Selasa, 26 April 2016

Eksklusi Pendidikan



Jumlah penduduk miskin di indonesia mencapai 28,59 juta. Dari jumlah penduduk miskin tersebut dapat dirincikan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan 8,29 persen atau sekira 10,65 juta, sementara di daerah pedesaan 14,21 persen atau sekira 17, 94 juta (BPS, 2015)
Terdapatnya keterkaitan antara Kemiskinan dengan Pendidikan dan begitu pula pendidikan dengan Eksklusi Sosial yang disebabkan kemiskinan. Eksklusi sosial dibidang pendidikan merupakan implikasi dari kemiskinan. Seperti disebutkan Smith dan Noble dikutip Harlambos dan Halborn (2004):
“In a study of the effect of poverty on schooling. Barriers to learning which can result from low income.”

Image: www.google.com

Namun terdapat pula masyarakat berpenghasilan rendah (bukan miskin) yang memilki kesadaran tinggi terhadap pendidikan. Mereka tetap menyekolahkan anaknya walaupun keadan ekonomi keluarga sulit. Hal ini berimplikasi pada proses pembelajaran di sekolah, Smith dan Noble seperti dikutip Harlambos dan Halborn (2004) menyebutkan hambatan-hambatan dalam belajar yang disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi), atau sering disebut dengan istilah Barriers to Learning, yaitu diantaranya:
1.   Ketidakmampuan untuk mendapatkan seragam sekolah, perjalanan ke sekolah, transportasi ke sekolah dan dari sekolah, fasilitas belajar di kelas, dan untuk beberapa kasus sulitnya mendapatkan sumber bacaan sekolah. Hal demikian dapat menyebabkan anak terisolasi, tertindas, dalam proses belajar disekolah meraka.
2.   Anak anak dari keluarga yang berpendapatan rendah kemungkinan besar mengalami masalah kesehatan yang bisa mempengaruhi kehadiran dan proses belajar di sekolah.
3.   Ekonomi rendah diartikan bahwa orang tua tidak mampu memberikan biaya atau akses pendidikan privat untuk anak mereka.
4.   Ekonomi rendah sangat mungkin tidak memiliki akses komputer rumah dengan internet, meja belajar, alat peraga, buku, tempat ketika mengerjakan PR, dan rumah yang nyaman dan baik untuk menunjang belajar.
5.   The marketization of school memungkinkan peningkatan polarisasi keberhasilan, fasilitas sekolah yang baik berada di daerah maju sedangkan sekolah-sekolah berfasilitas rendah ada di daerah miskin. Hal tersebut akan mengurangi kesempatan anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Selain konsep Barriers to Learning, permasalahan-permasalah dalam dunia pendidikan yang sifatnya mengeksklusi yaitu Poverty penalty menjelaskan fenomena dimana masyarakat miskin membayar lebih mahal untuk makan dan membeli barang dibandingkan masyarakat kelas atas (Prahalad, 2009). Menurut Muller dan Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal di daerah terpencil dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena mereka tinggal di daerah lingkungan informal dimana kurangnya lnfrastruktur khususnya transportasi.
Jika ditanya, bagaimana dengan kasus di Indonesia? Apakah kedua konsep diatas relevan dengan konteks masyarakat Indonesia dewasa ini? Jawabannya adalah Benar. Benar masih saja dibeberapa daerah di Indonesia dapat kita temukan permasalahan-permasalahan yang ada seputar pendidikan.
Seperti misalnya sebuah berita dari Tempo (2015), menyebutkan bahwa jarak tempuh untuk mencapai sekolah tidak bisa dikatakan jaraknya dekat, seperti berikut:
“Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data bahwa berdasarkan hasil pendataan potensi desa yang dilakukan tiga kali dalam sepuluh tahun, sebanyak 10.985 desa masih belum memiliki sekolah dasar (SD) atau mencapai 13,37 persen. "Sebanyak 10.985 desa masih belum memiliki sekolah dasar, termasuk madrasah ibtidaiyah, atau sebesar 13,37 persen dari total 82.190 desa," kata Kepala BPS Suryamin dalam jumpa pers di Jakarta, Senin, 16 Februari 2015.
