Senin, 12 Oktober 2015

Agama, Sekularisme, dan Pancasila [Pancasila sebagai Ideologi Alternatif dari perlawanan dua Ideologi: Negara Agama dan Negara Sekular]

Pancasila sebagai Ideologi Alternatif dari perlawanan dua Ideologi: Negara Agama dan Negara Sekular. Negara Sekular, dimana agama benar-benar berpisah dari Negara dan Negara Agama, dimana Negara diatur berdasarkan satu Agama tertentu. Dalam ideologi Pancasila, Agama bangsa Indonesia di dorong untuk berkontribusi nyata pada kehidupan publik Indonesia (I. Benyamin Fleming, 2006:18).

Image:www.google.com

Clifford Geertz dan Andrew Greeley seperti di kutip Benyamin Fleming Intan (2006) menyebutkan bahwa Agama merupakan sebuah sistem kiasan narasi yang memberi pemahaman dan tujuan hidup, yang menjawab pertanyaan tentang tragedi, penderitaan, kematian, kebahagiaan dan kebembiraan.
Sedangkan Emile Durkheim (2011) dalam bukunya The Elementary Forms of the Religious Life menyebutkan bahwa Agama adalah :
“Sekumpulan keyakinan dan praktek yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral, yaitu sesuatu yang di tabukan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral tunggal dimana masyarakat memberikan kesetiaan dan tunduk kepadanya.”
Maka menurut Durkheim agama merupakan sesuatu yang kolektif. Dalam hal ini Durkheim membedakan antara agama dan magis. Magis merupakan upaya individual, sedangkan Agama tidak dapat dipisahkan dari komunitas peribadatan atau moral. (ibid)
Dalam Benyamin Fleming Intan (2006) Casanova menyebutkan bahwa Agama harus dibedakan dari bidang lain pada kehidupan publik, seperti Negara. Dalam hal ini Casanova memberi pandangannya tentang sekularisasi. Masih dalam Benyamin Fleming Intan (2006), menyebutkan ada tiga inti teori sekularisasi:

1. Sekularisasi sebagai penolakan terhadap agama, mengakui bahwa agama akan secara terus terus menerus mengalami kemunduran di dunia modern hingga akhirnya menghilang

2. Sekularisasi sebagai privatisasi

3. Sekularisasi sebagai diferensiasi, menunjukan pada perbedaan fungsi institusi Agama dari bidang lain dalam masyarakat modern, terutama Negara, ekonomi, ilmu pengetahuan.

Sedangkan Auguste Comte (1986, first published 1830-42) menyebutkan bahwa sejarah umat manusia melalui tiga tahap:
1.      Theological Stage, pada tahap Teologi ini Agama dan keyakinan pada yang bersifat Tahayul menjadi dominan
2.      Metaphysical Stage, selama yang filosofi akan menjadi lebih penting
3.      Positive Stage, Ilmu pengetahuan akan mendominasi pemikiran manusia dan perilaku manusia secara langsung.
Dalam perspektif Comte perkembangan manusia jika sudah berada pada tahap Positive Stage, manusia berkecenderungan sekular atau dengan kata lain ketika ilmu pengetahuan sudah mendominasi pemikiran manusia maka akan munculnya sekularisme.
Dalam Haralambos (2007:429) sekularisme timbul disebabkan karena munculnya industrialisasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan sekularisasi merupakan proses kemunduran sebuah Agama.
Sekularisme dan Negara Agama merupakan sebuah ideologi yang bisa saja diterapkan di berbagai Negara di Dunia, begitu pula Indonesia. Akan tetapi Indonesia memilki sebuah Ideologi Alternatif yang menjadi pilihan bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila (I. Benyamin Fleming, 2006:18) merupakan solusi atau Ideologi alternatif dari dua perlawanan Ideologi: Negara Sekular, dimana agama benar-benar berpisah dari Negara dan Negara Agama, dimana Negara diatur berdasarkan satu Agama tertentu. Dalam ideologi Pancasila, Agama bangsa Indonesia di dorong untuk berkontribusi nyata pada kehidupan publik Indonesia (ibid)

1.       
DAFTAR PUSTAKA


Comte, Auguste, 1986, The Positive Philosophy, London: Bell & Sons
Durkheim, Emile, 2011, The Elementari Forms of the Religious Life (terjemahan), Yogyakarta: IRCiSoD
Haralambos & Holborn, 2007, Sociology (Theme and Perspectives), London: Harper Collins Publisher
Intan, Benyamin Fleming, 2006. Chapter “Rethinking Public Religion” and the Theory of Secularization” (ch 1). dalam ‘Public Religion and the Pancasula-based State of Indonesia. NY: Peter Lang.


