Jumat, 22 April 2016

KARTINI MASA KINI ‘Mengulas Kembali’ Peran Perempuan di Kancah Perpolitikan Nasional

Berbicara Politik, erat kaitannya dengan kekuasaan. Kekuasaan tentunya tidak terlepas dari superioritas laki-laki. Laki-laki seakan-akan selalu memiliki kesempatan dalam berbagai lini, begitu pula dalam hal kekuasaan atau politik. Berbeda halnya dengan perempuan, perempuan seakan-akan tidak banyak memiliki kesempatan andil di dunia politik. Namun kini, Kartini Masa Kini seakan membongkar tren arus utama perpolitikan di era kekinian. Perempuan kini memiliki kesempatan untuk berkompetisi dengan laki-laki dalam panggung politik Negeri.

Image: www.google.com


Berbicara Perempuan nampaknya ada yang kurang jika tidak membicarakan Gender. Gender seakan-akan melekat (embedded) dengan perempuan itu sendiri. Sering kita mendengar istilah gender, dalam dunia akademik misalnya, maupun dalam topik obrolan-obrolan santai di warung kopi. Gender menjadi sebuah topik yang debatable dan seakan-akan menjadi suatu yang “tak lekang dimakan zaman” untuk diperbincangkan. Gender secara umum dapat diartikan sebagai sifat yang melekat pada diri laki-laki maupun perempuan secara konstruk sosial budaya.

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA., (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) menjelaskan ada 2 teori besar tentang gender ini. pertama, Teori nature yakni teori yang menyebutkan bahwa adanya pembedaan antara derajat laki-laki dan perempuan karena memang secara alamiah. Bisa dilihat secara alamiah, biologis, bahwa gerak perempuan seakan-akan terbatasi oleh hal yang bersifat biologis, semisal mengandung, melahirkan, menyusui. Hal tersebut seakan-akan menjadi suatu penghambat bagi gerak seorang perempuan dan hal seperti itu tidak terjadi pada laki-laki. Dalam kaitan ini bahwa lak-laki memang lebih superior dari pada perempuan. Apalagi jika dilihat secara historis, pada zaman peperangan kala itu peran laki-laki menjadi sangat penting, karena memang dalam peperangan diperlukannya “kekuatan” tanpa ada banyak yang membatasi dan perempuan itu terbatasi oleh hal-hal yang bersifat biologis tadi. Kedua, teori nurture yakni adanya penyebutan derajat laki-laki lebih tinggi dibandingkan derajat perempuan itu hanya karena konstruk masyarakat, atau bentukan sosial.

Berbicara Politik, erat kaitannya dengan kekuasaan, kekuasaan pun tentunya tidak terlepas dari superioritas laki-laki. Laki-laki seakan-akan selalu yang memiliki kesempatan dalam berbagai lini, begitu pula dalam hal kekuasaan atau politik dan berbeda halnya dengan perempuan. Perempuan seakan-akan tidak banyak memiliki kesempatan andil di dunia politik.

Peraturan manusia bisa saja berubah dan bersifat dinamis, begitu pula dengan peran seorang perempuan dalam kancah perpolitikan di era kekinian.

Secara umum kuota bagi perempuan di ranah perpolitikan yakni berkisar 30 %. Memang kuota yang dimiliki perempuan lebih sedikit dibandingkan  laki-laki. Dan tingkat partisipasinya pun selama beberapa tahun terakhir (dengan 30% itu) masih belum terpenuhi semua. Selain itu pula tingkat kepercayaan masyarakat pada ‘pemimpin perempuan’ kurang begitu baik.

Alasannya sering orang menyebutkan bahwa perempuan mempunyai sifat yang berkecenderungan mengutamakan emosional daripada rasional. Karena berbicara politik berbicara pula kebijakan. Perempuan dirasa dalam memberikan arah kebijakannya lebih mengutamakan emosionalnya. Walaupun memang faktanya mungkin tidak demikian.

Adanya stigma masyarakat, bahwa perempuan harus atau hanya berkutat pada ranah domestik saja. Berpendidkan tinggi tidak diharuskan karena perempuan pada akhirnya akan kembali ke ranah domestik lagi.

Hal tersebut berpengaruh terhadap karir politik perempuan (baik itu keinginan mencalonkan diri atau sudah mencalonkan namun kurang dukungan).

Fakta berbicara
Sebagai contoh Perempuan Indonesia dewasa ini sebagai cerminan Kartini Masa Kini, banyak menduduki jabatan Politis, dari mulai Pemerintahan Pusat hingga Pemerintahan Daerah seperti menjadi Kepala Daerah Provinsi (Gubernur) atau berkompetisi di tingkat Provinsi (Mencalonkan Gubernur), Kabupaten (Bupati), hingga tingkat Desa (Kepala Desa), pun demikian di jajaran menteri di kabinet masa pemerintahan Jokowi-JK misalnya terdapat delapan menteri perempuan. Sebut saja Prof. DR. Yohana Susana Yembise, Dip.Apling, MA Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan termasuk Menteri Perempuan Pertama dari Papua.