Suryamin mengatakan, dari 10.985 desa yang tidak memiliki sekolah dasar tersebut, sebanyak 2.438 desa atau kelurahan di antaranya memiliki jarak tempuh sedikitnya tiga kilometer ke SD terdekat. Sedangkan 86,63 persen lainnya sudah memiliki sarana sekolah dasar.
"Untuk sarana pendidikan SLTP sudah ada di 6.799 kecamatan, atau mencapai 96,11 persen. Adapun 275 kecamatan atau 3,89 persen tidak memiliki sarana pendidikan SLTP," ujar Suryamin.
Dari 275 kecamatan yang tidak memiliki sarana pendidikan SLTP tersebut, sebanyak 66,91 persen, atau 184 kecamatan, jarak tempuh ke SLTP terdekat lebih dari enam kilometer
Untuk tingkat SLTA, masih terdapat 816 kecamatan atau 11,54 persen yang belum memiliki sarana pendidikan tersebut. Sebanyak 508 kecamatan di antaranya, jarak tempuh ke SLTA terdekat lebih dari enam kilometer.
Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa mereka (anak-anak yang berada di daerah terpencil dan miskin) harus “mengeluarkan biaya lebih untuk bersekolah” atau dengan kata lain mereka kena Poverty Penalty. Senada dengan apa yang dijelaskan Muller dan Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal di daerah terpencil dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena mereka tinggal di daerah lingkungan informal dimana kurangnya infrastruktur khususnya transportasi. Selain itu pula data tersebut menunjukan bahwa Barriers to Learning begitu kentara disana. Masih ada di beberapa Desa, atau kecamatan tidak memiliki sarana pendidikan yang menunjang pendidikan mereka. Seperti yang disebutkan Harlambos dan Halborn (2004) hambatan-hambatan dalam belajar yang disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi), atau sering disebut dengan istilah Barriers to Learning, yaitu ketidakmampuan untuk mendapat fasilitas belajar di kelas, dan sulitnya mendapatkan sumber bacaan sekolah.
Solusi yang penulis tawarkan untuk pemerintah yaitu pertama, pemerintah harus benar-benar mengupayakan (secara struktural) misalnya dengan program-program yang berorientasi pada “pembangunan” masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil. Misalnya program KIP (Kartu Indonesia Pintar). Program tersebut harus diupayakan mampu mencapai hingga daerah-daerah terpencil secara massif. Kedua, pemerintah harus men-support kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CSO atau komunitas-komunitas, jika perlu dibentuklah regulasi yang menunjukan apresiasi pemerintah kepada CSO.
Program CSR yang menurut hemat penulis mampu “meratakan” pendidikan hingga ke daerah-daerah yaitu CSR yang berupa beasiswa. Namun permasalahannya pada tataran teknis pengimplementasian beasiswa tersebut (kerap terjadi salah sasaran). Maka solusinya adalah perlu “seleksi administrasi dan kapabelitas” penerima beasiswa secara bertanggung jawab, jika perlu tanda tangan diatas materai dan dilibatkannya lembaga penegak hukum jika dikemudian hari terdapat kecurangan.
Peran komunitas atau hadirnya CSO seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya,  Seperti misalnya Gerakan Indonesia Mengajar (2015) besutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era dewasa ini. Seperti tag line  atau moto yang diusung “Berhenti mengeluh tidaklah cukup. Berkata-kata indah penuh semangat juga tidak pernah cukup. Lakukan sesuatu sekarang. Bergabung dalam kerumunan positif dan terlibat membangun masyarakat sipil yang kuat.” Gerakan-gerakan masyarakat sipil seperti ini dapat menjangkau desa-desa terpencil sekalipun, sehingga kesamaan kesempatan (Equality of Oppertunity) dalam mengakses pendidikan oleh anak - anak di daerah dapat tercapai dan yang paling utama dengan adanya CSO atau komunitas-komunitas tentunya dapat membantu pemerintah dalam menyelesaikan “pekerjaan-pekerjaan rumahnya”. (gusma)