Senin, 05 Oktober 2015

Konsep Proteksi Sosial dan MDGs

Pertumbuhan ekonomi di Asia luar biasa cepat. Rata-rata GDP diatas 6% tiap tahun pada 20 tahun terakhir. Kemiskinan menurun dari 32% di tahun 1990 menjadi 22% di tahun 2002 (Farington paper for 2005 conference). Walaupun demikian keberhasilan yang dicapai hasilnya tidak sempurna. Antara pertumbuhan dan penurunan kemiskinan terjadi tidak merata di Negara-negara di Asia.

Image:www.google.com


Demery dan Walton (2000) menyebutkan ketidakadilan yang menjadi faktor utama penurunan dampak pertumbuhan pada pengurangan kemiskinan dan tren itu muncul di banyak Negara di Asia.
Banglades, pendapatan yang tidak merata meningkat dari Koefisien Gini 0,30 menjadi 0,41 antara tahun 1991 dan 2000; Srilanka, ketidakmerataan konsumsi meningkat dari 0,32 hingga 0,40 antara tahun 1990 dan 2002; Nepal, ketidakmerataan konsumsi meningkat dari 0,34 hingga 0,39 antara 1995-6 dan 2003-2004. Pertumbuhan ekonomi di Vietnam dan China luarbiasa meningkat, seperti menurunnya kemiskinan, namun ketidakmerataan pun juga tumbuh juga tumbuh dengan cepet (World Bank, 2006); di India ketidakmerataan meningkat.

Dalam Babken Babajanian and Jessica Hagen-Zanker (2012), Perspective Developmental menyebutkan Proteksi sosial tidak hanya harus membantu orang untuk mendapatkan kebutuhan dasar merata, tetapi juga membangun kemampuan mereka untuk lepas dari kemiskinan dan menjadikan mereka hidup sejahtera dalam jangka waktu yang lama.

Sedangkan Proteksi Sosial Transpormatif menyatakan bahwa intervensi proteksi sosial harus ‘menangkap’ tidak hanya ketidastabilan ekonomi, namun tujuan yang lebih luas yaitu tujuan sosial pada persamaan hak, keadilan sosial, dan pemberdayaan (Sabates-wheeler dan Devereux, 2008)

Bentuk kongkret proteksi sosial yaitu Conditional Cash Transfer (CCT) yang populer sejak pertengahan tahun 2000 di banyak Negara di Amerika Latin dan sekurangnya meluas kebagian Shara Afrika dan Asia. Didalamnya “investasi” dalam bidang kesehatan, Nutrisi dan Pendidikan didukung melalui persyaratan-persyaratan dapat membantu memutus penyebaran kemiskinan antar generasi (de la Briere dan Rawling, 2006; Fizbein dan Schadi,2009)

Dalam Babken Babajanian and Jessica Hagen-Zanker (2012),  World Bank mengakui bahwa sosial proteksi dapat membangun Human Capital dan meningkatkan kapasitas produktif orang miskin.




Millennium Development Goals (World Bank, 2015)
1.      Eradicate Extreme Poverty and Hunger : Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan;
2.      Achieve Universal Primary Education : Mencapai Pendidikan Dasar untuk semua;
3.  Promote Gender Equality and Empower Woman : Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan;
4.      Reduce Child Mortality : Menurunkan Angka Kematian Anak;
5.      Improve Material Health : Meningkatkan Kesehatan Ibu;
6.   Combat HIV/AIDS, Malaria and Other Desease : Memerangi HIV/AIDs, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya;
7.      Ensure Enviromental Sustainability : Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup;

8.  Develop a Global Partnership for Development : Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.




DAFTAR PUSTAKA

Babajanian, Babken and Jessica Hagen-Zanker, 2012, Social protection and social exclusion: an analytical framework to assess the links, London: Overseas Development Institute
Demery, L. and Walton, M., 2000, ‘Are Poverty and Socail Goals for the 21st Century attainable?’ in R. Halvorson-Quevedo and R. Schneider (eds), Waging the Global War on Poverty, Paris: Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)
de la Briere, B. and Rawling, L.B., 2006, Examining Conditional Cash Traansfer Programs: A Role for Increased Social Inclusion? Social Protection Discussion Paper No. 0603. Washington: D.C: World Bank
Farrington, J. 2005, Recognising and Tackling Risk and Vulnerability Constraints to Pro-Poor Agriculture, London: DFID Renewable Natural Resource and Agriculture team
Sabates-Wheeler, R. and Devereux, S., 2008, Transformative Social Protection: the Currency of Social Justice,

http://www.worldbank.org/

Minggu, 04 Oktober 2015

Gender dan Eksklusi Sosial (antara Citizenship, Rights dan Obligation}

Citizenship adalah suatu status yang dianugerahkan untuk semua, yang mereka merupakan anggota penuh dari suatu masyarakat. Semua yang menguasai status yang sama berkenaan dengan tugas dan hak dimana status diberikan. Seperti yang disebutkan Marshall:
"Citizenship is a status bestowed on all those who are full members of a community. All who possesses the status are equal with respect to the rights and duties with which the status is endowed.” (Lister,2003:14).

