Sering kita mendengar istilah gender, dalam
dunia akademik misalnya, maupun dalam topik obrolan-obrolan santai. Gender
menjadi sebuah topik yang debatable dan seakan-akan menjadi suatu yang “tak
lekang dimakan zaman” untuk diperbincangkan. Gender secara umum dapat diartikan
sebagai sifat yang melekat pada diri laki-laki maupun perempuan secara konstruk
sosial budaya.
Dalam buku karya Prof. Dr. Nasaruddin Umar,
MA., dijelaskan ada 2 teori besar tentang gender ini. pertama, Teori nature
yakni teori yang menyebutkan bahwa adanya pembedaan antara derajat
laki-laki dan perempuan karena memang secara alamiah. Bisa dilihat secara
alamiah, biologis, bahwa gerak perempuan seakan-akan terbatasi oleh hal yang
bersifat biologis, semisal mengandung, melahirkan, menyusui. Hal tersebut
seakan-akan menjadi suatu penghambat bagi gerak seorang perempuan dan hal
seperti itu tidak terjadi pada laki-laki. Secara esensial bahwa lak-laki memang
lebih superior dari pada perempuan. Apalagi jika dilihat secara historis, pada
zaman peperangan kala itu peran laki-laki menjadi sangat penting, karena memang
dalam peperangan diperlukannya “kekuatan” tanpa ada banyak yang membatasi dan
perempuan itu terbatasi oleh hal-hal yang bersifat biologis tadi. Kedua, teori
nurture yakni adanya penyebutan derajat laki-laki lebih tinggi
dibandingkan derajat perempuan itu hanya karena konstruk masyarakat, atau
bentukan sosial.
Berbicara Politik, erat kaitannya dengan
kekuasaan, kekuasaan pun tentunya tidak terlepas dari superioritas laki-laki.
Laki-laki seakan-akan selalu menjadi sesuatu yang memiliki kesempatan dalam
berbagai lini, begitu pula dalam hal kekuasaan atau politik dan berbeda halnya
dengan perempuan, perempuan seakan-akan tidak banyak memiliki kesempatan andil
di dunia politik. Peraturan manusia bisa saja berubah dan bersifat dinamis,
begitu pula dengan peran seorang perempuan dalam kancah perpolitikan di era
dewasa ini.
Secara umum kuota bagi perempuan di ranah
perpolitikan yakni berkisar 30 %. Memang kuota yang dimiliki perempuan lebih
sedikit dari pada laki-laki. Alasannya sering orang menyebutkan bahwa perempuan
mempunyai sifat yang berkecenderungan mengutamakan emosional daripada rasional.
Hal tersebut berpengaruh terhadap karir politik perempuan, karena berbicara politik
berbicara pula kebijakan. Perempuan dirasa dalam memberikan arah kebijakannya
lebih mengutamakan emosionalnya. Walaupun memang senyatanya tidak seperti itu
pula. Terbukti laki-laki pun tidak sedikit dalam memberikan kebijakannya
cenderung mengedepankan emosional, misalnya: Tidak tegas dalam mengambil
kebijakan dan lain sebagainya.
Perpolitikan di Kabupaten Ciamis beberapa
waktu kebelakang sedang booming-nya dengan pesta rakyat 5 tahunan yakni
pemilihan kepala daerah, atau pemilihan Bupati Kabupaten Ciamis. Terdiri dari 4
calon pasangan, yang memang didominasi oleh laki-laki. Akan tetapi ada seorang
perempuan yang berani tampil, walaupun memang hanya sebagai wakil bupati, akan
tetapi hal tersebut merupakan suatu simbol bahwa perempuan pun exsist dalam
ranah perpolitikan, khususnya pada pencalonan kepala daerah di kabupaten
Ciamis.
Jika dilihat secara universal kiprah perempuan
dalam dunia politik, bisa dibilang sudah mengalami peningkatan. Dibuktikan
berdasarkan informasi kandidat DPR-RI dapil Ciamis dari setiap partai politik
sedikit banyak terdapat perempuan yang ikut andil dalam partai politik
tersebut. Perempuan pun sebenarnya tidak boleh dipandang sebelah mata, tidak
sedikit perempuan yang lulus gelar akademisnya hingga Profesor dan berani pula
mencalonkan diri dalam perpolitikan.
Begitu pula jika mencermati pemilihan Gubernur
Jawa Timur, muncul sosok perempuan yang begitu berani mencalonkan diri sebagai
calon gubernur Jawa Timur. Walaupun tidak berhasil menjadi Gubernur, akan
tetapi suara yang didapat merupakan perolehan kedua terbesar. Dan esensinya
perlu diapresiasi kegigihan Khofifah untuk melaju dalam pemilu kepala daerah
Jawa Timur.
Jika dilihat kasus yang lainnya pun, seperti
pada pemilihan Wali Kota Banjar, Hj. Ade Uu sukses menjadi walikota Banjar, Jawa
Barat. Walaupun stigma masyarakat, bahwa perempuan harus atau hanya berkutat
pada ranah domestik saja. Berpendidkan tinggi tidak diharuskan karena perempuan
akan kembali ke ranah domestik lagi. Akan tetapi realitasnya tidak seperti itu,
seperti sudah di paparkan diatas bahwa perempuanpun exsist pada ranah
publik, politik. Seperti kasus diatas, terutama dengan majunya seorang
Perempuan dalam pemilu kepala daerah kabupaten Ciamis.
By: Agus Mauluddin_Gender dan Representasi Politik_Peran Perempuan Dalam Pencalonan Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Ciamis (Periode 2014-2019)
By: Agus Mauluddin_Gender dan Representasi Politik_Peran Perempuan Dalam Pencalonan Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Ciamis (Periode 2014-2019)
0 komentar:
Posting Komentar