Sabtu, 23 Juli 2016

Problematika BUMDes

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) kurang diminati. Itu sebuah istilah yang menunjukkan pada problematika BUMDes saat ini. Kenapa kurang diminati, apakah karena rumitnya regulasi? Atau karena minimnya sosialisasi? Atau pula karena faktor “kemalasan” dalam mengorganisasi?

Beberapa pertanyaan yang menggambarkan problematika BUMDes saat ini perlu menjadi perhatian yang serius. Pasalnya, keberadaan BUMDes ini memiliki nilai manfaat yang tidak bisa disepelekan. Dengan adanya BUMDes perekonomian masyarakat terangkat dan kesejahteraan masyarakat meningkat.

Sayangnya, dari sekian banyak desa di Indonesia yaitu berkisar 74.000 desa, hanya sekitar 12.000 desa saja yang memiliki BUMDes. Jumlah BUMDes yang berkisar 12.000 di tahun 2016 ini termasuk mengalami peningkatan, dari yang semula hanya 1.000-an saja di tahun 2014. Selanjutnya, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menargetkan akan membentuk 15.000 BUMDes di tahun 2016 ini.

Praktiknya BUMDes ini dapat termanifestasi dalam beragam bentuk. Keberagaman bentuk BUMDes tidak terlepas dari karakteristik perdesaannya itu sendiri. Artinya, pembentukan jenis BUMDes dapat disesuaikan dengan potensi desa yang dapat dikembangkan oleh masing-masing desa. Desa Pertanian misalnya -memiliki potensi yang dapat dikembangkan di biang pertanian- bisa membentuk BUMDes berupa Badan Usaha yang mengelola lumbung padi dan komoditas lain, penyedia benih dan pupuk, sarana pengering gabah, dan sarana pengolahan hasil panen, serta kios pemasaran hasil panen (beras dan komoditas lain).

Di Desa Nelayan, BUMDes dapat berupa Badan Usaha penyedia peralatan melaut semisal perahu, alat tangkap ikan, sarana pengeringan ikan, gudang penyimpanan ikan, hingga TPI (Tempat Pelelangan Ikan).

Bagi karakteristik desa tertentu, misalnya membentuk Pasar Rakyat (Desa) yang dikelola oleh pemerintahan desa bisa menjadi pilihan. Terlebih Pasar Desa ini termasuk pada program Kemendes PDTT yang akan direalisasikan di tahun 2016 ini, yaitu program membangun 200 Pasar Desa. Pasar Desa ini bisa dijalankan oleh BUMDes untuk memasarkan produk yang dihasilkan masyarakat desa, sehingga pemerintah desa akan memiliki sumber pendapatan.

Sumber Gambar: jetis.ponorogo.go.id


Mengurai Permasalahan
Jika kembali pada pertanyaan awal mengapa BUMDes kurang diminati, apakah karena tidak ada sosialisasi?
Penulis melihat, sebenarnya sosialisasi dari Kemendes PDTT sudah ada, namun belum masif. Maka dari itu perlunya peran pemerintah daerah (kabupaten) dalam melakukan sosialisasi BUMDes ini. Pemerintah daerah harus ikut andil dalam melakukan sosialisasi ke tingkat terkecil pemerintahan yaitu tingkat Desa. Pemerintah daerah mengadakan sosialisasi kepada seluruh kepala desa di daerahnya. Misalnya pemerintah daerah mengundang setiap kepala desa dari setiap desa yang berada di kabupatennya untuk kegiatan sosialisasi BUMDes, yang bertempat di Aula Pemerintahan Daerah (Pendopo). Sosialisasi ini bukan hanya sebatas kegiatan seremonial semata, tapi tanggung jawab dan komitmen penuh antara pemerintah daerah dan desa untuk menerapkan BUMDes secara nyata di setiap desa.

