Senin, 26 Mei 2014

Pembangunan




BAB I
PENGANTAR
                                                             
Masalah sosial (Rahman, 2011: 67) merupakan suatu keadaan yang dianggap oleh anggota masyarakat yang berpengaruh sebagai sesuatu yang tidak diinginkan, tidak dapat ditolerir, atau sebagai ancaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat dan memerlukan tindakan kelompok dalam penyelesaiannya.
Perkotaan atau kota (lihat id.Wikipedia.org ) merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.
Menurut UU No. 22 tahun 1999 (UU NO 22 TH 1999) tentang Otonomi Daerah, kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) adalah (lihat id. Wikipedia. Org) organisasi lingkungan hidup independen, non-profit dan terbesar di Indonesia. Walhi didirikan sebagai reaksi dan keprihatinan atas ketidak adilan dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber-sumber kehidupan, sebagai akibat dari paradigma dan proses pembangunan yang tidak memihak keberlanjutan dan keadilan.
Fenomena perkotaan dewasa ini bisa kita lihat dan rasakan sendiri. Satu sisi bangunan pencakar langit begitu menjulang tinggi yang jumlahnya begitu banyak dan mungkin salah satu bukti begitu pesatnya aspek pembangunan bangsa. Sisi lain, kondisi masyarakat sekitarnya begitu memprihatinkan, bangunan tempat tinggalnya jauh dari standar layak, kehidupannya pun begitu mengironiskan. Masyarakat sekitar yang tidak merasakan bagaimana indahnya hidup dari karya bisnis properti seperti Hotel, Apartemen, Mall, Factory dan lain sebagainya hanya bisa merasakan dampak negatifnya saja. Selain sebagai bukti kesenjangan sosial, dalam aspek dampak lingkungan pun seperti kebutuhan air bersih masyarakat sekitar di tangguhkan. Meskipun Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (Prasetyantoko dkk., 2012: 261) telah mendeklarasikan akses terhadap air bersih dan sanitasi sebagai hak asasi manusia. Walaupun demikian berbicara realita tetap saja terjadi kesenjangan antara konsep dan realitas.
Pembangunan yang dilakukan memang bermanfaat, tapi hanya untuk segelintir orang saja (kapitalis), dengan bisnis properti seperti pembangunan Mall, Apartemen, Hotel dan lain sebagainya akan menjadi suatu investasi yang akan menghasilkan prifit besar. Dampak dari pembangunan tersebut terjadi pada lingkungan yang terpakai sebagai lahan pembangunan tersebut. Aspek Wahana Lingkungan Hidup (Wahli) kurang terlalu dirisaukan, dan tentunya karena faktor tersebut masyarakat sekitarlah yang akan mendapatkan dampaknya, juga masyarakat luas secara umum. Lingkungan bersih, udara sehat, mungkin saja tidak akan pernah dirasakan lagi, karena sudah tergerusnya oleh pembangunan-pembangunan yang tidak memperhatikan aspek Lingkungan Hidupnya.



BAB II
DESKRIPSI KASUS

Kasus yang terjadi di Kota Bandung ini merupakan suatu kasus pembangunan sarana komersial seperti hotel, apartemen, kondominium, perumahan mewah, pusat perbelanjaan, restoran, serta sarana komersial lainnya. Beberapa wilayah yang pembangunan bisnis propertinya pesat, diantaranya kawasan Lapangan Gasibu, Lapangan Jalan Lodaya, Pasirjaya Regol, Rancabentang, Ciumbuleuit, dan Kawasan Bandung Utara (KBU).
Belajar dari pengalaman, kebijakan pembangunan sarana bisnis komersial tersebut menyimpan sejumlah permasalahan. Permasalahan itu diantaranya praktik alih fungsi kawasan lindung dan resapan air, penggusuran, konflik sosial warga, bahkan berujung kriminalisasi oleh Pemkot Bandung, dan para pengembang. Selain itu dari aspek ekologi akan terjadinya bencana ekologis Kota Bandung yang akan semakin nyata. Karena, daya dukung dan daya tampung lingkungan semakin jarang. Dari berbagai pembangunan itu akan berdampak pula pada meluasnya ancaman konflik sosial, penggusuran warga, hingga banjir di Kota Bandung. Kehadiran sarana komersil pun turut menjadi penyebab kemacetan, dan menambah beban polusi udara serta emisi karbon, dan suhu udara akan semakin panas.
Dan yang sangat ironis, pembangunan yang terjadi seperti itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan warga Kota Bandung. Sehingga pada perkembangannya Walhi desak moratorium atau penangguhan pembangunan properti di kota Bandung. Karena, Walhi memandang, kebijakan tata ruang wilayah ke depan jangan mementingkan pengembangan bisnis properti yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha (kapitalis) dan makelar. Tetapi, kebijakan juga harus mementingkan kepentingan perlindungan ruang hidup ekologis dan kepentingan publik dan mampu memenuhi minimal 30 persen ruang terbuka hijau dari luas wilayah Kota Bandung.
Walhi mendesak Pemkot Bandung (Wali Kota Bandung periode 2013-2018 Ridwan Kamil), membuka akses informasi terkait kebijakan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Sehingga pada akhirnya solusi yang tepat bisa ditemukan dan langsung bisa diterapkan terhadap masyarakat, agar terciptanya kota Bandung yang maju dengan pembangunan dan tidak lupa akan memperhatikan aspek lingkungan hidupnya.


