Selasa, 11 Oktober 2016

Pola Interaksi Baru

Foto tersebut menjadi viral di media sosial. Sepintas terlihat sebagai sesuatu yang lucu dan mengundang gelak tawa. Namun jika dicermati lebih dalam, mungkin cara seperti itu ada benarnya. Dewasa ini memang muncul dengan apa yang disebut Imam B. Prasodjo (Sosiolog UI) sebagai Pola Interaksi Baru. Beralihnya dari offline society (face to face interaction) menjadi online society ("virtual interaction").

Tatkala duduk bersama seperti sedang makan, misalnya, interaksi secara langsung 'urung' dilakukan. satu sama lain sibuk dengan gadget nya masing-masing. "Tubuhnya hadir, jiwanya tidak. Jiwanya berada didunia virtual yang jauh diantah berantah".

Mungkin saja dengan cara demikian (seperti nampak di foto), kualitas interaksi sosial akan tercipta, sehingga kualitas kehidupan pun akan tercipta tatkala gadget dan semacamnya sejenak di lepaskan dahulu.

Foto: +Desinema 

Sabtu, 17 September 2016

PON XIX/2016 Jawa Barat Dongkrak Perekonomian Rakyat

Perhelatan Akbar “se-Indonesia” akan dibuka tidak lama. Pembukaan akan terselenggara malam ini, dibuka langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo. Pekan Olah Raga Nasional (PON) ini dijadwalkan terselenggara hingga 29 September 2016 mendatang.

Berbagai pertandingan dari berbagai cabor (cabang olahraga) dipertontonkan dan menjadi suguhan epik, sebab para pemenang dari setiap cabor bak pahlawan yang mengangkat nama daerah dan menjadi wakil daerah sebagai peraih torehan emas, perak atau perunggu.

PON XIX/2016 ini bertempat di Jawa Barat. Berbagai daerah dari belahan Indonesia akan menampilkan performa terbaiknya di Tanah Legenda. Jawa Barat, didaulat menjadi Tuan Rumah penyelenggaraan PON XIX/2016. Dengan mengusung cita-cita, sekaligus harapan bersama, terselenggaranya PON XIX/2016 yang Sukses Prestasi, Sukses Penyelenggaraan, Sukses Perekonomian Rakyat dan Sukses Administrasi.


Sumber Gambar: jalan2.com


Pelaksanaan PON XIX/2016 Jawa Barat ini berdasarkan surat keputusan KONI pusat No. 57 Tahun 2015 tentang Penyempurnaan Surat Keputusan KONI Pusat No. 42 Tahun 2014 Tentang Penetapan Cabang Olahraga. Nomor-nomor Pertandingan Perlombaan dan Kuota Atlet setiap Cabang Olahraga Pekan Olahraga Nasional (PON) Tahun XIX/2016 Jawa Barat. PON XIX/2016 ini terdiri dari 44 cabang olahraga, 10 cabang olahraga eksebisi dengan total nomor pertandingan, 365 pertandingan putra, 302 pertandingan putri, 33 pertandingan campuran dan 50 pertandingan terbuka di 61 Venue yang tersebar di 15 Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Sekitar 8403 atlet diluar atlet tuan rumah memperebutkan 755 medali emas, 755 medali perak, 962 medali perunggu dan diawasi sekitar 2195 PP/Wasit/Juri (pon-peparnas2016jabar.go.id, 7/9). Jumlah yang tidak sedikit bukan, orang yang akan “memadati” Tanah Legenda (Jawa Barat) pada perhelatan tersebut. Lantas apa?

Dongkrak Ekonomi Rakyat

Senada dengan apa yang dicita-citakan penyelenggara, yakni Jawa Barat -sebagai tuan rumahnya-, memiliki cita-cita luhung, yaitu “Sukses Perekonomian Rakyat”. Dari perhelatan tersebut sebenarnya tidak hanya hajat terkait Olah Raga semata, namun merupakan hajat berbagai elemen masyarakat. Apa maksudnya?

Dari beberapa informasi menyebutkan, ternyata tidak hanya sejumlah atlit dan ofisial dan lain-lainnya yang memang memiliki andil langsung dalam perhelatan olah raga empatahunan ini, namun ada pula para supporter dari setiap daerah dan para atlit yang membawa keluarganya (Tempo, 6/9). Semakin fantastis bukan jumlahnya. Pertanyaan sederhananya, mereka akan tinggal dimana? Bagaimana mereka mendapatkan makanan, hiburan dan lain sebagainya selama perhelatan tersebut berlangsung?