Sumber: eurekapendidikan.com, 24 April 2016 (http://www.eurekapendidikan.com/2016/04/eksklusi-pendidikan-agus-mauluddin.html#more)

Jumat, 22 April 2016

KARTINI MASA KINI ‘Mengulas Kembali’ Peran Perempuan di Kancah Perpolitikan Nasional

Berbicara Politik, erat kaitannya dengan kekuasaan. Kekuasaan tentunya tidak terlepas dari superioritas laki-laki. Laki-laki seakan-akan selalu memiliki kesempatan dalam berbagai lini, begitu pula dalam hal kekuasaan atau politik. Berbeda halnya dengan perempuan, perempuan seakan-akan tidak banyak memiliki kesempatan andil di dunia politik. Namun kini, Kartini Masa Kini seakan membongkar tren arus utama perpolitikan di era kekinian. Perempuan kini memiliki kesempatan untuk berkompetisi dengan laki-laki dalam panggung politik Negeri.

Image: www.google.com


Berbicara Perempuan nampaknya ada yang kurang jika tidak membicarakan Gender. Gender seakan-akan melekat (embedded) dengan perempuan itu sendiri. Sering kita mendengar istilah gender, dalam dunia akademik misalnya, maupun dalam topik obrolan-obrolan santai di warung kopi. Gender menjadi sebuah topik yang debatable dan seakan-akan menjadi suatu yang “tak lekang dimakan zaman” untuk diperbincangkan. Gender secara umum dapat diartikan sebagai sifat yang melekat pada diri laki-laki maupun perempuan secara konstruk sosial budaya.

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA., (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) menjelaskan ada 2 teori besar tentang gender ini. pertama, Teori nature yakni teori yang menyebutkan bahwa adanya pembedaan antara derajat laki-laki dan perempuan karena memang secara alamiah. Bisa dilihat secara alamiah, biologis, bahwa gerak perempuan seakan-akan terbatasi oleh hal yang bersifat biologis, semisal mengandung, melahirkan, menyusui. Hal tersebut seakan-akan menjadi suatu penghambat bagi gerak seorang perempuan dan hal seperti itu tidak terjadi pada laki-laki. Dalam kaitan ini bahwa lak-laki memang lebih superior dari pada perempuan. Apalagi jika dilihat secara historis, pada zaman peperangan kala itu peran laki-laki menjadi sangat penting, karena memang dalam peperangan diperlukannya “kekuatan” tanpa ada banyak yang membatasi dan perempuan itu terbatasi oleh hal-hal yang bersifat biologis tadi. Kedua, teori nurture yakni adanya penyebutan derajat laki-laki lebih tinggi dibandingkan derajat perempuan itu hanya karena konstruk masyarakat, atau bentukan sosial.

Berbicara Politik, erat kaitannya dengan kekuasaan, kekuasaan pun tentunya tidak terlepas dari superioritas laki-laki. Laki-laki seakan-akan selalu yang memiliki kesempatan dalam berbagai lini, begitu pula dalam hal kekuasaan atau politik dan berbeda halnya dengan perempuan. Perempuan seakan-akan tidak banyak memiliki kesempatan andil di dunia politik.

Peraturan manusia bisa saja berubah dan bersifat dinamis, begitu pula dengan peran seorang perempuan dalam kancah perpolitikan di era kekinian.

Secara umum kuota bagi perempuan di ranah perpolitikan yakni berkisar 30 %. Memang kuota yang dimiliki perempuan lebih sedikit dibandingkan  laki-laki. Dan tingkat partisipasinya pun selama beberapa tahun terakhir (dengan 30% itu) masih belum terpenuhi semua. Selain itu pula tingkat kepercayaan masyarakat pada ‘pemimpin perempuan’ kurang begitu baik.

