Jumlah
penduduk miskin di indonesia mencapai 28,59 juta. Dari jumlah penduduk miskin
tersebut dapat dirincikan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan 8,29
persen atau sekira 10,65 juta, sementara di daerah pedesaan 14,21 persen atau
sekira 17, 94 juta (BPS, 2015)
Terdapatnya keterkaitan antara Kemiskinan dengan
Pendidikan dan begitu pula pendidikan dengan Eksklusi Sosial yang disebabkan
kemiskinan. Eksklusi sosial dibidang pendidikan merupakan implikasi dari
kemiskinan. Seperti disebutkan Smith dan Noble dikutip Harlambos dan Halborn
(2004):
“In
a study of the effect of poverty on schooling. Barriers to learning which can
result from low income.”
Image: www.google.com |
Namun
terdapat pula masyarakat berpenghasilan rendah (bukan miskin) yang memilki
kesadaran tinggi terhadap pendidikan. Mereka tetap menyekolahkan anaknya
walaupun keadan ekonomi keluarga sulit. Hal ini berimplikasi pada proses
pembelajaran di sekolah, Smith dan Noble seperti dikutip
Harlambos dan Halborn (2004) menyebutkan hambatan-hambatan dalam belajar yang
disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi), atau sering disebut dengan
istilah Barriers to Learning, yaitu
diantaranya:
1.
Ketidakmampuan untuk mendapatkan seragam
sekolah, perjalanan ke sekolah, transportasi ke sekolah dan dari sekolah,
fasilitas belajar di kelas, dan untuk beberapa kasus sulitnya mendapatkan
sumber bacaan sekolah. Hal demikian dapat menyebabkan anak terisolasi,
tertindas, dalam proses belajar disekolah meraka.
2.
Anak anak dari keluarga yang
berpendapatan rendah kemungkinan besar mengalami masalah kesehatan yang bisa
mempengaruhi kehadiran dan proses belajar di sekolah.
3.
Ekonomi rendah diartikan bahwa orang tua
tidak mampu memberikan biaya atau akses pendidikan privat untuk anak mereka.
4.
Ekonomi rendah sangat mungkin tidak
memiliki akses komputer rumah dengan internet, meja belajar, alat peraga, buku,
tempat ketika mengerjakan PR, dan rumah yang nyaman dan baik untuk menunjang
belajar.
5.
The marketization of school
memungkinkan peningkatan polarisasi keberhasilan, fasilitas sekolah yang baik
berada di daerah maju sedangkan sekolah-sekolah berfasilitas rendah ada di
daerah miskin. Hal tersebut akan mengurangi kesempatan anak-anak dari keluarga
miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Selain
konsep Barriers to Learning, permasalahan-permasalah
dalam dunia pendidikan yang sifatnya mengeksklusi yaitu Poverty penalty menjelaskan
fenomena dimana masyarakat miskin membayar lebih mahal untuk makan dan membeli
barang dibandingkan masyarakat kelas atas (Prahalad, 2009). Menurut Muller dan Mendoza (2011) masyarakat miskin
membayar lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal di daerah terpencil
dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena mereka tinggal di daerah
lingkungan informal dimana kurangnya lnfrastruktur khususnya transportasi.
Jika
ditanya, bagaimana dengan kasus di Indonesia? Apakah kedua konsep diatas
relevan dengan konteks masyarakat Indonesia dewasa ini? Jawabannya adalah
Benar. Benar masih saja dibeberapa daerah di Indonesia dapat kita temukan
permasalahan-permasalahan yang ada seputar pendidikan.
Seperti
misalnya sebuah berita dari Tempo (2015), menyebutkan bahwa jarak tempuh untuk
mencapai sekolah tidak bisa dikatakan jaraknya dekat, seperti berikut:
“Badan
Pusat Statistik (BPS) melansir data bahwa berdasarkan hasil pendataan potensi
desa yang dilakukan tiga kali dalam sepuluh tahun, sebanyak 10.985 desa masih
belum memiliki sekolah dasar (SD) atau mencapai 13,37 persen. "Sebanyak
10.985 desa masih belum memiliki sekolah dasar, termasuk madrasah ibtidaiyah,
atau sebesar 13,37 persen dari total 82.190 desa," kata Kepala BPS
Suryamin dalam jumpa pers di Jakarta, Senin, 16 Februari 2015.
