Masyarakat
adat dalam keberlangsungan hidupnya memiliki sebuah tata nilai yang benar-benar
dijunjung tinggi. Tata nilai tersebut sering disebut sebagai kearifan lokal. Kearifan
lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kebidupan
masyarakat (UU No 27 Tahun 2007). Seringkali pada realitanya kearifan lokal
tersebut tidak sepenuhnya terjaga. Pemerintah dalam hal ini sebagai “pelindung”
harus memberikan sebuah aturan berupa kebijakan yang dapat melindungi
masyarakat adat dari terjadi Eksklusi Sosial.
Eksklusi sosial dapat diartikan sebagai proses
yang menghalangi atau menghambat individu, keluarga, atau kelompok dari sumber
daya yang dibutuhkan, untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan
politik di dalam masyarakat dengan utuh (Byrne, 2005).
David Byrne
menekankan adanya peran aktor yang menghambat individu atau kelompok lain dalam
memperoleh sumber daya.
Dalam
konteks masyarakat adat, salah satu sumber daya yang dimaksudkan adalah lahan, akses
terhadap penggunaan lahan. Karena lahan (tanah) adalah sesuatu yang tidak
dipisahkan dari masyarakat adat. Seperti yang tertera dalam dalam UU No. 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam UU
tersebut masyarakat adat didefinisikan sebagai suatu kelompok masyarakat yang
berada daerah pesisir “periphery” yang secara turun-temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu. Keberlangsungan mereka karena adanya ikatan pada asal usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Alam dan terdapatnya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum. Selain
itu pula Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendefinisikan masyarakat
adat sebagai suatu kelompok masyarakat secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu di Negara Indonesia disebabkan karena terdapat ikatan asal
usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya
alam di wilayah adatnya, dan terdapatnya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun
seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.
Dalam menelaah ekslusi sosial Derek Hall, Peter Hirsch dan Tania
Murray Li (2011) menitik beratkan pada masalah agraria. seperti dijelaskan
dalam The Power of Ekslusion,
“Secara
empiris ekslusi mengacu pada kondisi yang menunjukan situasi dimana sejumlah
besar orang tidak memiliki akses terhadap penggunaan lahan sebagai kondisi yang
tidak memiliki akses terhadap tanah atau dimana tanah yang dimiliki sebagai
milik pribadi, ketika mengacu sebagai “proses” pada skala besar dan sering
terjadi tindak kekerasan dimana masyarakat miskin diusir dari tanahnya oleh
aktor yang berpengaruh. Pada sudut pandang ini bahwa siapa yang kuat dia yang
menang. Secara normatif ekslusi terlihat sebagai hal yang negatif dan “is counterposed to a positively weighted
“inclusion”. Pertanian menyampaikan pengertian bahwa eksklusi memaksakan
sesuatu pada yang lemah oleh mereka yang kuat,
dan sesuatu itu harus ditentang”
Derek Hall, Peter Hirsch dan Tania Murray Li (2011) berpandangan
bahwa kondisi dan proses eksklusi tercipta dari interaksi empat kekuasaan
(power) seperti: Peraturan (regulation) Paksaan (force), Pasar (market),
dan Legitimasi (legitimation).
Secara
sederhana, penggunaan power of eksklusion terjadi dalam enam proses yaitu:
1.
Regularisasi akses
atas tanah, melalui program pemerintah tentang pendaftaran tanah, formalisasi
dan perdamaian ;
2.
Ekspansi ruang dan
mengintensifkan usaha melalui konservasi hutan dengan membatasi pertanian;
3.
New
boom crop berupa ekspansi tanaman monokultur yang menyebabkan konversi
lahan besar-besaran;
4.
Konversi
tanah setelah penggunaan untuk pertanian;
5.
Proses-proses
yang timbul dari formasi agraria di dalam desa yang melibatkan tali
persaudaraan dan tetangga desa (intimate exclusions);
6.
Mobilisasi
kelompok-kelompok untuk mempertahankan akses mereka terhadap tanah.
Jika dilihat secara historisnya (di
dunia) bahwa pengeksklusian dimulai pada sekitar tahun 1601 ketika Ratu
Elizabeth I memproklamasikan perkataan “ Negroid” harus dikeluarkan dari
inggris karena mereka “kafir” dan mereka menyumbang pada aspek ekonomi dan
permasalahan social seperti kemiskinan dan kelaparan (Haralambos, 2004).
