BAB I
PENGANTAR
Masalah sosial (Rahman, 2011: 67) merupakan suatu keadaan
yang dianggap oleh anggota masyarakat yang berpengaruh sebagai sesuatu yang
tidak diinginkan, tidak dapat ditolerir, atau sebagai ancaman terhadap
nilai-nilai dasar masyarakat dan memerlukan tindakan kelompok dalam
penyelesaiannya.
Perkotaan atau kota (lihat id.Wikipedia.org ) merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik
ditunjukan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan
memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.
Menurut UU No. 22 tahun 1999 (UU NO 22 TH 1999) tentang
Otonomi Daerah, kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pelayanan jasa
pemerintah, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) adalah (lihat
id. Wikipedia. Org) organisasi lingkungan hidup independen, non-profit dan
terbesar di Indonesia. Walhi didirikan sebagai reaksi dan keprihatinan atas
ketidak adilan dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber-sumber kehidupan,
sebagai akibat dari paradigma dan proses pembangunan yang tidak memihak
keberlanjutan dan keadilan.
Fenomena perkotaan dewasa ini bisa kita lihat
dan rasakan sendiri. Satu sisi bangunan pencakar langit begitu menjulang tinggi
yang jumlahnya begitu banyak dan mungkin salah satu bukti begitu pesatnya aspek
pembangunan bangsa. Sisi lain, kondisi masyarakat sekitarnya begitu
memprihatinkan, bangunan tempat tinggalnya jauh dari standar layak,
kehidupannya pun begitu mengironiskan. Masyarakat sekitar yang tidak merasakan bagaimana
indahnya hidup dari karya bisnis properti seperti Hotel, Apartemen, Mall,
Factory dan lain sebagainya hanya bisa merasakan dampak negatifnya saja. Selain
sebagai bukti kesenjangan sosial, dalam aspek dampak lingkungan pun seperti
kebutuhan air bersih masyarakat sekitar di tangguhkan. Meskipun Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa (Prasetyantoko dkk., 2012: 261) telah
mendeklarasikan akses terhadap air bersih dan sanitasi sebagai hak asasi
manusia. Walaupun demikian berbicara realita tetap saja terjadi kesenjangan
antara konsep dan realitas.
Pembangunan yang dilakukan memang bermanfaat, tapi hanya
untuk segelintir orang saja (kapitalis), dengan bisnis properti seperti
pembangunan Mall, Apartemen, Hotel dan lain sebagainya akan menjadi suatu
investasi yang akan menghasilkan prifit besar. Dampak dari pembangunan tersebut
terjadi pada lingkungan yang terpakai sebagai lahan pembangunan tersebut. Aspek
Wahana Lingkungan Hidup (Wahli) kurang terlalu dirisaukan, dan tentunya karena
faktor tersebut masyarakat sekitarlah yang akan mendapatkan dampaknya, juga
masyarakat luas secara umum. Lingkungan bersih, udara sehat, mungkin saja tidak
akan pernah dirasakan lagi, karena sudah tergerusnya oleh
pembangunan-pembangunan yang tidak memperhatikan aspek Lingkungan
Hidupnya.
BAB II
DESKRIPSI KASUS
Kasus yang terjadi di Kota Bandung ini merupakan
suatu kasus pembangunan sarana komersial seperti hotel, apartemen, kondominium,
perumahan mewah, pusat perbelanjaan, restoran, serta sarana komersial lainnya. Beberapa
wilayah yang pembangunan bisnis propertinya pesat, diantaranya kawasan Lapangan
Gasibu, Lapangan Jalan Lodaya, Pasirjaya Regol, Rancabentang, Ciumbuleuit, dan
Kawasan Bandung Utara (KBU).
Belajar dari pengalaman, kebijakan pembangunan
sarana bisnis komersial tersebut menyimpan sejumlah permasalahan. Permasalahan
itu diantaranya praktik alih fungsi kawasan lindung dan resapan air,
penggusuran, konflik sosial warga, bahkan berujung kriminalisasi oleh Pemkot
Bandung, dan para pengembang. Selain itu dari aspek ekologi akan terjadinya bencana
ekologis Kota Bandung yang akan semakin nyata. Karena, daya dukung dan daya tampung
lingkungan semakin jarang. Dari berbagai pembangunan itu akan berdampak pula pada
meluasnya ancaman konflik sosial, penggusuran warga, hingga banjir di Kota
Bandung. Kehadiran sarana komersil pun turut menjadi penyebab kemacetan, dan
menambah beban polusi udara serta emisi karbon, dan suhu udara akan semakin
panas.
Dan yang sangat ironis, pembangunan yang
terjadi seperti itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan
warga Kota Bandung. Sehingga pada perkembangannya Walhi desak moratorium atau
penangguhan pembangunan properti di kota Bandung. Karena, Walhi memandang,
kebijakan tata ruang wilayah ke depan jangan mementingkan pengembangan bisnis
properti yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha (kapitalis) dan makelar.
Tetapi, kebijakan juga harus mementingkan kepentingan perlindungan ruang hidup ekologis
dan kepentingan publik dan mampu memenuhi minimal 30 persen ruang terbuka hijau
dari luas wilayah Kota Bandung.
