Selasa, 26 April 2016

Eksklusi Pendidikan



Jumlah penduduk miskin di indonesia mencapai 28,59 juta. Dari jumlah penduduk miskin tersebut dapat dirincikan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan 8,29 persen atau sekira 10,65 juta, sementara di daerah pedesaan 14,21 persen atau sekira 17, 94 juta (BPS, 2015)
Terdapatnya keterkaitan antara Kemiskinan dengan Pendidikan dan begitu pula pendidikan dengan Eksklusi Sosial yang disebabkan kemiskinan. Eksklusi sosial dibidang pendidikan merupakan implikasi dari kemiskinan. Seperti disebutkan Smith dan Noble dikutip Harlambos dan Halborn (2004):
“In a study of the effect of poverty on schooling. Barriers to learning which can result from low income.”

Image: www.google.com

Namun terdapat pula masyarakat berpenghasilan rendah (bukan miskin) yang memilki kesadaran tinggi terhadap pendidikan. Mereka tetap menyekolahkan anaknya walaupun keadan ekonomi keluarga sulit. Hal ini berimplikasi pada proses pembelajaran di sekolah, Smith dan Noble seperti dikutip Harlambos dan Halborn (2004) menyebutkan hambatan-hambatan dalam belajar yang disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi), atau sering disebut dengan istilah Barriers to Learning, yaitu diantaranya:
1.   Ketidakmampuan untuk mendapatkan seragam sekolah, perjalanan ke sekolah, transportasi ke sekolah dan dari sekolah, fasilitas belajar di kelas, dan untuk beberapa kasus sulitnya mendapatkan sumber bacaan sekolah. Hal demikian dapat menyebabkan anak terisolasi, tertindas, dalam proses belajar disekolah meraka.
2.   Anak anak dari keluarga yang berpendapatan rendah kemungkinan besar mengalami masalah kesehatan yang bisa mempengaruhi kehadiran dan proses belajar di sekolah.
3.   Ekonomi rendah diartikan bahwa orang tua tidak mampu memberikan biaya atau akses pendidikan privat untuk anak mereka.
4.   Ekonomi rendah sangat mungkin tidak memiliki akses komputer rumah dengan internet, meja belajar, alat peraga, buku, tempat ketika mengerjakan PR, dan rumah yang nyaman dan baik untuk menunjang belajar.
5.   The marketization of school memungkinkan peningkatan polarisasi keberhasilan, fasilitas sekolah yang baik berada di daerah maju sedangkan sekolah-sekolah berfasilitas rendah ada di daerah miskin. Hal tersebut akan mengurangi kesempatan anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Selain konsep Barriers to Learning, permasalahan-permasalah dalam dunia pendidikan yang sifatnya mengeksklusi yaitu Poverty penalty menjelaskan fenomena dimana masyarakat miskin membayar lebih mahal untuk makan dan membeli barang dibandingkan masyarakat kelas atas (Prahalad, 2009). Menurut Muller dan Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal di daerah terpencil dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena mereka tinggal di daerah lingkungan informal dimana kurangnya lnfrastruktur khususnya transportasi.
Jika ditanya, bagaimana dengan kasus di Indonesia? Apakah kedua konsep diatas relevan dengan konteks masyarakat Indonesia dewasa ini? Jawabannya adalah Benar. Benar masih saja dibeberapa daerah di Indonesia dapat kita temukan permasalahan-permasalahan yang ada seputar pendidikan.
Seperti misalnya sebuah berita dari Tempo (2015), menyebutkan bahwa jarak tempuh untuk mencapai sekolah tidak bisa dikatakan jaraknya dekat, seperti berikut:
“Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data bahwa berdasarkan hasil pendataan potensi desa yang dilakukan tiga kali dalam sepuluh tahun, sebanyak 10.985 desa masih belum memiliki sekolah dasar (SD) atau mencapai 13,37 persen. "Sebanyak 10.985 desa masih belum memiliki sekolah dasar, termasuk madrasah ibtidaiyah, atau sebesar 13,37 persen dari total 82.190 desa," kata Kepala BPS Suryamin dalam jumpa pers di Jakarta, Senin, 16 Februari 2015.