Alasannya sering orang menyebutkan bahwa perempuan mempunyai sifat yang berkecenderungan mengutamakan emosional daripada rasional. Karena berbicara politik berbicara pula kebijakan. Perempuan dirasa dalam memberikan arah kebijakannya lebih mengutamakan emosionalnya. Walaupun memang faktanya mungkin tidak demikian.

Adanya stigma masyarakat, bahwa perempuan harus atau hanya berkutat pada ranah domestik saja. Berpendidkan tinggi tidak diharuskan karena perempuan pada akhirnya akan kembali ke ranah domestik lagi.

Hal tersebut berpengaruh terhadap karir politik perempuan (baik itu keinginan mencalonkan diri atau sudah mencalonkan namun kurang dukungan).

Fakta berbicara
Sebagai contoh Perempuan Indonesia dewasa ini sebagai cerminan Kartini Masa Kini, banyak menduduki jabatan Politis, dari mulai Pemerintahan Pusat hingga Pemerintahan Daerah seperti menjadi Kepala Daerah Provinsi (Gubernur) atau berkompetisi di tingkat Provinsi (Mencalonkan Gubernur), Kabupaten (Bupati), hingga tingkat Desa (Kepala Desa), pun demikian di jajaran menteri di kabinet masa pemerintahan Jokowi-JK misalnya terdapat delapan menteri perempuan. Sebut saja Prof. DR. Yohana Susana Yembise, Dip.Apling, MA Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan termasuk Menteri Perempuan Pertama dari Papua.

Perempuan dalam Perpolitikan Nasional, misalnya saja jika berkaca pada  perpolitikan Daerah di Kabupaten Ciamis 3 tahun silam pada tahun 2013, booming dengan pesta rakyat 5 tahunan yakni pemilihan kepala daerah, atau pemilihan Bupati Kabupaten Ciamis. Terdiri dari 4 calon pasangan, yang memang didominasi oleh laki-laki. Akan tetapi ada seorang perempuan yang berani tampil sebagai wakil bupati. Walaupun pada akhirnya keluar terpilih dengan suara terbanyak ketiga. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi suatu permasalahan, malah merupakan suatu simbol bahwa perempuan pun exsist dalam ranah perpolitikan, khususnya pada pencalonan kepala daerah di kabupaten Ciamis.

Pada tahun yang sama, pemilihan Gubernur Jawa Timur muncul sosok perempuan yang begitu berani mencalonkan diri sebagai calon gubernur Jawa Timur. Walaupun tidak berhasil menjadi Gubernur, akan tetapi suara yang didapat merupakan perolehan kedua terbesar. Dan perlu diapresiasi kegigihan Khofifah (yang saat ini mampu menjadi Menteri Sosial) untuk melaju dalam pemilu kepala daerah Jawa Timur tersebut.
Masih di tahun yang sama, kasus yang lainnya pun, seperti pada pemilihan Wali Kota Banjar, Hj. Ade Uu sukses menjadi walikota Banjar, Jawa Barat.

Terlebih pada Pilkada serentak tahun 2015 kemarin, terdapat pembuktian yang cukup mencengangkan, dengan kehadiran perempuan dikancah perpolitikan Nasional. Diantarnya dikuatkan oleh penelitian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menunjukan bahwa muncul 46 perempuan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan suara terbanyak di pilkada serentak gelombang pertama di 45 kabupaten/kota, dari jumlah itu, 24 diantaranya adalah kepala daerah dan sisanya 22 sebagai wakil kepala daerah. Dengan perolehan suara yang terbilang tinggi, yaitu untuk kepala daerah rata-rata menang dengan perolehan suara 57,44 persen. Sementara untuk wakil kepala daerah rata-rata perolehan suaranya 44, 57 persen.

