Sabtu, 23 Juli 2016

Plus Minus Urban Primacy

Memang ibarat dua sisi mata uang, urban primacy ini memiliki kelebihan dan begitu pula kekurangan. Di satu sisi diperlukan karena sebagai simbol yang merepresentasikan pertumbuhan suatu negara. Di sisi lain, urban primacy akan berdampak krusial bagi dirinya sendiri, karena jika tidak ditangani secara tepat bukan menjadi diperlukan namun akan memunculkan permasalahan-permasalahan di perkotaan. Permasalahan kota yang dimaksud seperti slum area (permukiman kumuh), urban squatter (penghuni liar) dan urban poverty (kemiskinan kota).

Berbicara urban primacy maka akan menemukan sebuah istilah yang disebut dengan primate city. Karena urban primacy sarat akan primate city, kota utama yang tumbuh dominan dari kota-kota lainnya. Kaitannya dalam hal ini semisal Manila dengan Cebu, Bangkok dan Chiangmai, Jakarta dan Surabaya dan lain sebagainya.

Jakarta sebagai urban primacy dan Surabaya sebagai secondary city memiliki pembangunan dan pertumbuhan yang begitu kentara berbeda antara satu dengan yang lainnya, walaupun pada perkembangannya Surabaya mulai beranjak dan memperlihatkan tren yang positif dalam hal pembangunan dan pertumbuhan kotanya. Walaupun demikian, misalnya, seperti Jakarta sebagai urban primacy tetap tumbuh dominan dengan secondary city Surabaya dalam hal populasi penduduk Surabaya masih berkisar 2,7 juta, sedangkan Jakarta sudah berkisar 10 juta.

Populasi yang begitu cepat di ‘Kota Utama’ tentunya tidak terlepas dari daya tarik Kota Utama itu sendiri, yang menawarkan pertumbuhan dan pembangunan yang begitu cepat. Dengan demikian, dirasa akan mampu mencukupi penghidupan masyarakatnya (dengan pekerjaan yang mudah dan gaji yang tinggi), dan ditopang pula dengan daya dorong masyarakat menganggap bahwa di ‘daerah’ belum mampu menyediakan pekerjaan yang layak dan gaji yang kurang menjanjikan.

Jika ditanya mengapa atau bagaimana kemunculan dari urban primacy itu, maka tidak terlepas dari urban planologis-nya. Sentralisasi pembangunan, pertumbuhan yang menjadi ciri Kota Utama seperti Jakarta memang sudah secara planologis dipersiapkan untuk itu. Kota Utama menjadi sentral dan berada di jantung negara.

Pembangunan kota di sekitar Kota Utama sudah tidak dimungkinkan lagi karena tanah-tanah sudah dikuasai oleh yang disebut land speculator. Sehingga, pembangunan kota-kota yang lainnya berada di area luar atau biasa disebut sub-urban. Pembangunan yang menjauhi Kota Utama atau berada di area luar (sub-urban) sering disebut dengan Leapfrog Development (pembangunan lompat katak). Pembangunan lebih melebar ke area luar dari kota utama.

Kemunculan urban primacy ini jika tidak segera ditangani maka akan memiliki dampak yang krusial bagi kota utama itu sendiri. Karena urban primacy ini tentunya memiliki kekurangan dan juga kelebihan.

Memang ibarat dua sisi mata uang. Urban primacy ini memiliki kelebihan dan begitu pula kekurangan. Di satu sisi, Kota Utama sebagai pusat dari pembangunan, dan pertumbuhan yang merepresentasikan suatu negara, keberadaannya memang diperlukan. Di sisi lain, Kota Utama (jika tidak dikelola) akan menjadi sebuah kota yang maju sendiri secara ekonomi, misalnya, karena menjadi pusat pertumbuhan ekonomi.

Dalam waktu yang sama, pertumbuhan yang cepat itu akan menyebabkan arus urbanisasi yang begitu cepat hingga over population, dan Kota Utama pun tidak mampu membendung lagi.

Dari fenomena tersebut akan memunculkan permasalahan-permasalahan kota, menyusul kian bermunculannya permukiman kumuh, penghuni liar dan kemiskinan kota. Hal ini terjadi karena masyarakat urban tidak mampu menempati tempat-tempat yang memang secara legal sudah disiapkan pemerintah setempat, seperti di perumahan. Namun, apa daya, permasalahan ekonomi yang mengharuskan mereka berada tinggal atau menempati tempat-tempat liar nan kumuh di perkotaan. Ini menjadikan mereka penghuni liar yang menempati tanah-tanah milik negara untuk keperluan publik.