BAB III
ANALISIS
Sering orang mengartikan kemajuan sebuah daerah dilihat dari banyaknya pembangunan yang dilakukan, banyaknya gedung-gedung pencakar langit, banyaknya apartemen-apartemen megah yang didirikan. Memang secara kasat mata hal tersebut bisa di benarkan. Akan tetapi bagaimana dengan aspek lingkungan hidupnya? Percuma saja jika aspek pembangunan yang bernuansa megah tersebut tidak dibarengi dengan manusia yang healthy.
Pembangunan yang terjadi di kota Bandung merupakan suatu potret pembangunan yang jika dibiarkan terus menerus akan terciptanya kota yang tidak ramah lingkungan. Bangunan-bangunan yang tinggi menjulang tidak dibarengi dengan lingkungan alam yang asri sarat akan udara segar yang bisa dihirup oleh manusia yang berakibat pada kualitas Sumber Daya Manusianya.
Pembangunan tersebut memang menjadi lahan meraup profit yang besar, bagi kalangan pengusaha (kapitalis), akan tetapi bagaimana dengan kesejahteraan masyarakat sekitarnya maupun masyarakat kota Bandung secara kesuluruhan, ternyata begitu ironis. Pembangunan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan warga kota Bandung. Karena berdasarkan teori bahwa sejahtera ( Soeharto, 2010: 3) adalah suatu keadaan dimana terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Misalnya bahwa tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat. Akan tetapi bagaimana jika melihat realita yang ada? Apakah das Sollen sesuai dengan das sein pernyataan sesuai dengan kenyataan? Ternyata sangat berbeda.  
Pemkot Bandung adalah pemberi kebijakan terhadap pembangunan tersebut. Kebijakan (Soeharto, 2011: 3) merupakan keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi kepentingan masyarakat luas, yakni rakyat, penduduk, masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara. Mencermati pernyataan tersebut, disitu terdapat kata demi kepentingan masyarakat luas, bahwa sekali lagi kebijakan yang diberikan haruslah demi kepentingan masyarakat luas, tidak untuk para pengusaha (kapitalis) semata.
Pemkot bandung harus benar-benar selektif dalam memberi kebijakan, haruslah pandai dalam filterisasi kebijakan. Penulis percaya bahwa ada tindak lanjut yang nyata dari pemkot Bandung, Ridwan Kamil. Karena beliau pun memang pakar tata letak kota, tentunya disana Ridwan Kamil akan meninjau kembali dari setiap kebijakannya, tanpa menyampingkan aspek pembangunan yang ramah lingkungan dan tentunya demi kesejahteraan masyarakat luas.



BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Pembangunan di Kota Bandung merupakan salah satu potret pembangunan di Indonesia secara umum. Pembangunan yang keseringannya hanya melihat secara kasat mata, bahwa dengan berdirinya bangunan-bangunan yang megah merupakan ciri sebuah kota yang maju, tanpa memperhatikan aspek wahana lingkungan hidupnya. Sehingga dampak yang besar pun akan terjadi, seperti aspek lingkungan nya saja bisa berakibat banjir jika tibanya musim hujan. Aspek lainnya memang pembangunan tersebut tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan warga kota Bandungnya sendiri, hanya elit-elit tertentu saja yang meraup keuntungan.
Pentingnya pemberi kebijakan meninjau ulang dan menganalisis secara matang terhadap kebijakan yang akan diberikan, sehingga pada akhirnya kebijakan yang sebenarnya adalah demi kesejahteraan masyarakat secara luas.



DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Taufiq, 2011, Glosari Teori Sosial, Bandung: Ibnu Sina Press
Soeharto, Edi, 2010, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung: refika ADITAMA
Soeharto, Edi, 2011, Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta
Prasetyantoko, dkk., 2012, Pembangunan Inklusif, Jakarta: LP3ES

http://id.Wikipedia.org, diakses pada hari senin, 3 Juni 2013, pukul 13.23 WIB.
http://daerah.sindonews.com/read/2013/07/27/21/766035/walhi-desak-moratorium-pembangunan-properti-di-bandung (diakses tanggal 8 Oktober 2013)
UU NO 22 TH 1999



Kawasan Pemukiman dan Pembangunan Perkotaan (Fokus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)

Nama             : Agus Mauluddin
No Induk        : 1211105008
Kelas              : Pembangunan A
Mata Kuliah  : Sosiologi Pembangunan

0 komentar:

Posting Komentar