Fenomena di Indonesia pada Pemilu serentak yang lebih mencengangkan, pemilu serentak ‘menghasilkan’ perempuan calon kepala daerah (yang goal) dengan suara terbanyak. Suara terbanyak diantaranya Rita Widyasari di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur), Tri Rismaharini di Kota Surabaya (Jawa Timur), dan Siti U Suruwaky di Kabupaten Seram Bagian Timur (Maluku).

Selain sebagai kepala daerah, terdapat pula yang menjadi wakil kepala daerah diantaranya Sofia Joesoef di Kabupaten Batanghari (Jambi), Tuty Hamid di Kabupaten Banggai Laut (Sulawesi Tengah) dan Dyah Hayuning Pratiwi di Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah).

Bahkan, yang lebih mencengangkan lagi di salah satu daerah yaitu Kabupaten Klaten (Jawa Tengah), calon kepala daerah dan wakilnya yang meraih suara terbanyak adalah perempuan. Mereka adalah Sri Hartini yang berpasangan dengan Sri Mulyani.

Tidak kalah hebatnya perempuan “Kartini Masa Kini” hingga ke tingkat Desa pun seperti pada Pemilihan Umum tingkat Lokal (Pilkades serentak di Kabupaten Ciamis 18 Maret 2016) meloloskan tiga calon kepala desa perempuan, yaitu Ai Ratna Intan Solihin Calon Kades Citeureup Kecamatan Kawali, Aan Kusmayati Calon Kades Jayaraksa Kecamatan Cimaragas dan Icih Hendarsih Calon Kades Gereba Kecamatan Cipaku. Yang hebatnya lagi tiga calon perempuan tersebut mampu mengalahkan calon lainnya yang mayoritas laki-laki.

Perempuan tidak boleh dipandang sebelah mata, tidak sedikit perempuan yang lulus gelar akademisnya hingga bertitel Profesor dan berani pula mencalonkan diri dalam kancah perpolitikan. Seperti beberapa kasus yang sudah dijelaskan diatas pun menunjukan dan menjadi pertanda telah hadirnya Kartini Masa Kini.
Walaupun stigma masyarakat, bahwa perempuan harus atau hanya berkutat pada ranah domestik saja. Berpendidkan tinggi tidak diharuskan karena perempuan akan kembali ke ranah domestik lagi. Akan tetapi realitasnya tidak seperti itu, seperti sudah di paparkan bahwa perempuanpun exsist pada ranah publik dan politik.

Jika dilihat secara universal kiprah perempuan dalam dunia politik dahulu sejak beberapa tahun kebelakang hingga tahun terakhir 2015 kemarin, bisa dibilang sudah mengalami peningkatan. Sedangkan pada tahun yang baru 2016 ini menjadi awal yang menjadi momentum bagi dimulainya ‘kesetaraan gender’ di Indonesia dan lahirnya Kartini-kartini Masa Kini. Semoga! (gusma)

Sumber: Warta Priangan, 21 April 2016

Senin, 11 April 2016

Kota Kumuh di Ibu Kota

Kebijakan sosial inklusif dengan konsep ‘perkuat desa’ dan ‘pernyaman kota’. Perkuat desa yang dimaksudkan adalah perkuat sektor-sektor yang ada diperdesaan yang pada akhirnya desa akan mampu mandiri dan pada titik akhir urbanisasi kurang diminati lagi. Konsep ‘pernyaman kota’ dimaksudkan, ketika urbanisasi yang sudah senyatanya terjadi tentu harus ada sebuah solusi agar pemukiman kumuh tidak terus terjadi. Dalam hal ini dengan membuat rusun (Rumah Susun) di Ibu Kota untuk para pendatang yang memperhatikan sosiopsikologis Masyarakat.

Foto: www.google.com

Fenomena yang seakan-akan menjadi hal yang biasa di Ibu Kota adalah pemukiman kumuh.  Permasalahan pemukiman kumuh di Ibu Kota semakin pelik terlebih pada musim penghujan yang melanda Ibu Kota pada bulan-bulan terakhir di tahun 2015, hingga awal-awal tahun 2016 ini.