Walaupun demikian penulis tidak memungkiri dalam memperkuat peran pemda ini yaitu berupa sosialisasi ditingkat daerah, semata karena belum menjadi fokus utama pemerintah daerah, karena pemda masih memfokuskan diri dengan pengelolaan Dana Desa. Namun, ke depan penulis berharap pemda mulai memfokuskan diri pada BUMDes ini. Mengingat kehadiran BUMDes dapat mengangkat perekonomian masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa setempat dan mengurangi pengangguran serta mengentaskan kemiskinan.

Jika kasusnya BUMDes ini kurang diminati karena faktor ‘kemalasan’ dalam pengorganisasian, menurut hemat penulis, pihak desa harus melibatkan berbagai elemen yang ada di dalam masyarakat desa. Semisal memberdayakan karang taruna tiap dusun/kampung. Kenapa karang taruna? Karena karang taruna merupakan elemen di dalam masyarakat yang ‘didominasi’ oleh anak muda, yang notabene anak muda ini memiliki “semangat juang” tinggi, kreativitas “tanpa batas”, dan inovasi  yang bervariasi, serta memiliki visi berdaya saing tinggi. Asalkan karang taruna ini benar-benar dirangkul oleh pemerintah desa. Anak muda jika diperhatikan dan potensinya mampu diberdayakan maka akan sangat bermanfaat untuk desa setempat.

Jika permasalahannya pada regulasi yang berbelit, sebenarnya regulasi BUMDes ini sudah termaktub dalam Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2015 yang dipertegas dengan pernyataan Kemendes PDTT, bahwa pembentukan BUMDes ini mudah karena sepenuhnya diserahkan kepada kewenangan desa masing-masing (musyawarah BPD, kepala desa dan unsur masyarakat desa). Artinya, permasalahan regulasi berbelit ini tidak benar adanya, karena pembentukan BUMdes ini tidaklah sulit karena diserahkan “sepenuhnya” kepada pemerintahan desa.

Masih terkati regulasi, jika suatu desa belum mampu membentuk BUMDes secara mandiri -masih diatur dalam Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2015-, desa dapat bekerjasama dengan desa lain untuk membentuk BUMDes. Artinya, satu BUMdes dimiliki dua desa atau lebih.

Selain itu BUMdes ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Pusat, terutama dalam kerangka kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. Sebab masih dalam UU Desa disebutkan bahwa hasil dari BUMdes ini diperuntukan guna pengembangan usaha masyarkat desa, pemberdayaan masyarakat desa, pembangunan desa,  dan pemberian bantuan untuk masyarkat miskin berupa hibah bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).

Tidak kalah pentingnya, BUMdes ini menjadi perhatian Pemerintah Pusat sebab menjadi visi dan jargon yang selalu digembor-gemborkan pemerintah saat ini yakni ‘Membangun Indonesia dari Desa’. Semoga BUMDes dapat terealisasi di setiap desa di Negeri tercinta kita Indonesia.[] (gusma)

Sumber: Koran Kabar Priangan. Rabu, 20 Juli 2016.

Plus Minus Urban Primacy

Memang ibarat dua sisi mata uang, urban primacy ini memiliki kelebihan dan begitu pula kekurangan. Di satu sisi diperlukan karena sebagai simbol yang merepresentasikan pertumbuhan suatu negara. Di sisi lain, urban primacy akan berdampak krusial bagi dirinya sendiri, karena jika tidak ditangani secara tepat bukan menjadi diperlukan namun akan memunculkan permasalahan-permasalahan di perkotaan. Permasalahan kota yang dimaksud seperti slum area (permukiman kumuh), urban squatter (penghuni liar) dan urban poverty (kemiskinan kota).

Berbicara urban primacy maka akan menemukan sebuah istilah yang disebut dengan primate city. Karena urban primacy sarat akan primate city, kota utama yang tumbuh dominan dari kota-kota lainnya. Kaitannya dalam hal ini semisal Manila dengan Cebu, Bangkok dan Chiangmai, Jakarta dan Surabaya dan lain sebagainya.