Sejarah Indonesia menyebutkan ketika jatuhnya
Regim Soeharto 1998 dan selanjutnya permulaan era reformasi, yang mengajukan
desentralisasi dan bertujuan pada demokratisasi, memiliki tawaran kesempatan
pada masyarakat adat. Reformasi menjadi pilar utama otonomi daerah dan
demokratisasi dibukanya kesempatan negosiasi untuk banyak masyarakat adat untuk
mendapatkan kembali apa yang mereka miliki hilang, seperti Harkat, pengakuan,
hak dan kedudukan pada kepemilikan yakni tanah (Brigitta Hauser-Schaublin,
2013)
Kasus di Indonesia terdapat beberapa
permasalahan yang kaitannya dengan pengeksklusian masyarakat adat, salah satu
diantaranya kasus seperti di daerah Maluku Tengah. Masyarakat adat di Maluku
Tengah “terusik” dengan hadirnya investor Asing. Masyarakat adat yang
sebelumnya “memiliki kebebasan” dalam pemanfaatan sumber daya alam, seperti
menangkap ikan, penggarapan lahan dan lain-lain menjadi tidak ada lagi setelah para
investor asing memiliki rencana untuk mendirikan sebuah bangunan berupa Resort.
Oleh sebab itu daerah yang dahulunya ditempati masyarakat adat menjadi terdapatnya
privatisasi. Masyarakat adat menjadi terbatasi dalam mengakses “tanah milik
mereka”. Pemerintah dalam hal ini otoritas yang memiliki wewenang terhadap
perijinan tersebut, lebih mendukung atas pendirian bangunan oleh investor, bukan
“ramah pada masyarakat adat”. Seharusnya pemerintah dalam hal ini pemerintah
daerah lebih berperan dalam melindungi masyarakat adat. Perlindungan
diantaranya mengesahkan RUU (Rancangan Undang-undang) tentang Masyarakat Adat, termasuk hak hak
pemanfaatan wilayahnya (Antaranews, 2015).
Tantangan pemerintah kedepan mengesahkan
RUU yang memang lebih “ramah” kepada masyarakat adat. Sisi lain pemerintah pun
menurut hemat penulis boleh saja menerima investor dengan berbagai pertimbangan
dan ketentuan-ketentuan. Ketentuan-ketentuan tersebut saalah satu diantaranya
mendirikan bangunan yang ramah lingkungan (Benar
dalam AMDAL-nya) dan yang paling
pentung ramah masyarakat adat, hak milik ulayah, tanah yang “dimiliki”
masyarakat adat jangan sampai terusik.
Tidak hanya kasus diatas saja, terdapat kasus eksklusi pada
masyarakat adat terjadi masyarakat adat Dayak Jalai di Kampung Silat Hulu,
Kalimantan Barat. PT. Bangun Nusa Mandiri (BNN) yang merupakan anak perusahaan
dari PT. Sinar Mas Group melakukan praktek pembukaan lahan secara ilegal pada
lahan garapan masyarakat adat. Akibatnya, banyak masyarakat adat kehilangan
mata pencahariaannya yang selama ini bergantung pada hasil pertaniannya. Dalam periode
April 2008 sampai September 2009 perusahaan telah mengusir 350 hektar wilayah
masyarakat Silat Hulu oleh pada bulan April 2008 (Kalimantanreview, 2015).
Kasus eksklusi yang terjadi pada masyarakat adat seperti
yang sudah dijelaskan merupakan bentuk ekskklusi yang terjadi akibat interaksi
antara peraturan (regulation),
paksaan (force) (Hall, Hirsch dan Li,
2011).
DAFTAR
PUSTAKA
Brigitta Hauser-Schaublin, 2013, Adat and Indigeneity in Indonesia, Universitatsverlag Gottingen
Byrne David, 2005 Social Exclusi, New York: Open University Press
Hall Derek, Philip Hirsch and Tania Murray Li, 2011, Powers of Exclusion: Land dilemmas in
Southeast Asia, Singapore: NUS Press
Haralambos
& Holborn, 2004, Sociology (Theme and
Perspectives), London: Harper Collins Publisher
UU No 27
Tahun 2007
diakses pada tanggal 31
November 2015
http://kalimantanreview.com/berita-pt-bnm-sinar-mas-grup-rampas-hidup-masyarakat-silat-hulu.html,
diakses pada tanggal 31 November 2015
Mantap kang.,
BalasHapusSiap. Hanupis.
Hapus