Image:www.google.com


 1.    Citizenship, Rights and Obligation
Menurut Marshall seperti di kutip lister (2003:14) Citizenship adalah suatu status yang dianugerahkan untuk semua, yang mereka merupakan anggota penuh dari suatu masyarakat. Semua yang menguasai status yang sama berkenaan dengan tugas dan hak dimana status diberikan. Seperti yang disebutkan Marshall:
"Citizenship is a status bestowed on all those who are full members of a community. All who possesses the status are equal with respect to the rights and duties with which the status is endowed.”
Sedangkan menurut Kymlicka dan Norman seperti di kutip Azwar (2015) dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa citizenship bukan hanya satu status tertentu, yang didefinisikan dengan satu kumpulan hak dan tanggung-jawab didalamnya. Ini juga sebuah identitas, ungkapan dalam suatu keanggotaan masyarakat politis. Seperti yang disebutkan Kymlicka dan Norman:
"Citizenship is not just a certain status, defined by a set of rights and responsibilities. It is also an identity, an expression of one’s membership in a political community" (Kymlicka and Norman)
Menurut Lister (2003) keikutsertaan sebagai warganegara seperti mewakili sebagai seorang agen di dalam gelanggang politis, yang dengan luas menggambarkan kewarganegaraan sebagai hak memberdayakan orang-orang untuk bertindak sebagai agen.
Lerner menyebutkan seperti di kutip Ritzer (2012:10) dimanapun perempuan disubordinasikan, mereka disubordinasikan di segala tempat. Hak dan kewajiban perempuan sebagai warga Negara seringkali disubordinasikan.



2.        Kewarganegaraan Perempuan kaitannya dalam Hak dan Kewajiban, di Indonesia
Seperti di kutip dari kantor berita Indonesia Antara (2015) Wakil Presiden Republik Indonesia M Jusuf Kalla menyebutkan dalam pidatonya pada Sidang Majelis PBB New York Amerika, bahwa kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia sudah lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lain, walaupun masih terdapat beberapa kekurangan. 
Seperti disebutkan oleh Wakil Presiden M Jusuf Kalla:
"Di bidang pendidikan, kesehatan dan politik, kesetaraan gender di Indonesia sudah baik, meskipun kita akui masih ada perilaku-perilaku soal peranan perempuan masih ada masalah,"
Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyebutkan contoh kongkret dari kesetaraan gender di Indonesia bidang politik. Indonesia pernah memiliki presiden perempuan Megawati Soekarnoputri dan perempuan Indonesia dewasa ini banyak menduduki jabatan Politis seperti menjadi Kepala Daerah hingga menteri di kabinet masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan M Jusuf Kalla terdapat delapan menteri perempuan. Oleh karena itu Wakil Presiden M Jusuf kalla komitmen bahwa Indonesia dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sudah tidak bisa diragukan lagi.
Walaupun demikian tetap saja terdapat kesenjangan atau pengeksklusian terjadi di Indonesia, seperti misalnya dalam bidang pendidikan di daerah pedesaan, tetap saja akan ditemukan  (warganegara) perempuan didaerah pedesaan yang secara kultural dilarang untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Mereka sering beralasan, “buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, pada akhirnya pun akan menjadi Ibu Rumah Tangga?” pernyataan tersebut sering muncul dan seakan-akan menjadi dalih pengeksklusian perempuan di daerah pedesaan untuk mendapatkan pendidikan.
 Jika dilihat dari perspektif atau teori Sosiologi Institusional seperti disebutkan Ritzer (2012:790-791) teori ini mengajukan perbedaan-perbedaan gender yaitu pada peran-peran yang berbeda yang dimainkan laki-laki dan perempuan dalam berbagai institusional. Peran-peran perempuan di institusi keluarga misalnya sebagai seorang ibu bagi anak dan istri bagi suaminya. Motif utama dari perspektif ini adalah pembagian kerja dilihat dari jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) di dalam institusi keluarga. Menjadi sebuah dilematis ketika dalam pemilihan karir antara menyesuaikan passion (kerja)  dengan menjadi Ibu Rumah Tangga an sich atau pula keduanya (berkarir dan menjadi ibu Rumah Tangga). Seharusnya perempuan dan lak-laki tidak ada beda dalam perlakuan seperti dalam amanat UUD 1945:
Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Pasal 31 ayat (1) menyatakan “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.”