Walhi mendesak Pemkot Bandung (Wali Kota Bandung
periode 2013-2018 Ridwan Kamil), membuka akses informasi terkait kebijakan
Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Sehingga pada akhirnya solusi yang
tepat bisa ditemukan dan langsung bisa diterapkan terhadap masyarakat, agar
terciptanya kota Bandung yang maju dengan pembangunan dan tidak lupa akan
memperhatikan aspek lingkungan hidupnya.
BAB III
ANALISIS
Sering orang mengartikan kemajuan sebuah
daerah dilihat dari banyaknya pembangunan yang dilakukan, banyaknya
gedung-gedung pencakar langit, banyaknya apartemen-apartemen megah yang
didirikan. Memang secara kasat mata hal tersebut bisa di benarkan. Akan tetapi
bagaimana dengan aspek lingkungan hidupnya? Percuma saja jika aspek pembangunan
yang bernuansa megah tersebut tidak dibarengi dengan manusia yang healthy.
Pembangunan yang terjadi di kota Bandung
merupakan suatu potret pembangunan yang jika dibiarkan terus menerus akan
terciptanya kota yang tidak ramah lingkungan. Bangunan-bangunan yang tinggi
menjulang tidak dibarengi dengan lingkungan alam yang asri sarat akan udara
segar yang bisa dihirup oleh manusia yang berakibat pada kualitas Sumber Daya
Manusianya.
Pembangunan tersebut memang menjadi lahan
meraup profit yang besar, bagi kalangan pengusaha (kapitalis), akan tetapi
bagaimana dengan kesejahteraan masyarakat sekitarnya maupun masyarakat kota
Bandung secara kesuluruhan, ternyata begitu ironis. Pembangunan tidak
berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan warga kota Bandung. Karena
berdasarkan teori bahwa sejahtera ( Soeharto, 2010: 3) adalah suatu keadaan
dimana terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat
mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan
kesehatan. Misalnya bahwa tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan sosial masyarakat. Akan tetapi bagaimana jika melihat realita
yang ada? Apakah das Sollen sesuai dengan das sein pernyataan
sesuai dengan kenyataan? Ternyata sangat berbeda.
Pemkot Bandung adalah pemberi kebijakan
terhadap pembangunan tersebut. Kebijakan (Soeharto, 2011: 3) merupakan
keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur
pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi
kepentingan masyarakat luas, yakni rakyat, penduduk, masyarakat atau warga negara.
Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi
antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang
mewakili sistem politik suatu negara. Mencermati pernyataan tersebut, disitu
terdapat kata demi kepentingan masyarakat luas, bahwa sekali lagi kebijakan
yang diberikan haruslah demi kepentingan masyarakat luas, tidak untuk para
pengusaha (kapitalis) semata.
Pemkot bandung harus benar-benar selektif
dalam memberi kebijakan, haruslah pandai dalam filterisasi kebijakan. Penulis
percaya bahwa ada tindak lanjut yang nyata dari pemkot Bandung, Ridwan Kamil.
Karena beliau pun memang pakar tata letak kota, tentunya disana Ridwan Kamil akan
meninjau kembali dari setiap kebijakannya, tanpa menyampingkan aspek pembangunan
yang ramah lingkungan dan tentunya demi kesejahteraan masyarakat luas.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Pembangunan di Kota Bandung merupakan salah
satu potret pembangunan di Indonesia secara umum. Pembangunan yang
keseringannya hanya melihat secara kasat mata, bahwa dengan berdirinya
bangunan-bangunan yang megah merupakan ciri sebuah kota yang maju, tanpa memperhatikan
aspek wahana lingkungan hidupnya. Sehingga dampak yang besar pun akan terjadi,
seperti aspek lingkungan nya saja bisa berakibat banjir jika tibanya musim
hujan. Aspek lainnya memang pembangunan tersebut tidak berbanding lurus dengan
kesejahteraan warga kota Bandungnya sendiri, hanya elit-elit tertentu saja yang
meraup keuntungan.
Pentingnya pemberi kebijakan meninjau ulang
dan menganalisis secara matang terhadap kebijakan yang akan diberikan, sehingga
pada akhirnya kebijakan yang sebenarnya adalah demi kesejahteraan masyarakat
secara luas.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Taufiq, 2011, Glosari Teori Sosial, Bandung: Ibnu Sina Press
Soeharto, Edi, 2010, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung:
refika ADITAMA
Soeharto, Edi, 2011, Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta
Prasetyantoko, dkk., 2012, Pembangunan Inklusif, Jakarta: LP3ES
http://id.Wikipedia.org, diakses pada hari senin, 3 Juni 2013, pukul 13.23
WIB.
http://daerah.sindonews.com/read/2013/07/27/21/766035/walhi-desak-moratorium-pembangunan-properti-di-bandung
(diakses tanggal 8 Oktober 2013)
UU NO 22 TH
1999
Kawasan Pemukiman dan Pembangunan Perkotaan (Fokus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)
Nama : Agus Mauluddin
No Induk : 1211105008
Kelas : Pembangunan A
Mata Kuliah : Sosiologi Pembangunan
0 komentar:
Posting Komentar