Jakarta sebagai urban primacy dan Surabaya sebagai secondary city memiliki pembangunan dan pertumbuhan yang begitu kentara berbeda antara satu dengan yang lainnya, walaupun pada perkembangannya Surabaya mulai beranjak dan memperlihatkan tren yang positif dalam hal pembangunan dan pertumbuhan kotanya. Walaupun demikian, misalnya, seperti Jakarta sebagai urban primacy tetap tumbuh dominan dengan secondary city Surabaya dalam hal populasi penduduk Surabaya masih berkisar 2,7 juta, sedangkan Jakarta sudah berkisar 10 juta.

Populasi yang begitu cepat di ‘Kota Utama’ tentunya tidak terlepas dari daya tarik Kota Utama itu sendiri, yang menawarkan pertumbuhan dan pembangunan yang begitu cepat. Dengan demikian, dirasa akan mampu mencukupi penghidupan masyarakatnya (dengan pekerjaan yang mudah dan gaji yang tinggi), dan ditopang pula dengan daya dorong masyarakat menganggap bahwa di ‘daerah’ belum mampu menyediakan pekerjaan yang layak dan gaji yang kurang menjanjikan.

Jika ditanya mengapa atau bagaimana kemunculan dari urban primacy itu, maka tidak terlepas dari urban planologis-nya. Sentralisasi pembangunan, pertumbuhan yang menjadi ciri Kota Utama seperti Jakarta memang sudah secara planologis dipersiapkan untuk itu. Kota Utama menjadi sentral dan berada di jantung negara.

Pembangunan kota di sekitar Kota Utama sudah tidak dimungkinkan lagi karena tanah-tanah sudah dikuasai oleh yang disebut land speculator. Sehingga, pembangunan kota-kota yang lainnya berada di area luar atau biasa disebut sub-urban. Pembangunan yang menjauhi Kota Utama atau berada di area luar (sub-urban) sering disebut dengan Leapfrog Development (pembangunan lompat katak). Pembangunan lebih melebar ke area luar dari kota utama.

Kemunculan urban primacy ini jika tidak segera ditangani maka akan memiliki dampak yang krusial bagi kota utama itu sendiri. Karena urban primacy ini tentunya memiliki kekurangan dan juga kelebihan.

Memang ibarat dua sisi mata uang. Urban primacy ini memiliki kelebihan dan begitu pula kekurangan. Di satu sisi, Kota Utama sebagai pusat dari pembangunan, dan pertumbuhan yang merepresentasikan suatu negara, keberadaannya memang diperlukan. Di sisi lain, Kota Utama (jika tidak dikelola) akan menjadi sebuah kota yang maju sendiri secara ekonomi, misalnya, karena menjadi pusat pertumbuhan ekonomi.

Dalam waktu yang sama, pertumbuhan yang cepat itu akan menyebabkan arus urbanisasi yang begitu cepat hingga over population, dan Kota Utama pun tidak mampu membendung lagi.

Dari fenomena tersebut akan memunculkan permasalahan-permasalahan kota, menyusul kian bermunculannya permukiman kumuh, penghuni liar dan kemiskinan kota. Hal ini terjadi karena masyarakat urban tidak mampu menempati tempat-tempat yang memang secara legal sudah disiapkan pemerintah setempat, seperti di perumahan. Namun, apa daya, permasalahan ekonomi yang mengharuskan mereka berada tinggal atau menempati tempat-tempat liar nan kumuh di perkotaan. Ini menjadikan mereka penghuni liar yang menempati tanah-tanah milik negara untuk keperluan publik.

Terjadinya urban ini bukan menciptakan ketahanan ekonomi bagi masyarakat 'yang urban' (yang pada awalnya menjadi daya tarik untuk urban) malah sebaliknya, menciptakan kemiskinan-kemiskinan kota dan permukiman-permukiman kumuh kota. Karena, secara umum masyarakat 'yang urban' bekerja di sektor-sektor informal di perkotaan, yang memang tidak mengharuskan pendidikan formal, seperti menjadi pedagang kaki lima, penjual asongan, pengamen, pemulung, pengemis dan lain sebagainya.