UUD 1945 pada pasal 28C ayat 1 dan pasal 31 ayat 1, jelas menyatakan tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pendidikan, dengan diksi “setiap orang dan setiap warga Negara”. Perlunya peran pemerintah untuk lebih tegas dalam pengimplementasian amanat UUD 1945 tentang kesetaraan (Gender) setiap warga Negara berhak tanpa melihat jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) untuk mendapatkan pendidikan.[]











DAFTAR PUSTAKA

Kymlicka dan Norman, 1995, Return to the Citizen: A Survey of Recent Work on Citizenship Theory. In: R. Beiner (ed.) Teorizing Citizenship, NY: State University of New York Press
Lester, Ruth, 2003, “What is citizenship?” dalam Citizenship, NY: Palgrave Macmilan
Ritzer, George, 2012, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kitab UUD 1945




Pendidikan dan Eksklusi Sosial

Jumlah penduduk miskin di indonesia mencapai 28,59 juta. Dari jumlah penduduk miskin tersebut dapat dirincikan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan 8,29 persen atau sekira 10,65 juta, sementara di daerah pedesaan 14,21 persen atau sekira 17, 94 juta (BPS, 2015) 

Sangat kompleks, bila membicarakan hambatan - hambatan dalam dunia pendidikan di indonesia. Mulai dari faktor geografis, seperti daerah terpencil di pegunungan dan dipesisir, hingga faktor keluarga seperti keluarga miskin. “Jangankan untuk melanjutkan sekolah anak, untuk memenuhi kehidupan sehari-sehari pun sulit”.



Image:www.google.com


Barriers to Learning 

Eksklusi sosial dibidang pendidikan merupakan implikasi dari kemiskinan. Seperti disebutkan Smith dan Noble dikutip Harlambos dan Halborn (2004:637):
In a study of the effect of poverty on schooling. Barriers to learning which can result from low income.
Namun terdapat pula masyarakat berpennghasilan rendah (bukan miskin) yang memilki kesadaran tinggi terhadap pendidikan. Mereka tetap menyekolahkan anaknya walaupun keadan ekonomi keluarga sulit. Hal ini berimplikasi pada proses pembelajaran di sekolah, Smith dan Noble seperti dikutip Harlambos dan Halborn (2004:637) menyebutkan hambatan-hambatan dalam belajar yang disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi) diantaranya:
1.   Ketidakmampuan untuk mendapatkan seragam sekolah, perjalanan ke sekolah, transportasi ke sekolah dan dari sekolah, fasilitas belajar di kelas, dan untuk beberapa kasus sulitnya mendapatkan sumber bacaan sekolah. Hal demikian dapat menyebabkan anak terisolasi, tertindas, dalam proses belajar disekolah meraka.
2. Anak anak dari keluarga yang berpendapatan rendah kemungkinan besar mengalami masalah kesehatan yang bisa mempengaruhi kehadiran dan proses belajar di sekolah.
3.  Ekonomi rendah diartikan bahwa orang tua tidak mampu memberikan biaya atau akses pendidikan privat untuk anak mereka.
4.  Ekonomi rendah sangat mungkin tidak memiliki akses komputer rumah dengan internet, meja belajar, alat peraga, buku, tempat ketika mengerjakan PR, dan rumah yang nyaman dan baik untuk menunjang belajar.
5.   The marketization of school memungkinkan peningkatan polarisasi keberhasilan, fasilitas sekolah yang baik berada di daerah maju sedangkan sekolah-sekolah berfasilitas rendah ada di daerah miskin. Hal tersebut akan mengurangi kesempatan anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

The Poverty Penalty
Poverty penalty menjelaskan fenomena dimana masyarakat miskin membayar lebih mahal untuk makan dan membeli barang dibandingkan masyarakat kelas atas (Prahalad, 2004). Menurut Muller (2002) dan Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal di daerah terpencil dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena mereka tinggal di daerah lingkungan informal dimana kurangnya lnfrastruktur khususnya transportasi.


notes: Tulisan ini dilempar kepada para pembaca dalam penarikan kasus dan kesimpulan dari isu yang ada di Indonesia (khususnya) dan Dunia (pada umumnya).... 











DAFTAR PUSTAKA

Haralambos & Holborn, 2004, Sociology (Theme and Perspectives), London: Harper Collins Publisher
Mendoza RU, 2011, Why do the poor pay more? Exploring the poverty penalty concept. Journal of International Development 23: 1-28.
Muller C, 2002, Prices and living standards: evidence from Rwanda. Journal of Develop- ment Economics 68: 187-203
Prahalad, C. K, 2009, The fortune at the bottom of the pyramid, FT Press.