Sabtu, 12 April 2014

Gender dan Representasi Politik


            Sering kita mendengar istilah gender, dalam dunia akademik misalnya, maupun dalam topik obrolan-obrolan santai. Gender menjadi sebuah topik yang debatable dan seakan-akan menjadi suatu yang “tak lekang dimakan zaman” untuk diperbincangkan. Gender secara umum dapat diartikan sebagai sifat yang melekat pada diri laki-laki maupun perempuan secara konstruk sosial budaya.
Dalam buku karya Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA., dijelaskan ada 2 teori besar tentang gender ini. pertama, Teori nature yakni teori yang menyebutkan bahwa adanya pembedaan antara derajat laki-laki dan perempuan karena memang secara alamiah. Bisa dilihat secara alamiah, biologis, bahwa gerak perempuan seakan-akan terbatasi oleh hal yang bersifat biologis, semisal mengandung, melahirkan, menyusui. Hal tersebut seakan-akan menjadi suatu penghambat bagi gerak seorang perempuan dan hal seperti itu tidak terjadi pada laki-laki. Secara esensial bahwa lak-laki memang lebih superior dari pada perempuan. Apalagi jika dilihat secara historis, pada zaman peperangan kala itu peran laki-laki menjadi sangat penting, karena memang dalam peperangan diperlukannya “kekuatan” tanpa ada banyak yang membatasi dan perempuan itu terbatasi oleh hal-hal yang bersifat biologis tadi. Kedua, teori nurture yakni adanya penyebutan derajat laki-laki lebih tinggi dibandingkan derajat perempuan itu hanya karena konstruk masyarakat, atau bentukan sosial.
Berbicara Politik, erat kaitannya dengan kekuasaan, kekuasaan pun tentunya tidak terlepas dari superioritas laki-laki. Laki-laki seakan-akan selalu menjadi sesuatu yang memiliki kesempatan dalam berbagai lini, begitu pula dalam hal kekuasaan atau politik dan berbeda halnya dengan perempuan, perempuan seakan-akan tidak banyak memiliki kesempatan andil di dunia politik. Peraturan manusia bisa saja berubah dan bersifat dinamis, begitu pula dengan peran seorang perempuan dalam kancah perpolitikan di era dewasa ini.
Secara umum kuota bagi perempuan di ranah perpolitikan yakni berkisar 30 %. Memang kuota yang dimiliki perempuan lebih sedikit dari pada laki-laki. Alasannya sering orang menyebutkan bahwa perempuan mempunyai sifat yang berkecenderungan mengutamakan emosional daripada rasional. Hal tersebut berpengaruh terhadap karir politik perempuan, karena berbicara politik berbicara pula kebijakan. Perempuan dirasa dalam memberikan arah kebijakannya lebih mengutamakan emosionalnya. Walaupun memang senyatanya tidak seperti itu pula. Terbukti laki-laki pun tidak sedikit dalam memberikan kebijakannya cenderung mengedepankan emosional, misalnya: Tidak tegas dalam mengambil kebijakan dan lain sebagainya.
Perpolitikan di Kabupaten Ciamis beberapa waktu kebelakang sedang booming-nya dengan pesta rakyat 5 tahunan yakni pemilihan kepala daerah, atau pemilihan Bupati Kabupaten Ciamis. Terdiri dari 4 calon pasangan, yang memang didominasi oleh laki-laki. Akan tetapi ada seorang perempuan yang berani tampil, walaupun memang hanya sebagai wakil bupati, akan tetapi hal tersebut merupakan suatu simbol bahwa perempuan pun exsist dalam ranah perpolitikan, khususnya pada pencalonan kepala daerah di kabupaten Ciamis.
Jika dilihat secara universal kiprah perempuan dalam dunia politik, bisa dibilang sudah mengalami peningkatan. Dibuktikan berdasarkan informasi kandidat DPR-RI dapil Ciamis dari setiap partai politik sedikit banyak terdapat perempuan yang ikut andil dalam partai politik tersebut. Perempuan pun sebenarnya tidak boleh dipandang sebelah mata, tidak sedikit perempuan yang lulus gelar akademisnya hingga Profesor dan berani pula mencalonkan diri dalam perpolitikan.
Begitu pula jika mencermati pemilihan Gubernur Jawa Timur, muncul sosok perempuan yang begitu berani mencalonkan diri sebagai calon gubernur Jawa Timur. Walaupun tidak berhasil menjadi Gubernur, akan tetapi suara yang didapat merupakan perolehan kedua terbesar. Dan esensinya perlu diapresiasi kegigihan Khofifah untuk melaju dalam pemilu kepala daerah Jawa Timur.

Jika dilihat kasus yang lainnya pun, seperti pada pemilihan Wali Kota Banjar, Hj. Ade Uu sukses menjadi walikota Banjar, Jawa Barat. Walaupun stigma masyarakat, bahwa perempuan harus atau hanya berkutat pada ranah domestik saja. Berpendidkan tinggi tidak diharuskan karena perempuan akan kembali ke ranah domestik lagi. Akan tetapi realitasnya tidak seperti itu, seperti sudah di paparkan diatas bahwa perempuanpun exsist pada ranah publik, politik. Seperti kasus diatas, terutama dengan majunya seorang Perempuan dalam pemilu kepala daerah kabupaten Ciamis.

By: Agus Mauluddin_Gender dan Representasi Politik_Peran Perempuan Dalam Pencalonan Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Ciamis (Periode 2014-2019)

0 komentar:

Posting Komentar