Citizenship adalah suatu status yang dianugerahkan untuk semua, yang mereka merupakan anggota penuh dari suatu masyarakat. Semua yang menguasai status yang sama berkenaan dengan tugas dan hak dimana status diberikan. Seperti yang disebutkan Marshall:
"Citizenship is a status bestowed on all those who are full members of a community. All who possesses the status are equal with respect to the rights and duties with which the status is endowed.” (Lister,2003:14).
Image:www.google.com |
1.
Citizenship, Rights and Obligation
Menurut Marshall seperti di kutip lister (2003:14)
Citizenship adalah suatu status yang dianugerahkan untuk semua, yang mereka merupakan
anggota penuh dari suatu masyarakat. Semua yang menguasai status yang sama
berkenaan dengan tugas dan hak dimana status diberikan. Seperti yang disebutkan
Marshall:
"Citizenship is a status bestowed on all those who are full members
of a community. All who possesses the status are equal with respect to the
rights and duties with which the status is endowed.”
Sedangkan menurut Kymlicka dan Norman seperti di
kutip Azwar (2015) dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa citizenship bukan hanya satu status tertentu, yang didefinisikan dengan satu
kumpulan hak dan tanggung-jawab didalamnya. Ini juga sebuah identitas, ungkapan
dalam suatu keanggotaan masyarakat politis. Seperti yang disebutkan Kymlicka
dan Norman:
"Citizenship is not just a certain status, defined by a set of
rights and responsibilities. It is also an identity, an expression of one’s
membership in a political community" (Kymlicka and Norman)
Menurut Lister (2003) keikutsertaan sebagai
warganegara seperti mewakili sebagai seorang agen di dalam gelanggang politis,
yang dengan luas menggambarkan kewarganegaraan sebagai hak memberdayakan
orang-orang untuk bertindak sebagai agen.
Lerner menyebutkan seperti di kutip Ritzer (2012:10)
dimanapun perempuan disubordinasikan, mereka disubordinasikan di segala tempat.
Hak dan kewajiban perempuan sebagai warga Negara seringkali disubordinasikan.
2.
Kewarganegaraan Perempuan kaitannya dalam
Hak dan Kewajiban, di Indonesia
Seperti di kutip dari kantor berita Indonesia Antara
(2015) Wakil Presiden
Republik Indonesia M Jusuf Kalla menyebutkan dalam pidatonya pada Sidang
Majelis PBB New York Amerika, bahwa kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan di Indonesia sudah lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lain,
walaupun masih terdapat beberapa kekurangan.
Seperti disebutkan
oleh Wakil Presiden M Jusuf Kalla:
"Di bidang
pendidikan, kesehatan dan politik, kesetaraan gender di Indonesia sudah baik,
meskipun kita akui masih ada perilaku-perilaku soal peranan perempuan masih ada
masalah,"
Wakil Presiden M Jusuf
Kalla menyebutkan contoh kongkret dari kesetaraan gender di Indonesia bidang
politik. Indonesia pernah memiliki presiden perempuan Megawati Soekarnoputri
dan perempuan Indonesia dewasa ini banyak menduduki jabatan Politis seperti
menjadi Kepala Daerah hingga menteri di kabinet masa pemerintahan Presiden Joko
Widodo dan M Jusuf Kalla terdapat delapan menteri perempuan. Oleh karena itu Wakil
Presiden M Jusuf kalla komitmen bahwa Indonesia dalam kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan sudah tidak bisa diragukan lagi.
Walaupun demikian
tetap saja terdapat kesenjangan atau pengeksklusian terjadi di Indonesia,
seperti misalnya dalam bidang pendidikan di daerah pedesaan, tetap saja akan
ditemukan (warganegara) perempuan
didaerah pedesaan yang secara kultural dilarang untuk mendapatkan pendidikan
yang tinggi. Mereka sering beralasan, “buat apa perempuan sekolah
tinggi-tinggi, pada akhirnya pun akan menjadi Ibu Rumah Tangga?” pernyataan
tersebut sering muncul dan seakan-akan menjadi dalih pengeksklusian perempuan
di daerah pedesaan untuk mendapatkan pendidikan.
Jika dilihat dari perspektif atau teori
Sosiologi Institusional seperti disebutkan Ritzer (2012:790-791) teori ini
mengajukan perbedaan-perbedaan gender yaitu pada peran-peran yang berbeda yang
dimainkan laki-laki dan perempuan dalam berbagai institusional. Peran-peran
perempuan di institusi keluarga misalnya sebagai seorang ibu bagi anak dan
istri bagi suaminya. Motif utama dari perspektif ini adalah pembagian kerja
dilihat dari jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) di dalam institusi
keluarga. Menjadi sebuah dilematis ketika dalam pemilihan karir antara
menyesuaikan passion (kerja) dengan
menjadi Ibu Rumah Tangga an sich atau
pula keduanya (berkarir dan menjadi ibu Rumah Tangga). Seharusnya perempuan dan
lak-laki tidak ada beda dalam perlakuan seperti dalam amanat UUD 1945:
Pasal 28C ayat (1)
menyatakan “Setiap
orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Pasal 31 ayat (1)
menyatakan “Setiap
warga Negara
berhak mendapat pendidikan.”
UUD 1945 pada pasal
28C ayat 1 dan pasal 31 ayat 1, jelas menyatakan tidak ada pembedaan antara
laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pendidikan, dengan diksi “setiap
orang dan setiap warga Negara”. Perlunya peran pemerintah untuk lebih tegas
dalam pengimplementasian amanat UUD 1945 tentang kesetaraan (Gender) setiap
warga Negara berhak tanpa melihat jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) untuk
mendapatkan pendidikan.[]
DAFTAR PUSTAKA
Kymlicka dan Norman, 1995, Return
to the Citizen: A Survey of Recent Work on Citizenship Theory. In: R. Beiner
(ed.) Teorizing Citizenship, NY: State University of New
York Press
Lester, Ruth, 2003, “What is citizenship?” dalam Citizenship, NY: Palgrave Macmilan
Ritzer, George,
2012, Teori Sosiologi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Kitab UUD 1945
0 komentar:
Posting Komentar