Suryamin
mengatakan, dari 10.985 desa yang tidak memiliki sekolah dasar tersebut,
sebanyak 2.438 desa atau kelurahan di antaranya memiliki jarak tempuh
sedikitnya tiga kilometer ke SD terdekat. Sedangkan 86,63 persen lainnya sudah
memiliki sarana sekolah dasar.
"Untuk
sarana pendidikan SLTP sudah ada di 6.799 kecamatan, atau mencapai 96,11
persen. Adapun 275 kecamatan atau 3,89 persen tidak memiliki sarana pendidikan
SLTP," ujar Suryamin.
Dari
275 kecamatan yang tidak memiliki sarana pendidikan SLTP tersebut, sebanyak
66,91 persen, atau 184 kecamatan, jarak tempuh ke SLTP terdekat lebih dari enam
kilometer
Untuk tingkat SLTA, masih terdapat 816 kecamatan atau 11,54
persen yang belum memiliki sarana pendidikan tersebut. Sebanyak 508 kecamatan
di antaranya, jarak tempuh ke SLTA terdekat lebih dari enam kilometer.
Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa mereka (anak-anak
yang berada di daerah terpencil dan miskin) harus “mengeluarkan biaya lebih
untuk bersekolah” atau dengan kata lain mereka kena Poverty Penalty. Senada dengan apa yang dijelaskan Muller dan
Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar lebih mahal disebabkan karena mereka
tinggal di daerah terpencil dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena
mereka tinggal di daerah lingkungan informal dimana kurangnya infrastruktur
khususnya transportasi. Selain itu pula data tersebut menunjukan bahwa Barriers to Learning begitu kentara
disana. Masih ada di beberapa Desa, atau kecamatan tidak memiliki sarana
pendidikan yang menunjang pendidikan mereka. Seperti yang disebutkan Harlambos
dan Halborn (2004) hambatan-hambatan dalam belajar yang
disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi), atau sering disebut dengan
istilah Barriers to Learning, yaitu ketidakmampuan untuk mendapat fasilitas belajar di
kelas, dan sulitnya mendapatkan sumber bacaan sekolah.
Solusi yang penulis tawarkan untuk
pemerintah yaitu pertama, pemerintah
harus benar-benar mengupayakan (secara struktural) misalnya dengan
program-program yang berorientasi pada “pembangunan” masyarakat yang berada di
daerah-daerah terpencil. Misalnya program KIP (Kartu Indonesia Pintar). Program
tersebut harus diupayakan mampu mencapai hingga daerah-daerah terpencil secara
massif. Kedua, pemerintah harus men-support kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh CSO atau komunitas-komunitas, jika perlu dibentuklah regulasi yang
menunjukan apresiasi pemerintah kepada CSO.
Program CSR yang menurut hemat penulis mampu “meratakan” pendidikan hingga ke
daerah-daerah yaitu CSR yang berupa beasiswa. Namun permasalahannya pada
tataran teknis pengimplementasian beasiswa tersebut (kerap terjadi salah
sasaran). Maka solusinya adalah perlu “seleksi administrasi dan kapabelitas” penerima
beasiswa secara bertanggung jawab, jika perlu tanda tangan diatas materai dan
dilibatkannya lembaga penegak hukum jika dikemudian hari terdapat kecurangan.
Peran komunitas atau hadirnya CSO seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, Seperti misalnya
Gerakan Indonesia Mengajar (2015) besutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era
dewasa ini. Seperti tag line atau moto yang diusung “Berhenti mengeluh tidaklah cukup. Berkata-kata indah penuh semangat
juga tidak pernah cukup. Lakukan sesuatu sekarang. Bergabung dalam kerumunan
positif dan terlibat membangun masyarakat sipil yang kuat.” Gerakan-gerakan
masyarakat sipil seperti ini dapat menjangkau desa-desa terpencil sekalipun,
sehingga kesamaan kesempatan (Equality of Oppertunity) dalam mengakses pendidikan
oleh anak - anak di daerah dapat tercapai dan yang paling utama dengan adanya
CSO atau komunitas-komunitas tentunya dapat membantu pemerintah dalam
menyelesaikan “pekerjaan-pekerjaan rumahnya”. (gusma)
Sumber: eurekapendidikan.com, 24 April 2016 (http://www.eurekapendidikan.com/2016/04/eksklusi-pendidikan-agus-mauluddin.html#more)
0 komentar:
Posting Komentar