Dari tahun ke tahun permasalahan tempat tinggal “kumuh” semakin pelik ketika musim penghujan datang, Seperti misalnya beberapa pemukiman yang berada di bantaran sungai Ciliwung,kena dampak banjir  seperti misalnya daerah Kampung Pulo. Daerah Kampung Pulo sebenarnya sudah dilakukan normalisasi sungai, namun ternyata tetap saja “permasalahan tahunan yang menjadi langganan”  tetap saja terjadi. Selain kampung pulo daerah lainnya seperti Bukit Duri pun mengalami permasalahan yang sama.

Jika sekilas melihat sejarah (dua kasus wilayah saja) Kampung Pulo dan Bukit Duri, ternyata tidak sedikit pula penduduk masyarakatnya merupakan pendatang dari beberapa wilayah di luar Ibu Kota Jakarta (Urbanisasi). Mereka dari dahulu yang sudah dari beberapa generasi, atau yang hanya baru-baru (beberapa tahun saja) menempati daerah tersebut. Seperti dikutip dari CNN Indonesia, berikut sepenggal hasil petikan wawancara oleh wartawan CNN dengan Tano warga Bukit Duri,
 “Kalau digusur ya paling bakal balik lagi ke kampung,” kata Tano.
Tano (60), warga pendatang yang telah tinggal selama 15 tahun di Bukit Duri.

Pulang ke kampung halaman merupakan salah satu solusi yang dimiliki Tarno sebab dirinya masih belum mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Menurutnya, banyak warga di Bukit Duri yang merupakan pendatang seperti dirinya.”

Hal demikian jelas membuktikan bahwa warga yang berada di dua wilayah tersebut bukanlah asli penduduk, namun pendatang. Itu hanya dilihat dari dua daerah saja, bagaimana dengan daerah-daerah lain Ibu Kota?

Untuk mengurai permasalahan kota kumuh tersebut penulis menawarkan dua solusi, yaitu solusi preventif dan solusi kuratif.

Batasi Pendatang
Solusi yang penulis tawarkan diantaranya pemerintahan ibu kota (DKI Jakarta) yang kerap kali menjadi sandaran masyarakat perdesaanatau menjadi tumpuan bagi masyarakat yang berada di wilayah “penopang” (misalnya Depok, Bogor, Bekasi) untuk “dikunjungi” oleh para pekerja atau para pencari kerja, pemerintah DKI Jakarta harus memiliki regulasi yang sifatnya “membatasi” hingga pada titik tertentu men-stop para pendatang yang ingin ke ibu kota untuk bekerja.

Seperti misalnya pemerintah DKI Jakarta membuat kesepakatan dengan pemerintahan kota lainnya sebagai percontohan semisal Bogor, Depok, Bekasi untuk menyediakan pekerjaan yang sifatnya “Regional/perwilayah”. Misalnya saja bagi pemerintah Depok, warga masyarakat Depok bekerja di daerah Depok dan pemerintah Depok (mampu) menyediakan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja masyarakatnya dan yang tidak kalah penting kesejahteraan hidup dan kualitas kehidupan masyarakatnya harus terperhatikan. Sehingga orang-orang tidak melulu harus bertumpu pada Ibu Kota Jakarta. Begitu pula dengan daerah lainnya.

Untuk memperkuat kebijakan tersebut buatlah sebuah perda (peraturan daerah) ataupun perbup/walikota (peraturan bupati/walikota), kaitannya dalam memperkuat dan melegitimasi kebijakan tersebut. Solusi yang dipaparkan diatas merupakan bentuk solusi preventif.