Sumber Gambar: www.shutterstock.com

Solusi

Dekonsentrasi Planologis bisa menjadi sebuah solusi untuk mengatasi pertumbuhan dan pembangunan yang cenderung sentralistik, dan yang lebih utama agar dapat meminimalkan terjadinya permasalahan-permasalahan perkotaan. Jakarta harus memiliki sebuah kebijakan bersama, antara Jakarta sebagai Kota Utama dan kota-kota lainnya di Indonesia, terutama dengan secondary city, Surabaya dan kota satelitnya seperti Depok dan Bogor. Kemudian, ada regulasi yang sifatnya ‘membatasi’ dan pada titik tertentu men-stop masyarakat yang ingin urban ke Kota Utama untuk bekerja.

Seperti misalnya pemerintah DKI Jakarta membuat nota kesepahaman dengan pemerintahan kota satelit seperti Bogor dan Depok untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang sifatnya regional atau per wilayah. Misalnya, Pemerintah Depok mengupayakan agar warga masyarakat Depok bekerja di daerah Depok. Apalagi, Pemerintah Depok (mampu) menyediakan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja masyarakatnya (untuk memaksimalkan potensi daerah) dan yang tidak kalah penting kesejahteraan hidup dan kualitas kehidupan masyarakatnya harus terperhatikan. Dalam hal ini maka sebuah perda atau perbup/perkot (peraturan bupati/walikota), kaitannya dalam memperkuat dan melegitimasi kebijakan tersebut sangat diperlukan. (Mauluddin, 2016).

Selain dekonsentrasi planologis yang dilakukan Kota Utama, senyatanya dekonsentrasi planologis ini dapat pula dilakukan di kota-kota lainnya di Indonesia. Tujuannya adalah agar pembangunan dan pertumbuhan kota tersebut dapat berkembang pesat karena tidak tersentralisasi. Sehingga, sebuah kota atau pun ‘daerah’ akan mampu memaksimalkan potensi daerahnya dan mendukung konsep ‘pembangunan regional', per wilayah. Sehingga, pada akhirnya, diharapkan masyarakat yang ingin urban sudah tidak ada lagi.

Dekonsentrasi planologis nyatanya akan diterapkan Kota Bandung. Kota yang memiliki julukan kota kembang, yang akhir-akhir ini mendapat julukan kota kreatif hingga kota kuliner. Apa pun julukannya, yang jelas dekonsentrasi planologis direncanakan akan terjadi di Kota Bandung tahun 2018, dengan memindahkan pusat pemerintahan Kota Bandung ke Bandung Timur, Gede Bage. Seiring pula dengan pemindahan kantor-kantor SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang akan terkonsentrasi di daerah yang sama dan dalam satu gedung yang sama.

Pemindahan dinas-dinas Kota Bandung memiliki tujuan, agar pelayanan untuk masyarakat bisa lebih cepat. Selain itu, dekonsentrasi planologis ini diharapkan akan mengurai permasalahan-permasalahan perkotaan lainnya seperti masalah kemacetan. Pertumbuhan dan pembangunan di daerah Bandung Timur pun akan mengikuti seiring pemindahan pusat pemerintahan Kota Bandung. Salah satunya akan dijadikannya Bandung Timur sebagai daerah teknopolis.

Walaupun sudah terjadi dekonsentrasi planologis, di ‘daerah baru’ harus disiapkan transportasi publik yang nyaman. Sesuai Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung sudah diatur rencana pembangunan Terminal Terpadu di Gedebage. Terminal ini akan menjadi penyambung antarkawasan primer. Yaitu, dengan cara menggabungkan beberapa moda transportasi umum massal di dalam satu bangunan; seperti kereta, monorel, dan bus. Semoga! (gusma)



Sumber: Koran Suara Karya. 21 Juni 2016. Link: http://www.suarakarya.id/2016/06/21/plus-minus-urban-primacy.html