Berdasarkan informasi yang dapat penulis himpun dari berbagai sumber, menyebutkan kebutuhan akan hunian semisal Hotel melonjak tinggi. Maka tidak heran para pengelola hunian sedang sibuk mempersiapkan semuanya sedimikian rupa. Disamping itu, kebutuhan akan hiburan dan asupan makan selama berlangsungnya perhelatan -atau mungkin saja diantara supporter atau keluarga para atlit, ada yang memang sengaja, bukan hanya untuk menghadiri dan memeriahkan perhelatan, tapi memang dipersiapkan untuk berwisata di Kota Bandung (yang menjadi pusat perhelatan), karena Kota Bandung menjadi magnet tersendiri bagi para wisatawan Nusantara, dari mulai kota kreatif hingga kota kuliner disandangnya. Begitu pula dengan Kabupaten/Kota lainnya di Jawa Barat yang menjadi penyedia Venue cabor yang dipertandingkan. Seperti, Kabupaten Bandung (Bulu Tangkis, Wushu dll), Kabupaten Ciamis (Sepeda BMX), Kabupaten Pangandaran (Terjun Payung) dan lainnya.
Disini merupakan momen yang tepat untuk mendongkrak perekonomian rakyat.

Dalam memenuhi kebutuhan para atlit, ofisial, supporter, pun demikian keluarga para atlit selain kebutuhan hunian, yaitu kebutuhan akan hiburan dan kuliner, perlunya melibatkan berbagai elemen di masyarakat. Seperti misalnya pemkab/pemkot menyelenggarakan “CN Festival” (Culinary Night), yang terpenting dilibatkannya elemen masyarakat didalamnya. Semisal, para penyedia produk (kuliner) tersebut merupakan warga sekitar. Yang paling penting juga, “CN Festival” ini sebagai ajang promosi produk-produk lokal. Dalam “CN Festival” ini bisa pula diselipkan “Galeri Wisata”. Artinya, “Galeri Wisata” ini mempromosikan tempat-tempat wisata di daerahnya, berupa konsep Galeri.

Dengan demikian akan mendongkrak pendapatan daerah. Karena dengan adanya “Galeri Wisata” ini secara tidak langsung menginformasikan pada para pengunjung asing (orang diluar daerah), “Ini loh di daerah kami ada tempat-tempat wisata yang recommended untuk anda-anda sekalian kunjungi”. Selain “CN Festival”, bisa diterapkan pula Pasar Desa, -yang menjadi salah-satu program Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT)- dengan konsep yang sama yakni pelibatan elemen masyarakat didalamnya. Seperti misalnya, keterlibatan Karang Taruna dalam mengelola tempat parkirnya, pedagang berasal warga asli desanya, terlebih Pasar Desa ini sudah dikelola oleh BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) karena akan menambah pendapatan asli desa (PADesa).

Dari kesemuanya itu, ternyata ada yang tidak kalah penting, yakni bagaimana dengan keberlanjutan perekonomian rakyat, setelah event empatahunan itu usai?

Penulis melihat perlunya penguatan BUMDes. Artinya, dengan adanya BUMDes, pengelolaan semisal Pasar Desa akan tetap terus ada, sekalipun para pengunjung dari luar (karena event PON usai) sudah tidak ada lagi. Dengan adanya Pasar Desa, disana adanya pertukaran uang, barang dan jasa. Disamping tidak adanya lagi pengunjung luar, sekali pun yang menjadi kemafhuman bersama, Pemerintah Pusat saat ini sedang mengefisiensi anggaran, termasuk anggaran ke daerah. maka dengan BUMDes ini masyarakat akan tetap berkelanjutan.(gusma)

Penulis: Agus Mauluddin (gusma)

Sabtu, 23 Juli 2016

Problematika BUMDes

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) kurang diminati. Itu sebuah istilah yang menunjukkan pada problematika BUMDes saat ini. Kenapa kurang diminati, apakah karena rumitnya regulasi? Atau karena minimnya sosialisasi? Atau pula karena faktor “kemalasan” dalam mengorganisasi?

Beberapa pertanyaan yang menggambarkan problematika BUMDes saat ini perlu menjadi perhatian yang serius. Pasalnya, keberadaan BUMDes ini memiliki nilai manfaat yang tidak bisa disepelekan. Dengan adanya BUMDes perekonomian masyarakat terangkat dan kesejahteraan masyarakat meningkat.

Sayangnya, dari sekian banyak desa di Indonesia yaitu berkisar 74.000 desa, hanya sekitar 12.000 desa saja yang memiliki BUMDes. Jumlah BUMDes yang berkisar 12.000 di tahun 2016 ini termasuk mengalami peningkatan, dari yang semula hanya 1.000-an saja di tahun 2014. Selanjutnya, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menargetkan akan membentuk 15.000 BUMDes di tahun 2016 ini.

Praktiknya BUMDes ini dapat termanifestasi dalam beragam bentuk. Keberagaman bentuk BUMDes tidak terlepas dari karakteristik perdesaannya itu sendiri. Artinya, pembentukan jenis BUMDes dapat disesuaikan dengan potensi desa yang dapat dikembangkan oleh masing-masing desa. Desa Pertanian misalnya -memiliki potensi yang dapat dikembangkan di biang pertanian- bisa membentuk BUMDes berupa Badan Usaha yang mengelola lumbung padi dan komoditas lain, penyedia benih dan pupuk, sarana pengering gabah, dan sarana pengolahan hasil panen, serta kios pemasaran hasil panen (beras dan komoditas lain).

Di Desa Nelayan, BUMDes dapat berupa Badan Usaha penyedia peralatan melaut semisal perahu, alat tangkap ikan, sarana pengeringan ikan, gudang penyimpanan ikan, hingga TPI (Tempat Pelelangan Ikan).

Bagi karakteristik desa tertentu, misalnya membentuk Pasar Rakyat (Desa) yang dikelola oleh pemerintahan desa bisa menjadi pilihan. Terlebih Pasar Desa ini termasuk pada program Kemendes PDTT yang akan direalisasikan di tahun 2016 ini, yaitu program membangun 200 Pasar Desa. Pasar Desa ini bisa dijalankan oleh BUMDes untuk memasarkan produk yang dihasilkan masyarakat desa, sehingga pemerintah desa akan memiliki sumber pendapatan.

Sumber Gambar: jetis.ponorogo.go.id


Mengurai Permasalahan
Jika kembali pada pertanyaan awal mengapa BUMDes kurang diminati, apakah karena tidak ada sosialisasi?
Penulis melihat, sebenarnya sosialisasi dari Kemendes PDTT sudah ada, namun belum masif. Maka dari itu perlunya peran pemerintah daerah (kabupaten) dalam melakukan sosialisasi BUMDes ini. Pemerintah daerah harus ikut andil dalam melakukan sosialisasi ke tingkat terkecil pemerintahan yaitu tingkat Desa. Pemerintah daerah mengadakan sosialisasi kepada seluruh kepala desa di daerahnya. Misalnya pemerintah daerah mengundang setiap kepala desa dari setiap desa yang berada di kabupatennya untuk kegiatan sosialisasi BUMDes, yang bertempat di Aula Pemerintahan Daerah (Pendopo). Sosialisasi ini bukan hanya sebatas kegiatan seremonial semata, tapi tanggung jawab dan komitmen penuh antara pemerintah daerah dan desa untuk menerapkan BUMDes secara nyata di setiap desa.

Walaupun demikian penulis tidak memungkiri dalam memperkuat peran pemda ini yaitu berupa sosialisasi ditingkat daerah, semata karena belum menjadi fokus utama pemerintah daerah, karena pemda masih memfokuskan diri dengan pengelolaan Dana Desa. Namun, ke depan penulis berharap pemda mulai memfokuskan diri pada BUMDes ini. Mengingat kehadiran BUMDes dapat mengangkat perekonomian masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa setempat dan mengurangi pengangguran serta mengentaskan kemiskinan.

Jika kasusnya BUMDes ini kurang diminati karena faktor ‘kemalasan’ dalam pengorganisasian, menurut hemat penulis, pihak desa harus melibatkan berbagai elemen yang ada di dalam masyarakat desa. Semisal memberdayakan karang taruna tiap dusun/kampung. Kenapa karang taruna? Karena karang taruna merupakan elemen di dalam masyarakat yang ‘didominasi’ oleh anak muda, yang notabene anak muda ini memiliki “semangat juang” tinggi, kreativitas “tanpa batas”, dan inovasi  yang bervariasi, serta memiliki visi berdaya saing tinggi. Asalkan karang taruna ini benar-benar dirangkul oleh pemerintah desa. Anak muda jika diperhatikan dan potensinya mampu diberdayakan maka akan sangat bermanfaat untuk desa setempat.

Jika permasalahannya pada regulasi yang berbelit, sebenarnya regulasi BUMDes ini sudah termaktub dalam Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2015 yang dipertegas dengan pernyataan Kemendes PDTT, bahwa pembentukan BUMDes ini mudah karena sepenuhnya diserahkan kepada kewenangan desa masing-masing (musyawarah BPD, kepala desa dan unsur masyarakat desa). Artinya, permasalahan regulasi berbelit ini tidak benar adanya, karena pembentukan BUMdes ini tidaklah sulit karena diserahkan “sepenuhnya” kepada pemerintahan desa.

Masih terkati regulasi, jika suatu desa belum mampu membentuk BUMDes secara mandiri -masih diatur dalam Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2015-, desa dapat bekerjasama dengan desa lain untuk membentuk BUMDes. Artinya, satu BUMdes dimiliki dua desa atau lebih.

Selain itu BUMdes ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Pusat, terutama dalam kerangka kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. Sebab masih dalam UU Desa disebutkan bahwa hasil dari BUMdes ini diperuntukan guna pengembangan usaha masyarkat desa, pemberdayaan masyarakat desa, pembangunan desa,  dan pemberian bantuan untuk masyarkat miskin berupa hibah bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).

Tidak kalah pentingnya, BUMdes ini menjadi perhatian Pemerintah Pusat sebab menjadi visi dan jargon yang selalu digembor-gemborkan pemerintah saat ini yakni ‘Membangun Indonesia dari Desa’. Semoga BUMDes dapat terealisasi di setiap desa di Negeri tercinta kita Indonesia.[] (gusma)

Sumber: Koran Kabar Priangan. Rabu, 20 Juli 2016.

Plus Minus Urban Primacy

Memang ibarat dua sisi mata uang, urban primacy ini memiliki kelebihan dan begitu pula kekurangan. Di satu sisi diperlukan karena sebagai simbol yang merepresentasikan pertumbuhan suatu negara. Di sisi lain, urban primacy akan berdampak krusial bagi dirinya sendiri, karena jika tidak ditangani secara tepat bukan menjadi diperlukan namun akan memunculkan permasalahan-permasalahan di perkotaan. Permasalahan kota yang dimaksud seperti slum area (permukiman kumuh), urban squatter (penghuni liar) dan urban poverty (kemiskinan kota).

Berbicara urban primacy maka akan menemukan sebuah istilah yang disebut dengan primate city. Karena urban primacy sarat akan primate city, kota utama yang tumbuh dominan dari kota-kota lainnya. Kaitannya dalam hal ini semisal Manila dengan Cebu, Bangkok dan Chiangmai, Jakarta dan Surabaya dan lain sebagainya.

Jakarta sebagai urban primacy dan Surabaya sebagai secondary city memiliki pembangunan dan pertumbuhan yang begitu kentara berbeda antara satu dengan yang lainnya, walaupun pada perkembangannya Surabaya mulai beranjak dan memperlihatkan tren yang positif dalam hal pembangunan dan pertumbuhan kotanya. Walaupun demikian, misalnya, seperti Jakarta sebagai urban primacy tetap tumbuh dominan dengan secondary city Surabaya dalam hal populasi penduduk Surabaya masih berkisar 2,7 juta, sedangkan Jakarta sudah berkisar 10 juta.

Populasi yang begitu cepat di ‘Kota Utama’ tentunya tidak terlepas dari daya tarik Kota Utama itu sendiri, yang menawarkan pertumbuhan dan pembangunan yang begitu cepat. Dengan demikian, dirasa akan mampu mencukupi penghidupan masyarakatnya (dengan pekerjaan yang mudah dan gaji yang tinggi), dan ditopang pula dengan daya dorong masyarakat menganggap bahwa di ‘daerah’ belum mampu menyediakan pekerjaan yang layak dan gaji yang kurang menjanjikan.

Jika ditanya mengapa atau bagaimana kemunculan dari urban primacy itu, maka tidak terlepas dari urban planologis-nya. Sentralisasi pembangunan, pertumbuhan yang menjadi ciri Kota Utama seperti Jakarta memang sudah secara planologis dipersiapkan untuk itu. Kota Utama menjadi sentral dan berada di jantung negara.

Pembangunan kota di sekitar Kota Utama sudah tidak dimungkinkan lagi karena tanah-tanah sudah dikuasai oleh yang disebut land speculator. Sehingga, pembangunan kota-kota yang lainnya berada di area luar atau biasa disebut sub-urban. Pembangunan yang menjauhi Kota Utama atau berada di area luar (sub-urban) sering disebut dengan Leapfrog Development (pembangunan lompat katak). Pembangunan lebih melebar ke area luar dari kota utama.

Kemunculan urban primacy ini jika tidak segera ditangani maka akan memiliki dampak yang krusial bagi kota utama itu sendiri. Karena urban primacy ini tentunya memiliki kekurangan dan juga kelebihan.

Memang ibarat dua sisi mata uang. Urban primacy ini memiliki kelebihan dan begitu pula kekurangan. Di satu sisi, Kota Utama sebagai pusat dari pembangunan, dan pertumbuhan yang merepresentasikan suatu negara, keberadaannya memang diperlukan. Di sisi lain, Kota Utama (jika tidak dikelola) akan menjadi sebuah kota yang maju sendiri secara ekonomi, misalnya, karena menjadi pusat pertumbuhan ekonomi.

Dalam waktu yang sama, pertumbuhan yang cepat itu akan menyebabkan arus urbanisasi yang begitu cepat hingga over population, dan Kota Utama pun tidak mampu membendung lagi.

Dari fenomena tersebut akan memunculkan permasalahan-permasalahan kota, menyusul kian bermunculannya permukiman kumuh, penghuni liar dan kemiskinan kota. Hal ini terjadi karena masyarakat urban tidak mampu menempati tempat-tempat yang memang secara legal sudah disiapkan pemerintah setempat, seperti di perumahan. Namun, apa daya, permasalahan ekonomi yang mengharuskan mereka berada tinggal atau menempati tempat-tempat liar nan kumuh di perkotaan. Ini menjadikan mereka penghuni liar yang menempati tanah-tanah milik negara untuk keperluan publik.

Terjadinya urban ini bukan menciptakan ketahanan ekonomi bagi masyarakat 'yang urban' (yang pada awalnya menjadi daya tarik untuk urban) malah sebaliknya, menciptakan kemiskinan-kemiskinan kota dan permukiman-permukiman kumuh kota. Karena, secara umum masyarakat 'yang urban' bekerja di sektor-sektor informal di perkotaan, yang memang tidak mengharuskan pendidikan formal, seperti menjadi pedagang kaki lima, penjual asongan, pengamen, pemulung, pengemis dan lain sebagainya.

Sumber Gambar: www.shutterstock.com

Solusi

Dekonsentrasi Planologis bisa menjadi sebuah solusi untuk mengatasi pertumbuhan dan pembangunan yang cenderung sentralistik, dan yang lebih utama agar dapat meminimalkan terjadinya permasalahan-permasalahan perkotaan. Jakarta harus memiliki sebuah kebijakan bersama, antara Jakarta sebagai Kota Utama dan kota-kota lainnya di Indonesia, terutama dengan secondary city, Surabaya dan kota satelitnya seperti Depok dan Bogor. Kemudian, ada regulasi yang sifatnya ‘membatasi’ dan pada titik tertentu men-stop masyarakat yang ingin urban ke Kota Utama untuk bekerja.

Seperti misalnya pemerintah DKI Jakarta membuat nota kesepahaman dengan pemerintahan kota satelit seperti Bogor dan Depok untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang sifatnya regional atau per wilayah. Misalnya, Pemerintah Depok mengupayakan agar warga masyarakat Depok bekerja di daerah Depok. Apalagi, Pemerintah Depok (mampu) menyediakan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja masyarakatnya (untuk memaksimalkan potensi daerah) dan yang tidak kalah penting kesejahteraan hidup dan kualitas kehidupan masyarakatnya harus terperhatikan. Dalam hal ini maka sebuah perda atau perbup/perkot (peraturan bupati/walikota), kaitannya dalam memperkuat dan melegitimasi kebijakan tersebut sangat diperlukan. (Mauluddin, 2016).

Selain dekonsentrasi planologis yang dilakukan Kota Utama, senyatanya dekonsentrasi planologis ini dapat pula dilakukan di kota-kota lainnya di Indonesia. Tujuannya adalah agar pembangunan dan pertumbuhan kota tersebut dapat berkembang pesat karena tidak tersentralisasi. Sehingga, sebuah kota atau pun ‘daerah’ akan mampu memaksimalkan potensi daerahnya dan mendukung konsep ‘pembangunan regional', per wilayah. Sehingga, pada akhirnya, diharapkan masyarakat yang ingin urban sudah tidak ada lagi.

Dekonsentrasi planologis nyatanya akan diterapkan Kota Bandung. Kota yang memiliki julukan kota kembang, yang akhir-akhir ini mendapat julukan kota kreatif hingga kota kuliner. Apa pun julukannya, yang jelas dekonsentrasi planologis direncanakan akan terjadi di Kota Bandung tahun 2018, dengan memindahkan pusat pemerintahan Kota Bandung ke Bandung Timur, Gede Bage. Seiring pula dengan pemindahan kantor-kantor SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang akan terkonsentrasi di daerah yang sama dan dalam satu gedung yang sama.

Pemindahan dinas-dinas Kota Bandung memiliki tujuan, agar pelayanan untuk masyarakat bisa lebih cepat. Selain itu, dekonsentrasi planologis ini diharapkan akan mengurai permasalahan-permasalahan perkotaan lainnya seperti masalah kemacetan. Pertumbuhan dan pembangunan di daerah Bandung Timur pun akan mengikuti seiring pemindahan pusat pemerintahan Kota Bandung. Salah satunya akan dijadikannya Bandung Timur sebagai daerah teknopolis.

Walaupun sudah terjadi dekonsentrasi planologis, di ‘daerah baru’ harus disiapkan transportasi publik yang nyaman. Sesuai Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung sudah diatur rencana pembangunan Terminal Terpadu di Gedebage. Terminal ini akan menjadi penyambung antarkawasan primer. Yaitu, dengan cara menggabungkan beberapa moda transportasi umum massal di dalam satu bangunan; seperti kereta, monorel, dan bus. Semoga! (gusma)



Sumber: Koran Suara Karya. 21 Juni 2016. Link: http://www.suarakarya.id/2016/06/21/plus-minus-urban-primacy.html

Minggu, 05 Juni 2016

Arsinda (Anak Remaja Sindanghayu) Mengkampanyekan Olahraga di Masyarakat melalui Turnamen Bola Volly



Dalam rangka mengkampanyekan olahraga di Masyarakat dan demi menciptakan warga Masyarakat yang sehat secara jasmaniah, senada dengan cita-cita yang digembor-gemborkan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) RI.

Berlangsung pertandingan Bola Volly pada hari Minggu (29/5) bertajuk Turnamen Bola Volly Arsinda (Anak Remaja Sindanghayu) di Dusun Sindanghayu, Desa Danasari, Kabupaten Ciamis. Terlaksana berkat kerjasama yang baik antara Karta (Karang Taruna) Dusun Sindanghayu dengan pemerintahan setempat (dalam hal ini Kepala Dusun Sindanghayu beserta Tokoh Masyarakat secara khususnya, Kepala Desa Danasari Secara Umumnya).

Dok. Kegiatan


Diikuti oleh 10 Tim Putri (karena menyelenggaraan PI saja) dari berbagai wilayah diantaranya Kepel, Sindangrasa, Bojong, MAN2Ciamis, SMKN2Ciamis. Tim dibatasi hanya 10 Tim, dikarenakan turnamen ini diselenggarakan dalam 1 hari. Mulai pukul 8 pagi hingga pukul 5 Sore. 

Selain itu pula, turnamen Bola Volly ini menjadi hiburan Rakyat, hiburan bagi warga Masyarakat. Bu Acah: “aya Turnamen Voli, bisa nonton hiburan”. Begitu pula Ma Ilah: “Ma bisa hiburan nonton barudak. Aya Voli”.

Lebih lanjut salah seorang Panitia dari Karangtaruna pak Ari Nurzena menyebut, pertandingan Bola Volly yang seperti ini diharapkan akan dilaksanakan kembali dengan lebih meriah lagi. Direncanakan akan kembali digelar dengan tajuk, Arsinda “Open Competition”. 

Akhirnya, pertandingan tersebut berakhir dengan kemenangan dari Tim Sindangsari dengan Juara Pertama dan Tim Kepel dengan Juara Kedua. Pembagian hadiah diberikan langsung oleh Kepala Dusun Sindanghayu Bapak Dianto, turut hadir pula Kepala Desa Danasari Bapak Yayat.

Diharapkan pertandingan olahraga seperti ini dapat diterapkan diberbagai desa di Kabupaten Ciamis. Dengan ‘mengolahragakan masyarakat’ diharapkan terciptanya Masyarakakat yang selalu menjunjung tinggi kesehatan jasmaniahnya.

Jumat, 03 Juni 2016

“Sosialisasi Politik” dan “Interaksi Simbolik” Yusril Ihza Mahendra

Teringat kehadiran Yusril Ihza Mahendra pada hari Jumat yang lalu (22/4) ke Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia dan didaulat menjadi khatib Sholat Jumat tidak terlepas dari terdapat 'Interaksi Simbolik' di dalamnya. Pertama karena Yusril sedang hangat-hangatnya diperbincangkan diberbagai media atas Pencalonannya pada Pilgub DKI Jakarta tahun depan. Kedua, apa gerangan ia menyambangi institusi pendidikan UI, apa hanya sekedar ‘silaturahmi’ pada almamaternya dahulu?

image: www.google.com


Penulis kebetulan berkesempatan melaksanakan Sholat jumat di masjid UI. Yang menjadi ketertarikan penulis dan penulis sempat bertanya-tanya, apa konten yang akan disampaikan Yusril pada Khotbah Jumat saat itu. Mencoba untuk melihat konten yang disampaikan dalam khotbah tersebut. secara umum memang tidak terlihatnya ajakan untuk mendukung dan memilih atau meminta doa restu untuk melaju ke pilgub DKI Jakarta tahun depan. –karena memang momennya sakral Khotbah Jumat-.

Namun ada yang menarik dari konten khotbahnya, yang menyebutkan 'perdebatan itu sah-sah saja' asalkan 'Billati Hiya Ahsan' dengan baik jangan bentak-membentak, dan saling mengingatkan sesama 'Bil Hikmah' dengan cara yang baik. Redaksi yang demikian jadi mengingatkan penulis pada seorang kompetitor Yusril yang sudah kita ketahui bersama memiliki karakter 'bentak-membentak', ada apa gerangan disini dari konten khotbah yang disampaikannya?

Yang selanjutnya pada akhir khotbahnya Yusril mengajak kita selaku mayoritas Muslim Indonesia dan bangsa dengan penduduk Islam terbesar di dunia yang bukan merupakan keturunan Arab maupun Persia tapi bangsa Indonesia. Indonesia harus menjadi garda terdepan sebagai penengah negara-negara muslim di Dunia. Karena Islam Indonesia mampu bersahabat dengan Arab Saudi, Afganistan, Mesir, Iraq, Iran yang mana diantara mereka ‘saling berkonflik’.
Akan tetapi Indonesia pun sendiri harus mampu berdaulat dari segi politik tentunya. (Apakah maksdunya sekarang Indonesia belum berdaulat secara politik?)

Sempat pada pembukaan khotbahnya Yusril sedikit menyinggung hari libur di Indonesia dan hari libur di dunia. Hari jumat di Pakistan dan sebagian wilayah di Malaysia menjadikan hari jumat sebagai hari libur. Namun Yusril menyebut, "menurut hemat saya, hari jumat adalah hari kerja”, berdasarkan isi khotbahnya, berangkat dari Firman Allah yang menyatakan, “bersegeralah untuk melaksakan shalat Jumat, dan setelahnya bertebaran-lah dimuka bumi untuk mencari rizki”. Maka jelas menurut Yusril hari jumat bukan hari libur tapi hari kerja, setelah Shalat jumat tidak tidur dan tidak beraktivitas, namun melanjutkan aktivitas yang sudah dikerjakan sebelum shalat jumat.

Menarik, apakah menandakan akan ada pertimbangan-pertimbangan lain pada kebijakan yang akan dilontarkan (jika terpilih pada pilkada DKI Jakarta) perihal hari libur, yang berangkat dan bersumber dari Firman-firman Allah? 

Setelah khotbah berlangsung dan berakhirnya Sholat Jumat pada waktu itu, pengurus Masjid UI memberitahukan -melalui pengeras suara- bahwa setelah Shalat Jumat akan ada temu sapa Yusril dengan warga UI. Istilahnya akan ada silaturahim yang memang ‘bertajuk semata’, kalau dalam bahasa penulis adanya "sosialisasi politik" yang akan dilakukan Yusril.

