Minggu, 04 Oktober 2015

Gender dan Eksklusi Sosial (antara Citizenship, Rights dan Obligation}

Citizenship adalah suatu status yang dianugerahkan untuk semua, yang mereka merupakan anggota penuh dari suatu masyarakat. Semua yang menguasai status yang sama berkenaan dengan tugas dan hak dimana status diberikan. Seperti yang disebutkan Marshall:
"Citizenship is a status bestowed on all those who are full members of a community. All who possesses the status are equal with respect to the rights and duties with which the status is endowed.” (Lister,2003:14).

Image:www.google.com


 1.    Citizenship, Rights and Obligation
Menurut Marshall seperti di kutip lister (2003:14) Citizenship adalah suatu status yang dianugerahkan untuk semua, yang mereka merupakan anggota penuh dari suatu masyarakat. Semua yang menguasai status yang sama berkenaan dengan tugas dan hak dimana status diberikan. Seperti yang disebutkan Marshall:
"Citizenship is a status bestowed on all those who are full members of a community. All who possesses the status are equal with respect to the rights and duties with which the status is endowed.”
Sedangkan menurut Kymlicka dan Norman seperti di kutip Azwar (2015) dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa citizenship bukan hanya satu status tertentu, yang didefinisikan dengan satu kumpulan hak dan tanggung-jawab didalamnya. Ini juga sebuah identitas, ungkapan dalam suatu keanggotaan masyarakat politis. Seperti yang disebutkan Kymlicka dan Norman:
"Citizenship is not just a certain status, defined by a set of rights and responsibilities. It is also an identity, an expression of one’s membership in a political community" (Kymlicka and Norman)
Menurut Lister (2003) keikutsertaan sebagai warganegara seperti mewakili sebagai seorang agen di dalam gelanggang politis, yang dengan luas menggambarkan kewarganegaraan sebagai hak memberdayakan orang-orang untuk bertindak sebagai agen.
Lerner menyebutkan seperti di kutip Ritzer (2012:10) dimanapun perempuan disubordinasikan, mereka disubordinasikan di segala tempat. Hak dan kewajiban perempuan sebagai warga Negara seringkali disubordinasikan.



2.        Kewarganegaraan Perempuan kaitannya dalam Hak dan Kewajiban, di Indonesia
Seperti di kutip dari kantor berita Indonesia Antara (2015) Wakil Presiden Republik Indonesia M Jusuf Kalla menyebutkan dalam pidatonya pada Sidang Majelis PBB New York Amerika, bahwa kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia sudah lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lain, walaupun masih terdapat beberapa kekurangan. 
Seperti disebutkan oleh Wakil Presiden M Jusuf Kalla:
"Di bidang pendidikan, kesehatan dan politik, kesetaraan gender di Indonesia sudah baik, meskipun kita akui masih ada perilaku-perilaku soal peranan perempuan masih ada masalah,"
Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyebutkan contoh kongkret dari kesetaraan gender di Indonesia bidang politik. Indonesia pernah memiliki presiden perempuan Megawati Soekarnoputri dan perempuan Indonesia dewasa ini banyak menduduki jabatan Politis seperti menjadi Kepala Daerah hingga menteri di kabinet masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan M Jusuf Kalla terdapat delapan menteri perempuan. Oleh karena itu Wakil Presiden M Jusuf kalla komitmen bahwa Indonesia dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sudah tidak bisa diragukan lagi.
Walaupun demikian tetap saja terdapat kesenjangan atau pengeksklusian terjadi di Indonesia, seperti misalnya dalam bidang pendidikan di daerah pedesaan, tetap saja akan ditemukan  (warganegara) perempuan didaerah pedesaan yang secara kultural dilarang untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Mereka sering beralasan, “buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, pada akhirnya pun akan menjadi Ibu Rumah Tangga?” pernyataan tersebut sering muncul dan seakan-akan menjadi dalih pengeksklusian perempuan di daerah pedesaan untuk mendapatkan pendidikan.
 Jika dilihat dari perspektif atau teori Sosiologi Institusional seperti disebutkan Ritzer (2012:790-791) teori ini mengajukan perbedaan-perbedaan gender yaitu pada peran-peran yang berbeda yang dimainkan laki-laki dan perempuan dalam berbagai institusional. Peran-peran perempuan di institusi keluarga misalnya sebagai seorang ibu bagi anak dan istri bagi suaminya. Motif utama dari perspektif ini adalah pembagian kerja dilihat dari jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) di dalam institusi keluarga. Menjadi sebuah dilematis ketika dalam pemilihan karir antara menyesuaikan passion (kerja)  dengan menjadi Ibu Rumah Tangga an sich atau pula keduanya (berkarir dan menjadi ibu Rumah Tangga). Seharusnya perempuan dan lak-laki tidak ada beda dalam perlakuan seperti dalam amanat UUD 1945:
Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Pasal 31 ayat (1) menyatakan “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.”

UUD 1945 pada pasal 28C ayat 1 dan pasal 31 ayat 1, jelas menyatakan tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pendidikan, dengan diksi “setiap orang dan setiap warga Negara”. Perlunya peran pemerintah untuk lebih tegas dalam pengimplementasian amanat UUD 1945 tentang kesetaraan (Gender) setiap warga Negara berhak tanpa melihat jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) untuk mendapatkan pendidikan.[]











DAFTAR PUSTAKA

Kymlicka dan Norman, 1995, Return to the Citizen: A Survey of Recent Work on Citizenship Theory. In: R. Beiner (ed.) Teorizing Citizenship, NY: State University of New York Press
Lester, Ruth, 2003, “What is citizenship?” dalam Citizenship, NY: Palgrave Macmilan
Ritzer, George, 2012, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kitab UUD 1945




0 komentar:

Posting Komentar