Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) kurang diminati. Itu sebuah istilah yang menunjukkan pada problematika BUMDes saat ini. Kenapa kurang diminati, apakah karena rumitnya regulasi? Atau karena minimnya sosialisasi? Atau pula karena faktor “kemalasan” dalam mengorganisasi?
Beberapa pertanyaan yang menggambarkan problematika BUMDes saat ini perlu menjadi perhatian yang serius. Pasalnya, keberadaan BUMDes ini memiliki nilai manfaat yang tidak bisa disepelekan. Dengan adanya BUMDes perekonomian masyarakat terangkat dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Sayangnya, dari sekian banyak desa di Indonesia yaitu berkisar 74.000 desa, hanya sekitar 12.000 desa saja yang memiliki BUMDes. Jumlah BUMDes yang berkisar 12.000 di tahun 2016 ini termasuk mengalami peningkatan, dari yang semula hanya 1.000-an saja di tahun 2014. Selanjutnya, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menargetkan akan membentuk 15.000 BUMDes di tahun 2016 ini.
Praktiknya BUMDes ini dapat termanifestasi dalam beragam bentuk. Keberagaman bentuk BUMDes tidak terlepas dari karakteristik perdesaannya itu sendiri. Artinya, pembentukan jenis BUMDes dapat disesuaikan dengan potensi desa yang dapat dikembangkan oleh masing-masing desa. Desa Pertanian misalnya -memiliki potensi yang dapat dikembangkan di biang pertanian- bisa membentuk BUMDes berupa Badan Usaha yang mengelola lumbung padi dan komoditas lain, penyedia benih dan pupuk, sarana pengering gabah, dan sarana pengolahan hasil panen, serta kios pemasaran hasil panen (beras dan komoditas lain).
Di Desa Nelayan, BUMDes dapat berupa Badan Usaha penyedia peralatan melaut semisal perahu, alat tangkap ikan, sarana pengeringan ikan, gudang penyimpanan ikan, hingga TPI (Tempat Pelelangan Ikan).
Bagi karakteristik desa tertentu, misalnya membentuk Pasar Rakyat (Desa) yang dikelola oleh pemerintahan desa bisa menjadi pilihan. Terlebih Pasar Desa ini termasuk pada program Kemendes PDTT yang akan direalisasikan di tahun 2016 ini, yaitu program membangun 200 Pasar Desa. Pasar Desa ini bisa dijalankan oleh BUMDes untuk memasarkan produk yang dihasilkan masyarakat desa, sehingga pemerintah desa akan memiliki sumber pendapatan.
Sumber Gambar: jetis.ponorogo.go.id |
Mengurai Permasalahan
Jika kembali pada pertanyaan awal mengapa BUMDes kurang diminati, apakah karena tidak ada sosialisasi?
Penulis melihat, sebenarnya sosialisasi dari Kemendes PDTT sudah ada, namun belum masif. Maka dari itu perlunya peran pemerintah daerah (kabupaten) dalam melakukan sosialisasi BUMDes ini. Pemerintah daerah harus ikut andil dalam melakukan sosialisasi ke tingkat terkecil pemerintahan yaitu tingkat Desa. Pemerintah daerah mengadakan sosialisasi kepada seluruh kepala desa di daerahnya. Misalnya pemerintah daerah mengundang setiap kepala desa dari setiap desa yang berada di kabupatennya untuk kegiatan sosialisasi BUMDes, yang bertempat di Aula Pemerintahan Daerah (Pendopo). Sosialisasi ini bukan hanya sebatas kegiatan seremonial semata, tapi tanggung jawab dan komitmen penuh antara pemerintah daerah dan desa untuk menerapkan BUMDes secara nyata di setiap desa.
Walaupun demikian penulis tidak memungkiri dalam memperkuat peran pemda ini yaitu berupa sosialisasi ditingkat daerah, semata karena belum menjadi fokus utama pemerintah daerah, karena pemda masih memfokuskan diri dengan pengelolaan Dana Desa. Namun, ke depan penulis berharap pemda mulai memfokuskan diri pada BUMDes ini. Mengingat kehadiran BUMDes dapat mengangkat perekonomian masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa setempat dan mengurangi pengangguran serta mengentaskan kemiskinan.
Jika kasusnya BUMDes ini kurang diminati karena faktor ‘kemalasan’ dalam pengorganisasian, menurut hemat penulis, pihak desa harus melibatkan berbagai elemen yang ada di dalam masyarakat desa. Semisal memberdayakan karang taruna tiap dusun/kampung. Kenapa karang taruna? Karena karang taruna merupakan elemen di dalam masyarakat yang ‘didominasi’ oleh anak muda, yang notabene anak muda ini memiliki “semangat juang” tinggi, kreativitas “tanpa batas”, dan inovasi yang bervariasi, serta memiliki visi berdaya saing tinggi. Asalkan karang taruna ini benar-benar dirangkul oleh pemerintah desa. Anak muda jika diperhatikan dan potensinya mampu diberdayakan maka akan sangat bermanfaat untuk desa setempat.
Jika permasalahannya pada regulasi yang berbelit, sebenarnya regulasi BUMDes ini sudah termaktub dalam Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2015 yang dipertegas dengan pernyataan Kemendes PDTT, bahwa pembentukan BUMDes ini mudah karena sepenuhnya diserahkan kepada kewenangan desa masing-masing (musyawarah BPD, kepala desa dan unsur masyarakat desa). Artinya, permasalahan regulasi berbelit ini tidak benar adanya, karena pembentukan BUMdes ini tidaklah sulit karena diserahkan “sepenuhnya” kepada pemerintahan desa.
Masih terkati regulasi, jika suatu desa belum mampu membentuk BUMDes secara mandiri -masih diatur dalam Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2015-, desa dapat bekerjasama dengan desa lain untuk membentuk BUMDes. Artinya, satu BUMdes dimiliki dua desa atau lebih.
Selain itu BUMdes ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Pusat, terutama dalam kerangka kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. Sebab masih dalam UU Desa disebutkan bahwa hasil dari BUMdes ini diperuntukan guna pengembangan usaha masyarkat desa, pemberdayaan masyarakat desa, pembangunan desa, dan pemberian bantuan untuk masyarkat miskin berupa hibah bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).
Tidak kalah pentingnya, BUMdes ini menjadi perhatian Pemerintah Pusat sebab menjadi visi dan jargon yang selalu digembor-gemborkan pemerintah saat ini yakni ‘Membangun Indonesia dari Desa’. Semoga BUMDes dapat terealisasi di setiap desa di Negeri tercinta kita Indonesia.[] (gusma)
Sumber: Koran Kabar Priangan. Rabu, 20 Juli 2016.
0 komentar:
Posting Komentar