Terjadinya urban ini bukan menciptakan ketahanan ekonomi bagi masyarakat 'yang urban' (yang pada awalnya menjadi daya tarik untuk urban) malah sebaliknya, menciptakan kemiskinan-kemiskinan kota dan permukiman-permukiman kumuh kota. Karena, secara umum masyarakat 'yang urban' bekerja di sektor-sektor informal di perkotaan, yang memang tidak mengharuskan pendidikan formal, seperti menjadi pedagang kaki lima, penjual asongan, pengamen, pemulung, pengemis dan lain sebagainya.

Sumber Gambar: www.shutterstock.com

Solusi

Dekonsentrasi Planologis bisa menjadi sebuah solusi untuk mengatasi pertumbuhan dan pembangunan yang cenderung sentralistik, dan yang lebih utama agar dapat meminimalkan terjadinya permasalahan-permasalahan perkotaan. Jakarta harus memiliki sebuah kebijakan bersama, antara Jakarta sebagai Kota Utama dan kota-kota lainnya di Indonesia, terutama dengan secondary city, Surabaya dan kota satelitnya seperti Depok dan Bogor. Kemudian, ada regulasi yang sifatnya ‘membatasi’ dan pada titik tertentu men-stop masyarakat yang ingin urban ke Kota Utama untuk bekerja.

Seperti misalnya pemerintah DKI Jakarta membuat nota kesepahaman dengan pemerintahan kota satelit seperti Bogor dan Depok untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang sifatnya regional atau per wilayah. Misalnya, Pemerintah Depok mengupayakan agar warga masyarakat Depok bekerja di daerah Depok. Apalagi, Pemerintah Depok (mampu) menyediakan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja masyarakatnya (untuk memaksimalkan potensi daerah) dan yang tidak kalah penting kesejahteraan hidup dan kualitas kehidupan masyarakatnya harus terperhatikan. Dalam hal ini maka sebuah perda atau perbup/perkot (peraturan bupati/walikota), kaitannya dalam memperkuat dan melegitimasi kebijakan tersebut sangat diperlukan. (Mauluddin, 2016).

Selain dekonsentrasi planologis yang dilakukan Kota Utama, senyatanya dekonsentrasi planologis ini dapat pula dilakukan di kota-kota lainnya di Indonesia. Tujuannya adalah agar pembangunan dan pertumbuhan kota tersebut dapat berkembang pesat karena tidak tersentralisasi. Sehingga, sebuah kota atau pun ‘daerah’ akan mampu memaksimalkan potensi daerahnya dan mendukung konsep ‘pembangunan regional', per wilayah. Sehingga, pada akhirnya, diharapkan masyarakat yang ingin urban sudah tidak ada lagi.

Dekonsentrasi planologis nyatanya akan diterapkan Kota Bandung. Kota yang memiliki julukan kota kembang, yang akhir-akhir ini mendapat julukan kota kreatif hingga kota kuliner. Apa pun julukannya, yang jelas dekonsentrasi planologis direncanakan akan terjadi di Kota Bandung tahun 2018, dengan memindahkan pusat pemerintahan Kota Bandung ke Bandung Timur, Gede Bage. Seiring pula dengan pemindahan kantor-kantor SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang akan terkonsentrasi di daerah yang sama dan dalam satu gedung yang sama.

Pemindahan dinas-dinas Kota Bandung memiliki tujuan, agar pelayanan untuk masyarakat bisa lebih cepat. Selain itu, dekonsentrasi planologis ini diharapkan akan mengurai permasalahan-permasalahan perkotaan lainnya seperti masalah kemacetan. Pertumbuhan dan pembangunan di daerah Bandung Timur pun akan mengikuti seiring pemindahan pusat pemerintahan Kota Bandung. Salah satunya akan dijadikannya Bandung Timur sebagai daerah teknopolis.

Walaupun sudah terjadi dekonsentrasi planologis, di ‘daerah baru’ harus disiapkan transportasi publik yang nyaman. Sesuai Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung sudah diatur rencana pembangunan Terminal Terpadu di Gedebage. Terminal ini akan menjadi penyambung antarkawasan primer. Yaitu, dengan cara menggabungkan beberapa moda transportasi umum massal di dalam satu bangunan; seperti kereta, monorel, dan bus. Semoga! (gusma)



Sumber: Koran Suara Karya. 21 Juni 2016. Link: http://www.suarakarya.id/2016/06/21/plus-minus-urban-primacy.html

1 komentar: