Selasa, 11 Desember 2012

Kata kunci pada Epistemologi Individu dan Sosial

Epistemologi Individu dan Sosial



Epistemologi secara terminologi adalah cabang dari ilmu filsafat tentang bagaimana cara mencari sumber pengetahuan. Ditambah variable individu dan sosial. Jadi Epistemologi Individu dan Sosial yaitu sebagai berikut:

1.Epistemologi Individu

Epistemologi Individu yaitu proses mencari ilmu pengetahuan semata-mata berdasarkan aktivitas individu dengan menghiraukan aspek lingkungan sosial.

2.Epistemologi Sosial

Epistemologi Sosial yaitu proses mencari ilmu pengetahuan berdasarkan aspek lingkungan sosial dan itu mempunyai peranan yang sangat penting.



Sistem Kepercayaan Masyarakat Primitif

Sistem Kepercayaan Masyarakat Primitif
Suatu Tugas Antropologi Agama
Oleh: Agus Mauluddin, 
Mahasiswa Sosiologi IIIA, FISIP Sosiologi UIN SGD BDG (copyright)


Suku Dawan, NTT

A.Term
Dalam memberikan pengertian terhadap kepercayaan maupun agama sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda dan ada batasan-batasan tersendiri. Tapi disini, penulis akan memberi pengertian yang unifikasi atau bisa dibilang sama antara agama dan kepercayaan. Karena secara term antara agama dan kepercayaan mempunyai titik esensial yang sama.
Pengertian agama dalam buku Antropologi Agama Adeng Muchtar Ghazali, bahwa yang disebut agama adalah seperangkat kepercayaan, doktrin, norma-norma yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh manusia.
Sedangkan dari pengertian Masyarakat Pimitif pun banyak pengertian-pengertian yang diberikan oleh para ahli. Berdasarkan hasil kajian para antropolog dan sosiolog mengenai masyarakat primitif, munculah beberapa teori yang berhubungan dengannya. Salahsatunya tentang Istilah “primitif” ada yang mengistilahkan pra-literate, non-literate, archaic, dan sebagainya. Dalam artian bahwa sesuatu yang primitif itu sesuatu yang kuno, sudah ketinggalan zaman, prasejarah. Pengertian seperti ini kebanyakan dikemukakan oleh para ahli antropologi pada abad ke-19. Mereka menempatkan manusia primitif pada skala yang sangat rendah dari perkembangan kebudayaan manusia kontemporer. Bagi Spencer, orang primitif itu rasional. Sekalipun pengetahuannya sedikit dan lemah, namun pandangan-pandangannya masuk akal. Mereka melihat adanya kenyataan-kenyataan seperti matahari dan bulan, awan dan bintang-bintang, muncul dan hilang. Kenyataan ini memberikan pengertian adanya dualisme, yaitu tentang kondisi-kondisi yang tampak dan tidak tampak.

B.Ciri-ciri keagamaan Masyarakat Primitif
1.Pandangan tentang Alam Semesta
Masyarakat primitif mengangap bahwa alam adalah sebagai subjek, dalam artian bahwa alam seakan-akan mempunyai jiwa, makhluk yang berpribadi dan menempatkan alam sebagai subjek atau “personal”. Berbeda dengan masyarakat modern yang menganggap alam sebagai objek, dalam artian disini bahwa manusia menempatkan alam bukan suatu yang memiliki jiwa dan manusia modern pun meyakini memang manusia sendiri dengan alam adanya simbiosis mutualisme. Akan tetapi mereka tidak memandang bahwa alam itu makhluk yang berpribadi, memiliki jiwa dan lain-lain.
Jika ditarik contoh, ketika alam mengeluarkan isi perutnya (gunung meletus) masyarakat primitif beranggapan bahwa penguasa gunung sedang murka terhadap mereka dan antisipasi terhadap peristiwa itu, mereka memberikan sembah-sembahan, mengadakan ritus-ritus yang motifnya agar sang penguasa gunung itu tidak murka lagi kepada mereka. Berbeda dengan masyarakat modern, ketika dihadapkan pada peristiwa tersebut, masyarakat modern meneliti kejadian tersebut, kenapa itu bisa terjadi. Secara esensial masyarakat modern tidak menempatkan gunung sebagai subjek, tapi objek. Maksudnya kejadian alam tersebut dikaji dan dicari antisipasi jika terjadi kembali kejadian alam tersebut.
2. Mudah mensakralkan Objek Tertentu
Masyarakat primitif mempunyai ciri yakni mudah mensakralkan objek tertentu, dalam artian memandang sakral pada suatu yang menurut mereka mengandung kemanfaatan, kebaikan, bencana. Misalnya saja, ketika seseorang yang menempati sebuah rumah baru, tak lama kemudian penghuni rumahnya ada yang sakit. Mereka langsung beranggapan bahwa penghuni rumah yang sakit itu karena pengaruh “jin” yang menghuni rumah baru mereka. Maka mereka berinisiatif agar terhindar dari pengaruh jin itu, maka dibuatlah suatu ritual tertentu dengan tujuan mengusir atau memindahkan “jin” tersebut agar tidak mengganggu penghuni rumah. Misalnya dengan memberikan “sesaji” atau dengan ritul-ritual tertentu.
Jika diera dewasa ini masih ada masyarakat yang berpandangan seperti itu, maka merujuk pada ciri masyarakat primitif, masyarakat tersebut bisa dikategorikan masyarakat primitif.
Solusi yang ditawarkan penulis menanggapi fenomena tersebut secara perspektif Islam yaitu pertama menanggapi hal yang transenden atau metafisik kita harus mempercayainya, karena dalam ajaran islam sendiri ada dogma yang mengatakan percaya pada Allah, Malaikat, Hari Akhir. Kesemuanya itu bersifat transenden, dalam artian bahwa kita harus percaya pada hal yang “gaib”. Akan tetapi kita jangan langsung menjustifikasi bahwa peristiwa tadi karena mahluk “gaib”, “jin” dan harus dengan penawar ritus-ritus tertentu atau dengan sesaji dan semacamnya. Menurut penulis diera dewasa ini yang menurut Auguste comte bisa disebut dunia logos, ilmiah maka kita berpandangan sakit memang karena kehendak Allah (hakikat) dan secara “syariat” disini secara ilmiah, sakit karena keadaan tubuh kita yang sedang goyah, tatkala ada virus masuk kedalam tubuh kita, body protect kita tidak bisa menangkisnya, hingga mengakibatkan sakit. Juga secara spiritual lebih meningkatkan keimanan dan ibadah kita, misal dengan rajin membaca ayat suci al-Qur’an. Kita jangan mempunyai konsep apa lagi konsep itu sangat kuat bahwa fenomena tersebut karena mahluk semacam “jin” atau apa, Secara psikologis ketika self, diri, atau ego sudah meyakini akan sesuatu yang kita yakini maka itu bisa-bisa terjadi.
3.Sikap Hidup yang Serba Magis
Ciri –ciri masyarakat primitif yakni masyarakat dalam kehidupnya itu selalu dihubungkan dengan hal-hal “gaib”. Ada hal-hal tertentu saja yang terjadi, masyarakat primitif langsung menghubingkannya dengan sesuatu hal yang magi. Kembali pada teorinya Auguste Comte dalam teori 3 tahapnya yakni masyarakat pada tahap mitos.
4.Hidup Penuh dengan Upacara Keagamaan
Ciri yang terakhir yang ditawarkan dalam buku Antropologi Agama Adeng Muchtar Ghazali, yakni ciri masyarakat primitif itu hidup penuh dengan upacara keagamaan. Yang secara esensial sebenarnya dari keempat ciri masyarakat primitif mempunyai sisi substansial yang sama. Ciri yang keempat dari masyarakat primitif adalah hidup yang penuh dengan upacara keagamaan, kita tarik contoh: ketika tibanya musim panen dalam pertanian, maka masyarakat primitif tidak menganggap sepele hal tersebut. Mereka beranggapan bahwa ada yang disebut dengan “dewi sri” atau dewi padi. Tatkala musim panen tiba mereka menyediakan sesaji-sesaji yang diperuntukan dewi sri tersebut sebagai tanda berterimakasih kepada dewi sri atas keberhasilan panen misalnya.

Dari pemaparan diatas, bahwa masyarakat primitif seperti itu dan mempunyai ciri-ciri seperti itu. Apakah kita selaku masyarakat yang hidup diera modern ini berada dalam kategori ciri-ciri masyarakat primitif ???

Kamis, 06 Desember 2012

Pembaharuan dalam Islam


Resensi Buku:
Pembaharuan dalam Islam
Sejarah Pemikiran dan Gerakan
Prof. Dr. Harun Nasution
Oleh: Agus Mauluddin, Sosiologi IIIA  (copyright)




Prolog
Modernisasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam yaitu sekitar permulaan abad ke-19. Ide-ide baru bermunculan di dunia Islam, disebabkan adanya kontak dengan dunia Barat, seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Hal itu, menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.
Paham-paham baru yang timbul di dunia barat, dikoherensikan. Dalam artian, antara ilmu pengetahuan dari barat disesuaikan dengan budaya Islam.
Buku ini membahas tentang pemikiran dan gerakan pemabaharuan dalam Islam, yang timbul di zaman atau periode modern dalam sejarah Islam itu.
Pembaharuan yang mencakup  pembaharuan yang terjadi di tiga Negara Islam, yaitu Mesir, Turki dan India-Pakistan. Sebab pada garis besarnya, pemikiran dan gerakan pembaharuan yang timbul dan terjadi di tiga Negara Islam itu, tidak jauh berbeda dengan apa yang terdapat di Negara-negara Islam lainnya.
Buku ini bermanfaat bagi para Mahasiswa dan Umum, untuk penambah pengetahuan tentang pemikiran dan gerakan pembaharuan terutama setelah mengingat bahwa literatur mengenai masalah tersebut dalam bahasa Indonesia masih dirasa kurang.


Pembaharuan dalam Islam
Sejarah Pemikiran dan Gerakan
Dalam term bahasa Indonesia kita sering mendengar vocab modern, moderenisasi dan modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam “aliran-aliran modern dalam Islam” dam “Islam dan modernisasi”.  Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern. Atau term modernisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional atau menyesuaikannya dengan aliran-aliran modern (filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan).
Di dunia Barat pun terjadi pembaharuan yang diakibatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan memasuki lapangan agama Katolik dan Protestan, yang akhirnya membawa kepada timbulnya sekularisme di masyarakat Barat.
            Ketika dunia Islam dimasuki budaya modern, baik dalam hal ilmu pengetahuan maupun teknologi yaitu sekitar permulaan abad 19, dalam sejarah Islam sebagai permulaan  Periode Modern. Diakibatkannya kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di dunia barat tidak di tolaknya di dunia Islam, dan dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.
Periodisasi Islam perspektif Prof. Dr. Harun Nasution
Pembaharuan dalam Islam di periode sejarah Islam mempunyai tujuan untuk membawa Islam kepada kemajuan, karena dirasa jika Islam tetap stagnan dan bersifat konservatif yang berdalih pada mempertahankan kemurnian  Islam, menurut penulis tidak akan pernah sampainya pada kemajuan dan akan selalu terbelakang dan bertendensi tertindas bangsa lain terhadap Islam. Ada tiga periode besar yang dikemukakan Prof. Dr. Harun Nasution, yaitu sebagai berikut:


1.      Periode Klasik (650-1250 M)
Periode ini merupakan zaman kemajuan dalam Islam dan dibagi ke dalam dua fase. Pertama, fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M).
Hal-hal (peristiwa) yang terjadi pada Periode Klasik fase ini, yaitu:
Ø  Daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah tersebut tunduk pada khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus dan terakhir dai Bagdad.
Ø  Berkembang dan memuncaknya Ilmu Pengetahuan (agama maupun umum).
Ø  “Menghasilkan” ulama-ulama besar seperti: Dalam Bidang Hukum: Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hambal, Bidang Teologi: Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al-Huzail, Al-Nazzam dan Al-Jubba’i, Bidang Mistisme atau Tasawuf Zunnun Al-Misri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj, Bidang Filsafat Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Miskawaih, dan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Ibn Al-Hasyam, Ibn Hayyan, Al-Khawarizmi, Al-Mas’udi, dan Al-Razi.
Kedua, fase disintegrasi (1000-1250 M)
Hal-hal (peristiwa) yang terjadi pada Periode Klasik fase ini, yaitu:
o   Keruntuhan umat Islam, dalam bidang politik mulai pecah
o   Kekuasaah khalifah menurun
o   Bagdad dapat dirampas dan dihancurkan oleh Hulaga (1258 M).
o   Khalifah sebagai lambang kesatuan umat Islam, hilang.
2.      Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Fase Kemunduran (1250-1500 M)
Hal-hal (peristiwa) yang terjadi pada Periode Klasik fase ini, yaitu:
*      Desentralisasi
*      Disintegrasi meningkat
* Perbedaan Sunni Syiah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan.
* Dunia Islam terbagi dua. Bagian Arab: Arabia, Iraq, Suria, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dan Mesir sebagai pusat. Bagian Persia: Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia tengah, dengan Iran sebagai pusat. Budaya Persia mengambil bentuk internasional.
*      Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup semakin meluas dikalangan umat Islam
*      Kurangnya perhatian pada ilmu pengetahuan
*      Umat Islam di spannyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu.
Fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1800 M) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Kerajaan besar yang dimaksud ialah Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Ketiga kerajaan tersebut mempunyai kejayaan masing-masing terutama dalam bentuk literature dan arsitek. Masjid-masjid dan gedung-gedung yang didirikan pada masa itu masih bisa dilihat di Istambul, Tibriz, Isfahan serta kota-kota laindi Iran dan di Delhi.
Pada zaman kemunduran , Kerajaan Usmani terpukul di Eropa, Kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afgan, sedang daerah kekuasaan kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan Raja-raja India. Kekuatan militer dan kekuatan politik Islam menurun. Umat islam dalam keadaan mundur dan statis. Eropa dengan kekayaan-kekayaan yang diangkut dari Amerika dan Timur jauh, bertambah kaya dan maju. Penetrasi Barat yang kekuatannya meningkat, ke dunia Islam yang kekuatannya menurun, kian mendalam dan kian meluas. Akhirnya Napoleon di tahun 1798 M menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang terpenting.
3.      Periode Modern (1800 M – seterusnya)
Hal-hal (peristiwa) yang terjadi pada Periode Klasik fase ini, yaitu:
ü  Kebangkitan Umat Islam
ü  Sadar akan kelemahan umat Islam ketika Mesir bisa ke tangan Barat, yang barat sudah timbul peradaban baru yang tinggi
ü  Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam menyusun strategi untuk meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali.
ü  Timbul ide-ide pembaharuan dalam Islam

Menurut penulis, bahwa determinan timbulnya Pembaharuan dalam Islam yaitu ketika Umat Islam pada masa kemunduran yang ditandai oleh jatuhnya Mesir ke tangan Barat, berimplikasi sadarnya umat Islam akan kelemahannya sendiri, yaitu Bangsa Barat sudah mempunyai peradaban yang tinggi. Dan dibuktikan pada masa Modern sekitar tahun 1800-an timbulnya ide-ide pembaharuan dalam Islam. Pembaharuan dalam Islam ini dalam artian Islam menerima budaya Barat, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi barat dan di sesuaikan dengan budaya Islam itu sendiri. Jadi terjadinya suatu koherensi atau kesesuaian antara budaya barat dan Islam. Yang pada akhirnya berimplikasi yaitu sintesis budaya Islam Modern.
Pembaharuan pra-modern
Kerajaan Utsmani
Pada periode Pertengahan pun telah ada timbul pemikiran pembaharuan, yakni di kerajaan Utsman. Pada abad ke-17 kerajaan Utsmani mulai mengalami kekalahan-kekalahan dalam peperangan dengan Negara-negara Eropa. Tentara-tentara yang dikirim untuk menguasai Wina dipukul kalah pada tahun 1699, dan mengharuskan kerajaan Utsmani menyerahkan Hongaria kepada Austria, daerah Polandia kepada Polandia, dan Azov kepada Rusia.
Kekalahan-kekalahan yang terjadi menstimulus Raja-raja dan pemuka-pemuka Kerajaan Utsmani untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan mereka dan apa rahasia keunggulan lawan. Mereka mulai memperhatika kemajuan-kemajuan Eropa, terutama Perancis. Pembaharuan pun membawa perobahan-perobahan besar di Turki, walaupun perobahan-perobahan itu terjadi bukan tidak mendapatkan tantangan apa-apa.
India
            Permulaan abad ke-18 kerajaan Mughal di India mulai memasuki zaman kemunduran. Hal tersebut menyadarkan pemimpin-pemimpin Islam di India akan kelemahan umat Islam. Salah satu dari pemuka itu adalah Syah Waliullah (1703-1762).
            Diantara sebab-sebab yang membawa kelemahan umat Islam, menurut pemikirannya adalah perobahan sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan. Atau istilah lain bahwa sistem pemerintahan absolut harus diganti dengan sistem pemerintahan demokrasi. Dan sebab lain pun yaitu terjadinya pepecahan di kalangan umat Islam sendiri. Adanya madzhab-madzhab dalam Islam, seperti Syiah dan Sunni. Juga sebab lian yaitu masuknya adat-istiadat dan ajaran-ajaran bukan Islam ke dalam keyakinan umat Islam.
Perlunya terjemahan al-Quran yang bisa dipahami oleh orang “awam”, walaupun sempat menuai kontroversi. Karena perlunya pemaknaan terhadap al-Quran, yang secara esensi bisa dipahami.
Arabia
Dalam pembaharuan di Arab adanya aliran Wahabiah, yaitu pada abad ke-19. Pemikiran yang dicetuskan Muhammad Abd Al-Wahab  untuk memperbaiki kedudukan umat Islam timbul bukan sebagai reaksi terhadap suasana politik seperti yang terdapat di kerajaan Usmani dan kerajaan Mughal, tetapi reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat islam di waktu itu. Kemurnian paham Tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ke-13 memang tersebar luas di dunia Islam. Juga disamping itu ada determinan yang merusak Tauhid umat Islam, yaitu adanya Animisme yang mempengaruhi umat Islam.
Pembaharuan-pembaharuan
Pembaharuan-pembaharuan yang terjadi di Mesir, yaitu adanya tokoh sentral Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida. Juga di Turki, ada Sultan Mahmud II, Usmani Muda, Turki Muda, Mustafa Kemal. Ada pula India-Pakistan, seperti Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah, Abul Kalam Azad. Yang secara esensi pemikiran-pemikiran para pembaharu yakni:
-          Umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya
-          Segala bid’ah yang tidak sesuai dengan Islam dan yang membawa kepada kemunduran dan kelemahan umat Islam di buang.
-          Pintu Ijtihad di buka
-          Dinamika di kalangan umat Islam harus dihidupkan kembali, dengan menjauhkan paham tawakal dan paham jabariyah
-          Umat Islam harus dirangsang untuk berpikir dan banyak berusaha
-          “Wahyu memandu Ilmu”
-          Ilmu bersinergi dengan wahyu
-          Pemerintah Absolut harus diganti dengan pemerintahan demokrasi
-          Pembaharuan dilaksanakan dengan tidak meninggalkan agama

Ali Shariati Sang Ideolog Revolusi Islam


Ali Shariati
Sang Ideolog Revolusi Islam
Karya: M.Subhi-Ibrahim
Oleh: Agus Mauluddin, Sosiologi Semester IIIA (copiright)
Sebuah Resensi Metodologi Studi Islam





Ali Shariati (1933-1977)
Ali Syariati seorang sosiolog Iran. Lahir pada tanggal 24 November 1933. Pemikirannya terpengaruh oleh ayahnya sendiri, Muhammad Taqi. Muhammad Taqi adalah seorang Mulla/ulama modernis. Ayahnya yang pertama mengajarkan tentang seni berpikir dan seni hidup manusia.
Tahun 1941 Shariati masuk sekolah tingkat pertama di sekolah swasta Ibn Yamin. Di sekolahnya, Shariati bersifat “mendua” jika sudah berada di kelas ia ingin keluar, tetapi ketika sudah berada di luar ia ingin ke kelas. Ia seorang pendiam, tak mau diatur, namun rajin. Ia pun jarang mengerjakan PR, meskipun demikian di rumah ia adalah seorang kutu buku. Bersama ayahnya, Shariati banyak menghabiskan waktu membaca di perpustakaan ayahnya, yang mempunyai 2000 koleksi buku. Karya Vickor Hugo, Les Miserables, dalam terjemahan Persianya, telah ia lahap sejak di sekolah dasar.
Mistisme dan Filsafat dikenal shariati ketika menginjak bangku sekolah menengah atas. Saat itu, sebenarnya shariati lebih meminati sastra, filsafat dan kemanusiaan ketimbang ilmu sosial dan ilmu keagamaan. Shariati mengaku bahwa ketertarikannya pada filsafat dipicu oleh sebaris kalimat Maeterlinck yang berbunyi, “Bila kita meniup mati lilin, kemanakah perginya nyala lilin itu?”
Shariati mengalami krisis kepribadian antara tahun 1946-1950 karena terlalu dini mengenal tulisan-tulisan barat, seperti yang sudah di paparkan di atas. Bahwa sejak sekolah dasar, shariati sudah dikenalkan dengan tulisan-tulisan dan bacaan-bacaan “berat”. Hal itu membuat keyakinan religiusnya terguncang. Kegelisahan dan keraguan menyelimuti Shariati, krisis keimanan yang akut melanda sukmanya. Baginya, eksistensi tanpa Tuhan begitu menakjubkan, sepi dan asing, hingga kehidupan ini menjadi suram dan hampa. Di ujung kegamangannya ia berkesimpulan bahwa kebuntuan pemikiran yang dihadapinya hanya dapat diselesaikan dengan jalan bunuh diri atau gila. Skeptisme filosofis mengantarkan Shariati berhadapan dengan maut. Di tepi jurang pergolakan pemikiran yang mengancam hidupnya tersebut, Shariati tertolong oleh Matsnawi-nya Rumi. Rumilah yang menyelamatkan Shariati dari kehancuran diri.
Pada tahun 1950, setamat dari sekolah menengah, Shariati masuk Kolese Pendidikan Guru (Danisysaray-i Tarbiyat-i mu’allim) di Mashhad, yang dijalaninya sembari mengajar. Pada masa ini, akhirnya Shariati mencapai titik kematangannya dalam pencarian eksistensi, yaitu ketika ia lulus dari Kolese tersebut pada tahun 1952. Shariati yakin bahwa Islam merupakan medium epistimologis untuk mencandra kehidupan, baik individual maupun sosial.
Gejolak politik di Iran menyeret Shariati ke gelanggang politik. Ia aktif dalam berbagai organisasi-organisasi. Cita-cita politik Shariati adalah membebaskan rakyat Iran dari penindasan rezim Shah Iran yang korup.
Tahun 1955, Shariati secara resmi menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Mashad. Kecerdasan intelektual dan ketajaman intuitifnya menjadikan Shariati populer di kalangan politikus dan intelektual. Shariati pun pernah dipenjara bersama ayahnya karena gerakan-gerakan yang dilakukan Shariati dan sebulan kemudian Shariati dibebaskan.
Cinta Shariati bersemi semasa di Universitas Mashhad. Pertemuannya dengan Puran-e Syari’at Razavi berlanjut ke pelaminan. Kedua insan itu menikah pada 15 Juli 1958 di Mashhad. Selang lima bulan kemudian, Shariati meraih gelar BA Sastra Persia. Selanjutnya, berkat prestasi akademiknya, ia mendapat beasiswa untuk studi ke Sorbonne. Tahun 1959 ia berangkat ke Paris meski tak disertai istri dan puterinya (Ehsan) yang baru lahir, yang menyusul satu tahun kemudian.
Di paris ia dipengaruhi pemikiran Fanon dan merupakan salah satu tokoh yang sangat dikagumi Shariati. Ide Fanon yang meresap pada karakter berpikir Shariati adalah komitmen pembebasan dunia ketiga dari penindasan, kolonialisme, dan imperialisme.
Shariati aktif menulis, baik berbentuk terjemahan, prosa, puisi, artikel sosial politik dan kebudayaan, jurnal mahasiswa iran di Perancis kerap menerbitkan tulisan-tulisan Shariati. Nama Pena yang sering digunakan Shariati dalam berbagai tulisannya, adalah syam, yang dalam bahasa Persia berarti lilin.