Suryamin mengatakan, dari 10.985 desa yang tidak memiliki sekolah dasar tersebut, sebanyak 2.438 desa atau kelurahan di antaranya memiliki jarak tempuh sedikitnya tiga kilometer ke SD terdekat. Sedangkan 86,63 persen lainnya sudah memiliki sarana sekolah dasar.
"Untuk sarana pendidikan SLTP sudah ada di 6.799 kecamatan, atau mencapai 96,11 persen. Adapun 275 kecamatan atau 3,89 persen tidak memiliki sarana pendidikan SLTP," ujar Suryamin.
Dari 275 kecamatan yang tidak memiliki sarana pendidikan SLTP tersebut, sebanyak 66,91 persen, atau 184 kecamatan, jarak tempuh ke SLTP terdekat lebih dari enam kilometer
Untuk tingkat SLTA, masih terdapat 816 kecamatan atau 11,54 persen yang belum memiliki sarana pendidikan tersebut. Sebanyak 508 kecamatan di antaranya, jarak tempuh ke SLTA terdekat lebih dari enam kilometer.
Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa mereka (anak-anak yang berada di daerah terpencil dan miskin) harus “mengeluarkan biaya lebih untuk bersekolah” atau dengan kata lain mereka kena Poverty Penalty. Senada dengan apa yang dijelaskan Muller dan Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal di daerah terpencil dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena mereka tinggal di daerah lingkungan informal dimana kurangnya infrastruktur khususnya transportasi. Selain itu pula data tersebut menunjukan bahwa Barriers to Learning begitu kentara disana. Masih ada di beberapa Desa, atau kecamatan tidak memiliki sarana pendidikan yang menunjang pendidikan mereka. Seperti yang disebutkan Harlambos dan Halborn (2004) hambatan-hambatan dalam belajar yang disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi), atau sering disebut dengan istilah Barriers to Learning, yaitu ketidakmampuan untuk mendapat fasilitas belajar di kelas, dan sulitnya mendapatkan sumber bacaan sekolah.
Solusi yang penulis tawarkan untuk pemerintah yaitu pertama, pemerintah harus benar-benar mengupayakan (secara struktural) misalnya dengan program-program yang berorientasi pada “pembangunan” masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil. Misalnya program KIP (Kartu Indonesia Pintar). Program tersebut harus diupayakan mampu mencapai hingga daerah-daerah terpencil secara massif. Kedua, pemerintah harus men-support kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CSO atau komunitas-komunitas, jika perlu dibentuklah regulasi yang menunjukan apresiasi pemerintah kepada CSO.
Program CSR yang menurut hemat penulis mampu “meratakan” pendidikan hingga ke daerah-daerah yaitu CSR yang berupa beasiswa. Namun permasalahannya pada tataran teknis pengimplementasian beasiswa tersebut (kerap terjadi salah sasaran). Maka solusinya adalah perlu “seleksi administrasi dan kapabelitas” penerima beasiswa secara bertanggung jawab, jika perlu tanda tangan diatas materai dan dilibatkannya lembaga penegak hukum jika dikemudian hari terdapat kecurangan.
Peran komunitas atau hadirnya CSO seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya,  Seperti misalnya Gerakan Indonesia Mengajar (2015) besutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era dewasa ini. Seperti tag line  atau moto yang diusung “Berhenti mengeluh tidaklah cukup. Berkata-kata indah penuh semangat juga tidak pernah cukup. Lakukan sesuatu sekarang. Bergabung dalam kerumunan positif dan terlibat membangun masyarakat sipil yang kuat.” Gerakan-gerakan masyarakat sipil seperti ini dapat menjangkau desa-desa terpencil sekalipun, sehingga kesamaan kesempatan (Equality of Oppertunity) dalam mengakses pendidikan oleh anak - anak di daerah dapat tercapai dan yang paling utama dengan adanya CSO atau komunitas-komunitas tentunya dapat membantu pemerintah dalam menyelesaikan “pekerjaan-pekerjaan rumahnya”. (gusma)

Sumber: eurekapendidikan.com, 24 April 2016 (http://www.eurekapendidikan.com/2016/04/eksklusi-pendidikan-agus-mauluddin.html#more)

0 komentar:

Posting Komentar