Sri Mulyani.
Tidak kalah hebatnya perempuan “Kartini
Masa Kini” hingga ke tingkat Desa pun seperti pada Pemilihan Umum
tingkat Lokal (Pilkades serentak di Kabupaten Ciamis 18 Maret 2016)
meloloskan tiga calon kepala desa perempuan, yaitu Ai Ratna Intan
Solihin Calon Kades Citeureup Kecamatan Kawali, Aan Kusmayati Calon
Kades Jayaraksa Kecamatan Cimaragas dan Icih Hendarsih Calon Kades
Gereba Kecamatan Cipaku. Yang hebatnya lagi tiga calon perempuan
tersebut mampu mengalahkan calon lainnya yang mayoritas laki-laki.
Perempuan tidak boleh dipandang sebelah
mata, tidak sedikit perempuan yang lulus gelar akademisnya hingga
bertitel Profesor dan berani pula mencalonkan diri dalam kancah
perpolitikan. Seperti beberapa kasus yang sudah dijelaskan diatas pun
menunjukan dan menjadi pertanda telah hadirnya Kartini Masa Kini.
Walaupun stigma masyarakat, bahwa
perempuan harus atau hanya berkutat pada ranah domestik saja.
Berpendidkan tinggi tidak diharuskan karena perempuan akan kembali ke
ranah domestik lagi. Akan tetapi realitasnya tidak seperti itu, seperti
sudah di paparkan bahwa perempuanpun exsist pada ranah publik dan politik.
Sumber: Warta Priangan, 21 April 2016
0 komentar:
Posting Komentar