Konsep Qabil dan Habil
            Qabil dan Habil dalam sebuah riwayat atau dalam mitologi drama kosmik adalah seorang anak Adam, yang mempunyai saudara kembar. Baik Qabil maupun Habil mempunyai adik perempuan. Adik perempuan masing-masing akan dinikahkan dengan sistem nikah silang. Adik perempuan Qabil cantik jelita, sedangkan adik Habil tidak seperti adik Qabil. Secara sistem silang bahwa Qabil dinikahkan dengan adik Habil dan Habil dengan adik Qabil. Akan tetapi Qabil tidak bersedia karena tahu bahwa adiknya sendiri lebih cantik daripada adik Habil, dan Qabil ingin menikahi adiknya. Menanggapi hal itu, maka adam membuat suatu kesepakatan, bahwa yang Korbannya di terima maka ia yang akan menikahi pasangan yang diinginkannya. Korban Habil lah yang diterima oleh Allah dengan korban dari hasil menggembalaan, sedangkan korban Qabil tidak diterima dengan hasil pertanian.
Pada akhirnya Qabil tidak menerima kenyataan itu dan memutuskan membunuh Habil. Thing tersebut merupakan sebuah simbol, bahwa sebenarnya pembunuhan itu terjadi secara esensial bukan semata-mata karena wanita. Akan tetapi disana nampak struktur sosial dan konflik sosial, dalam artian Qabil diidentikan dengan pertanian dan Habil diidentikan dengan pengembala. Ketika Habil dalam bidang penggembalaan tidak perlu memerlukan modal yang besar, dalam artian untuk makanan ternak pun bisa diperoleh dari alam. Jika Qabil dalam bidang pertanian, dalam proses bertani pun begitu tidak sederhana, dari mulai memelihara, memberi pupuk, memanennya. Maka disana sebagai simbol, ketika Korban Qabil tidak diterima, karena Qabil tidak memberikan yang terbaik dalam artian lebih menyisakan untuk dirinya sendiri karena merasa dalam prosesnya pun tidak sederhana. Jika dielaborasikan lagi bahwa Ali Shariati disini bisa dikatakan mempunyai esensi konsep yang sama dengan Karl Marx. Dalam teori Karl Marx kita mengenal dengan Kaum Borjuis dan Proletar. Nah ekuivalennya yaitu konsep Qabil dan Habil.
Qabil diartikan sebagai kaum borjuis, penguasa, pemilik modal, sedangkan Habil diartikan sebagai kaum Proletar, yang dikuasai. Kenapa bisa dikatakan seperti itu? Tatkala melihat mitologi drama kosmik tadi, sebagai simbol bahwa dalam kutub Habil keadaannya bisa dibilang sosial tinggi, tidak adanya “pemetakan-pemetakan”, kepunyaan bersama. Berbeda dengan kutub Qabil, yang mulai adanya “pemetakan-pemetakan”, pembagian lahan—tanah, kepemilikan sendiri-sendiri, adanya persaingan-persaingan. Hal tersebut menurut Shariati adanya pergeseran dari kutub Habil ke kutub Qabil dan “nanti” akan kembali lagi ke kutub Habil. Dan menurut Shariati hal tersebut bisa terjadi jika adanya suatu revolusi. Dan kembalinya kepada kutub Habil yang indikatornya kehidupan bersama, tidak adanya individualisme, kepemilikan sendiri, masyarakat yang harmonis dan itu pula menurut Shariati sebagai masyarakat ideal.
Konsep Dialektika Sosiologi
Konsep dialektika sosiologi secara epistemologi—mitologi drama kosmik Allah menciptakan Adam untuk menjadi khalifah di muka bumi. Ia diberi modal dua hal, yakni pengetahuan (al-asma’) dan kebebasan kehendak (amanah). Adam dicipta dari dua unsur: tanah dan ruh Allah. Jadi, manusia pada kodratnya mempunyai dua dimensi itu. Tanah atau lumpur merupakan simbol kenistaan dan kerendahan, sementara ruh Ilahi adalah simbol keluhuran, kesempurnaan. Itu merupakan sebuah simbol, bahwa manusia mempunyai dua dimensi atau unsur—tanah atau lumpur yang berarti manusia tatkala dalam serendah-rendahnya seperti sebuah lumpur yang “rendah”, jika dalam tingkat kulminasi maka akan mendekati kesempurnaan yakni ruh Ilahiah.
Revolusi
            Konsep Ali Shariati tentang kaum penguasa dan yang dikuasai dalam konsep Qabil dan Habil adalah suatu struktur sosial. Struktur sosial yang terjadi dalam pemikiran Shariati dimana kutub Habil harus kembali lagi dan itu suatu hal yang pasti kembali di kehidupan yang akan datang. Dimana dalam utopia Shariati, terciptanya tatanan sosial yang baik, tidak adanya kepemilikan sendiri, hidup harmonis tanpa ada istilah sikut mensikut. Dalam hal ini Shariati juga menyebutkan konsep rausyanfikr (orang-orang yang tercerahkan). Orang-orang yang tercerahkan disini dalam artian, orang yang mempunyai pengetahuan (das sollen) dan diimplementasikan (das sein). Dalam revolusi ini ada 3 variabel penting, pertama al-insan (manusia itu sendiri), kedua ideologi, ketiga rausyanfikr. Nah disini tugas rausyanfikr menyadarkan al-insan atau manusia tentang ideologi yang akan di-“usung”. Dalam artian menyelamatkan manusia dari tindakan penindasan-penindasan.