Kebijakan Sosial Inklusif
Solusi lainnya yang penulis tawarkan adalah kebijakan sosial inklusif. Kebijakan sosial inklusif yang penulis tawarkan yakni dengan konsep ‘perkuat desa’ dan ‘pernyaman kota’. Perkuat desa yang dimaksudkan adalah perkuat sektor-sektor yang ada diperdesaan, seperti sektor pertanian, perikanan dan industri kreatif perdesaan harus dikembangkan, tentu memerlukan perhatian dan tindakan yang nyata dari pemerintah setempat. Misalnya pemerintah Ciamis, dari 258 desa yang ada di Kabupaten Ciamis, pemerintah Kabupaten Ciamis mampu memaksimalkan sektor-sektor yang ada diperdesaan Ciamis, minimal dua atau tiga sektor yang sudah disebutkan diatas yakni sektor pertanian, perikanan dan industri kreatif perdesaan, pada akhirnya desa akan mampu mandiri dan pada titik akhir urbanisasi kurang diminati lagi. Solusi tersebut masih merupakan bentuk solusi yang preventif.

Sedangkan konsep yang kedua ‘pernyaman kota’merupakan bentuk solusi yang sifatnya kuratif. Solusi kuratif dimaksudkan, ketika urbanisasi yang sudah senyatanya terjadi tentu harus ada sebuah solusi agar pemukiman kumuh tidak terus terjadi. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai sebuah solusi kebijakan inklusif dengan membuatkannya rusun (Rumah Susun) di Ibu Kota untuk para pendatang (yang sudah senyatanya urban). Dengan dibuatkannya rusun ini agar para pendatang yang sudah sejak lama menempati tempat kumuh tidak menempati tempat kumuh lagi apalagi malah menciptakan pemukiman kumuh baru, yaitu dengan berpindah ke Rusun. Sehingga kemudian tidak ada lagi masyarakat yang tinggal di tempat kumuh.

Namun, lagi dan lagi kebijakan inklusif ini tidak sepenuhnya menjadi sebuah solusi yang relevan dan efektif karena tidak sedikit warga yang menolak tinggal di rusun malah ingin tetap tinggal di tempat kumuh. Karena terdapatnya permasalahan voiceless. Kebijakan inklusif pembuatan rusun tidak sesuai dengan keinginan warga (sebagai penerima kebijakan).

Salah satu alasannya seperti sebuah penelitian yang dilakukan litbang kompas, bahwa alasan mereka enggan untuk pindah ke rusun karena terlalu kuatnya sosiopsikologis mereka. Dalam arti ikatan-ikatan akan tempat yang sudah mereka tinggali dari dulu, interaksi dengan sesama tetangga, akan berdampak pada individualistik,  pun begitu dengan ‘ladang’ penghasilan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Ketika mereka harus pindah tempat tinggal, maka mereka harus beradaptasi ‘dari awal’ kembali dengan tempat tinggal barunya di rusun.

Maka solusi kuratif  yang yang ditawarkan dari litbang kompas dan dirasa efektif menurut penulis untuk menyelesaikan permasalahan kota kumuh adalah dengan membuat rusun yang tidak jauh dengan tempat tinggal mereka sebelumnya. Dengan demikian segi sosiopsikologis keterikatan dengan tempat tinggal yang lama masih terasa, selain itu pula pemindahan ketempat yang baru pun harus dilakukan perkelompok, dalam arti warga yang satu kelompok tidak akan perlu beradaptasi lagi karena ikatan-ikatan interaksi yang kuat sudah ada sejak dahulu, dan akses pada pekerjaan pun tidak akan terlalu sulit (kebanyakan pada sektor informal, pedagang kaki lima, penjual asongan dan lain-lain).

Dengan demikian conclusion dari tulisan ini adalah perlunya sebuah kebijakan alternatif atau kebijakan yang inklusif untuk menyelesaikan permasalahan Kota Kumuh (Pemukiman Kumuh di Ibu Kota), yaitu kebijakan yang berangkat atau memperhatikan masyarakat yang akan mendapatkan dampak dari suatu kebijakan tersebut.[]

Sumber: Koran Wartapriangan, 11 April 2016