Berdalih “Dialog kebangsaan dari UI untuk Bangsaku. Bersama Rektor UI, para Tokoh Alumni Lintas Generasi”.  Kegiatan temu sapa tersebut berlangsung. Turut hadir pula Fahri Hamzah sebagai Alumni FE UI, Yusril Ihza Mahendra sendiri sebagai alumni FH dan FIB UI, Ridwan Saidi sebagai Alumni FISIP UI, Tokoh senior Golkar Akbar Tanjung sebagai Alumni FT UI, dan tokoh-tokoh lainnya. 

Di balut pula dengan penampilan Marching Band, acara ini berlangsung. Acara ini diselenggarakan oleh CEPP (Center for Election and Political Party) FISIP UI dan IKM UI dan tentunya dukungan dari UI sendiri. Yang mana turut hadir Rektor UI Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met. Dalam sambutannya, Rektor menegaskan bahwa UI Netral dalam Pemilu terutama Pilgub DKI Jakarta yang akan dilaksanakan tahun depan. CEPP beranggapan bahwa acara yang seperti ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemilu. 

Pun demikian UI sendiri sebenarnya akan memilih Iluni UI (Ikatan Alumni UI). Apa gerangan pula, tujuan kehadiran dan orasi Fahri Hamzah pada ‘dialog kebangsaan’ tersebut, orasi Alumni UI atau calon Iluni UI? Dalam kaitannya dengan akan diadakannya pemilihan Iluni ini Rektor berpesan, UI tidak memilih orang perorang, tapi memastikan proses pemilihan akan berjalan baik. 

Sejenak kita menarik kepada isu lain yang memang sedang hangat pula diperbincangkan yaitu soal Calon Independen atau perorangan. Akbar Tanjung dalam Orasinya menyatakan bahwa rekrutmen kader Parpol harus dengan merit sistem, memilih kader terbaik. Selain itu pula calon-calon pemimpin harus yang memang terbaik, dan tidak menjadi soal jika yang terbaik itu berada di luar partai politik. “Golkar dukung calon perorangan. Calon perorangan akan didukung”. Ujar Akbar Tanjung dalam orasinya. Selebih dari itu, Akbar Tanjung mengatakan jika perlu calon presiden pun dari perorangan. Di ikuti sorak tepuk tangan peserta acara mendengar statement yang dilontarkan Akbar tanjung. Akbar tanjung mencontohkan seperti misalnya rektor UI jadi calon presiden dari perorangan. 

Kembali kepada fokus tulisan ini. Nah yang menarik, dalam dialog yang “dibalut dialog kebangsaan”, atau ajang ‘silaturahim’ Yusril. Yusril dalam orasinya blakbalakan mengutarakan akan mencalonkan diri dengan bercita-cita/visinya membenahi Negara dimulai dari ibukotanya. Bagus ibukotanya, bagus negaranya. Buruk ibukotanya, buruk Negaranya. Yusril mengajak dunia kampus menyumbangkan pemikirannya, terutama dalam hal ini UI untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan bangsa. Dari mulai sampah, hingga permasalahan banjir. Dan disana Yusril memohon dukungan dan doa restu pada UI, sebagai almamaternya dahulu. 

Yusril dengan mengenakan baju putih, celana hitam dengan sandal ikat yang seakan ingin menunjukan kesederhanaan seorang Yusril. Duduk sejajar dengan audience yang hadir, duduk lesehan di taman depan Perpustakaan UI. Dan dalam acara tersebut diwarnai dengan “pembaiatan” Yusril oleh Ridwan Saidi (yang dikenal sebagai Budayawan Indonesia) dengan memberikan Jargon “Hidup bang Ius”. Panggilan baru Yusril Ihza Mahendra, bang Ius, ala betawi sebutan Ridwan Saidi. 

Dari orasinya, yang memang Yusril disana secara blakblakan menyatakan meminta dukungan dan doa restu akan melaju pada pilgub DKI Jakarta Tahun depan, menandakan benar bahwa kunjungannya ke Kampus UI tidak lain tidak bukan untuk “Sosialisasi Politik”. 

Pertanyaan mendasarnya, Benarkah apa yang sudah dilakukan Yusril dengan menyambangi kampus UI tersebut? Jawabannya dikembalikan kepada para pembaca masing-masing.

Dalam tulisan ini penulis sedang dalam kapasitas sebagai seorang akademisi yang bukan semata-mata mengkritisi (karena kalau boleh berterus terang, penulis sendiri termasuk ‘pengagum’ Prof. Yusril), tapi seperti yang sudah disebutkan sebagai akademisi perlu cermat, peka, serta kritis melihat setiap isu sosial, politik yang sedang menjadi arus utama bangsa ini.[]