Agama/ Aliran Baru Konfusius




Agama/ Aliran Baru Konfusius

Oleh: Agus Mauluddin, Mahasiswa Sosiologi III (2012)


http://lh5.ggpht.com
Pada awalnya, Konfusius atau Khong Hu- Cu bukanlah sebuah agama. Ia hanyalah sebuah aliran filsafat yang berkembang di Cina. Namun, kultus individu terhadap pendirinya telah menggeret pengikutnya untuk melakukan penyembahan terhadap tokoh ini. Selama masa hidupnya Konfusius sama sekali tidak pernah mendakwahkan ajarannya sebagai sebuah agama. Sebaliknya, ajaran yang di bawa tokoh ini lebih bersifat sekuler karena hanya membatasi pada persoalan moral politik dan pribadi, serta akhlak dalam bertingkah laku. Secara tegas Konfusius menolak pengaitan ajarannya dengan persoalan ketuhanan.
Dalam filsafatnya ini, Konfusius sangat menjauhi perbincangan mengenai alam akhirat dan segala bentuk unsur metafisik. Dalam hal keyakinan, Konfusius sendiri menganut ajaran yang berkembang luas di sekitarnya. Yakni,mempercayai adanya kekuatan langit yang mengatur alam semesta. Semua fenomena yang terjadi di muka bumi adalah akibat dari pengaruh langit. Langit dapat murka, dan dapat pula bahagia. Mereka meyakini jika langit itu memiliki kesadaran dan kehidupan, bergerak dengan aturan yang rumit, pasti dan teratur. Langit memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap alam semesta. Segala sesuatu yang terjadi di bumi adalah akibat pengaruh kekuatan langit. Langit yang berkesadaran memiliki kekuasaan untuk menentukan segalanya.
Tokoh
Konfusius adalah seorang Filsuf Cina, yang pengaruhnya sangat besar. Filsuf yang berpaham konservatif, yang memang seorang filsuf yang berbeda dengan filsuf lain, yang ajarannya ini sekitar duaribu tahun masih terasa, walaupun saat ini aliran konfusius dalam masa kegelapan.
Source:
Michael H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia

Teori Sosiologi Klasik 1


(Important Point)
Teori Sosiologi Klasik 1
Oleh: Agus Mauluddin, Mahasiswa Sosiologi III (2012) (copyright)




       1.      Auguste Comte (Prancis, 1798 >>>penghujung Revolusi Prancis (Akhir Rev Prance 1799)).
       Teori:
-          Hukum 3 tahap > Teologis (fiktif, mitos), Metafisis (abstrak, mitos ke ilmiah/transisi), Positivis (Ilmiah),
-          Sosial Statis (diam) dan Sosial Dinamis (gerak, berubah).
       2.      Herbert Spencer  (Inggris, 1820)
-          Teori Evolusi Masyarakat (Bahwa masyarakat itu berubah, yang awalnya satu individu, dua dan menjadi sebuah masyarakat)
-          Sosial Organik (masyarakat dianalogikan/ibarat tubuh manusia).
       3.      Emile Durkheim (Prancis, 1858)
-          Fakta sosial (faktor luar yang mempengaruhi prilaku)
-          Solidaritas Mekanik (homogen, pedesaan), Solidaritas Organik (heterogen, perkotaan)
-          Suicide (bunuh diri) : Anomi (luluhnya norma), Egoistik (egois), Altruis (kepentingan kelompok)
-          Teori konsensus (kesepakatan umum)
-          Struktur Fungsional (struktur yang mempunyai fungsi masing-masing)
       4.      Max Weber (German, 1864)
-          Teori Tindakan (manusia mempunyai hak untuk berkehendak)
-          Verstehen (Pengertian)
       5.      Karl Marx (German, 1818)
-          Konsep Kapitalis (kaum bermodal, kaya):Borjuis (kaum kaya), Proletar (kaum buruh)
-          Teori Struktural Konflik (Revolusi terhadap kapitalis (redaksi penulis) )
       6.      Ferdinan Tonnies (German, 1855)
-          Gemeinschaft (Paguyuban) >>> (Tradisional)
Triebwille : Perasaan
-          Gesselschaft (Patembayan) >>> (Modern)
Zweckwille: Pragmatisme, nilai guna, tujuan
Evolusi (Gemeinschaft ke Gesselschaft) bukan sebuah hal bagus. Alasannya: Pada hakikatnya manusia membutuhkan kasihsayang, tidak selamanya karena ada maksud nilai guna.