Perempuan dalam Perpolitikan Nasional, misalnya saja jika berkaca pada  perpolitikan Daerah di Kabupaten Ciamis 3 tahun silam pada tahun 2013, booming dengan pesta rakyat 5 tahunan yakni pemilihan kepala daerah, atau pemilihan Bupati Kabupaten Ciamis. Terdiri dari 4 calon pasangan, yang memang didominasi oleh laki-laki. Akan tetapi ada seorang perempuan yang berani tampil sebagai wakil bupati. Walaupun pada akhirnya keluar terpilih dengan suara terbanyak ketiga. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi suatu permasalahan, malah merupakan suatu simbol bahwa perempuan pun exsist dalam ranah perpolitikan, khususnya pada pencalonan kepala daerah di kabupaten Ciamis.

Pada tahun yang sama, pemilihan Gubernur Jawa Timur muncul sosok perempuan yang begitu berani mencalonkan diri sebagai calon gubernur Jawa Timur. Walaupun tidak berhasil menjadi Gubernur, akan tetapi suara yang didapat merupakan perolehan kedua terbesar. Dan perlu diapresiasi kegigihan Khofifah (yang saat ini mampu menjadi Menteri Sosial) untuk melaju dalam pemilu kepala daerah Jawa Timur tersebut.
Masih di tahun yang sama, kasus yang lainnya pun, seperti pada pemilihan Wali Kota Banjar, Hj. Ade Uu sukses menjadi walikota Banjar, Jawa Barat.

Terlebih pada Pilkada serentak tahun 2015 kemarin, terdapat pembuktian yang cukup mencengangkan, dengan kehadiran perempuan dikancah perpolitikan Nasional. Diantarnya dikuatkan oleh penelitian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menunjukan bahwa muncul 46 perempuan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan suara terbanyak di pilkada serentak gelombang pertama di 45 kabupaten/kota, dari jumlah itu, 24 diantaranya adalah kepala daerah dan sisanya 22 sebagai wakil kepala daerah. Dengan perolehan suara yang terbilang tinggi, yaitu untuk kepala daerah rata-rata menang dengan perolehan suara 57,44 persen. Sementara untuk wakil kepala daerah rata-rata perolehan suaranya 44, 57 persen.

Fenomena di Indonesia pada Pemilu serentak yang lebih mencengangkan, pemilu serentak ‘menghasilkan’ perempuan calon kepala daerah (yang goal) dengan suara terbanyak. Suara terbanyak diantaranya Rita Widyasari di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur), Tri Rismaharini di Kota Surabaya (Jawa Timur), dan Siti U Suruwaky di Kabupaten Seram Bagian Timur (Maluku).

Selain sebagai kepala daerah, terdapat pula yang menjadi wakil kepala daerah diantaranya Sofia Joesoef di Kabupaten Batanghari (Jambi), Tuty Hamid di Kabupaten Banggai Laut (Sulawesi Tengah) dan Dyah Hayuning Pratiwi di Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah).

Bahkan, yang lebih mencengangkan lagi di salah satu daerah yaitu Kabupaten Klaten (Jawa Tengah), calon kepala daerah dan wakilnya yang meraih suara terbanyak adalah perempuan. Mereka adalah Sri Hartini yang berpasangan dengan Sri Mulyani.

Tidak kalah hebatnya perempuan “Kartini Masa Kini” hingga ke tingkat Desa pun seperti pada Pemilihan Umum tingkat Lokal (Pilkades serentak di Kabupaten Ciamis 18 Maret 2016) meloloskan tiga calon kepala desa perempuan, yaitu Ai Ratna Intan Solihin Calon Kades Citeureup Kecamatan Kawali, Aan Kusmayati Calon Kades Jayaraksa Kecamatan Cimaragas dan Icih Hendarsih Calon Kades Gereba Kecamatan Cipaku. Yang hebatnya lagi tiga calon perempuan tersebut mampu mengalahkan calon lainnya yang mayoritas laki-laki.

Perempuan tidak boleh dipandang sebelah mata, tidak sedikit perempuan yang lulus gelar akademisnya hingga bertitel Profesor dan berani pula mencalonkan diri dalam kancah perpolitikan. Seperti beberapa kasus yang sudah dijelaskan diatas pun menunjukan dan menjadi pertanda telah hadirnya Kartini Masa Kini.
Walaupun stigma masyarakat, bahwa perempuan harus atau hanya berkutat pada ranah domestik saja. Berpendidkan tinggi tidak diharuskan karena perempuan akan kembali ke ranah domestik lagi. Akan tetapi realitasnya tidak seperti itu, seperti sudah di paparkan bahwa perempuanpun exsist pada ranah publik dan politik.

Jika dilihat secara universal kiprah perempuan dalam dunia politik dahulu sejak beberapa tahun kebelakang hingga tahun terakhir 2015 kemarin, bisa dibilang sudah mengalami peningkatan. Sedangkan pada tahun yang baru 2016 ini menjadi awal yang menjadi momentum bagi dimulainya ‘kesetaraan gender’ di Indonesia dan lahirnya Kartini-kartini Masa Kini. Semoga! (gusma)

Sumber: Warta Priangan, 21 April 2016

0 komentar:

Posting Komentar