HMI dan PMII


Observasi
“Menyoroti Perpolitikan Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung”
Studi Kasus Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh: Agus Mauluddin, Mahasiswa Sosiologi IIIA (2012) (copyright)




Penulis mengamati geliat politik Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung (UIN SGD BDG), disini penulis lebih menitikberatkan pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Secara umum di UIN SGD BDG, terdapat dua Organisasi besar (mendominasi) yang bertendensi pada perpolitikan praktis, yakni Organisasi Mahasiswa HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Kedua organisasi besar ini begitu subur di UIN SGD BDG sehingga menuai berbagai tanggapan dari berbagai mahasiswa, terutama dari para mahasiswa “Netral” (tidak masuk Organisasi HMI maupun PMII) terlepas dari tanggapan yang positif maupun negatif. 
Stereotip yang berkembang, bahwa para mahasiswa yang berorganisasi tersebut hanya mumpuni dalam aspek retorika, konsep-konsep, dan mumpuni dalam “pemahaman di permukaan” an sich. Akan tetapi pada praktiknya nihil, dan ketika beretorika pun (dilihat esensi pembicaraannya) dalam pemahaman agama hanya bagus "dipermukaan". Dengan kearogansiannya mereka berkoar tentang agama, akan tetapi pada praktik agamanya  termasuk lalay (dalam peribadatan). Ada anggapan lain tentang itu, memang tidak semua mahasiswa yang berorganisasi tersebut seperti demikian. Tetapi memang yang nampak seperti demikian, jadi tidak salah juga yang mengatakan mahasiswa yang berorganisasi bertabiat seperti itu. 
Stereotip positif anggapan mahasiswa terhadap organisasi tersebut yakni bahwa dengan adanya organisasi tersebut berdampak positif karena mereka (HMI dan PMII) "membangunkan mahasiswa dari tidur nyenyak, dari nina bobo para birokrat yang haus akan kekuasaan". Dengan organisasi tersebut mahasiswa diajak masuk dalam dunia kritis dan selalu mempertanyakan setiap kebijakan yang dilontarkan para birokrat-birokrat.
Fokus penulis yakni pada organisasi mahasiswa HMI dan PMII yang berada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Penulis mengamati kedua organisasi tersebut begitu kentara di FISIP, dari mulai kalangan Mahasiswa hingga tataran birokrasi. Misalnya saja SEMA-FISIP (Senat Mahasiswa FISIP) atau BEM-F FISIP. Dalam pemilihan SEMA pun bergulir isu-isu politik, salah satunya perekrutan anggota KPRM (Komisi Pemilu Raya Mahasiswa) berdasarkan sistem primordialisme atau nepotisme. Dan saat berlangsungnya pemilihan ketua SEMA pun bisa dikatakan tidak dengan cara “damai”, karna kentara nuansa politiknya. Pasti tatkala satu organisasi/partai menduduki tampuk kekuasaan, disana pula oposisi siap “mengacaukan” event tersebut. Ketika perekrutan anggota SEMA pun tentunya tidak terlepas dari sistem primordialisme, pemimpin yang berada di singgasana kekuasaan tentunya akan merekrut anggota berdasarkan “partai” nya. Disana begitu kentara nuansa politik, walaupun ada jargon dari sang pemangku tampuk kekuasaan: Keorganisasian ini (SEMA-FISIP) terbentuk untuk kebersamaan mahasiswa FISIP juga, akan tetapi secara empirik penulis mengamati sistem primordialisme itu begitu tampak dan tetap ada.
Pada akhir, penulis menawarkan gambaran sistem yang ideal yakni terhapusnya paradigma yang berkembang di kalangan mahasiswa (Organisasi yang berbasis kepentingan politik praktis), agar tidak ada lagi sistem primordialisme dan tetap mementingkan institusi daripada kepentingan golongan pribadi.[]

Rujukanhttps://www2.facebook.com/permalink.php?story_fbid=522872431080096&id=185572468143429