Kamis, 05 November 2015

Masyarakat Adat dan Eksklusi Sosial

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang berada daerah pesisir “periphery” yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu. Keberlangsungan mereka karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Alam dan terdapatnya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum (UU No 27 Tahun 2007).




Image: www.google.com


Masyarakat adat dalam keberlangsungan hidupnya memiliki sebuah tata nilai yang benar-benar dijunjung tinggi. Tata nilai tersebut sering disebut sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kebidupan masyarakat (UU No 27 Tahun 2007). Seringkali pada realitanya kearifan lokal tersebut tidak sepenuhnya terjaga. Pemerintah dalam hal ini sebagai “pelindung” harus memberikan sebuah aturan berupa kebijakan yang dapat melindungi masyarakat adat dari terjadi Eksklusi Sosial.
            Eksklusi sosial dapat diartikan sebagai proses yang menghalangi atau menghambat individu, keluarga, atau kelompok dari sumber daya yang dibutuhkan, untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat dengan utuh (Byrne, 2005).      
David Byrne menekankan adanya peran aktor yang menghambat individu atau kelompok lain dalam memperoleh sumber daya.
Dalam konteks masyarakat adat, salah satu sumber daya yang dimaksudkan adalah lahan, akses terhadap penggunaan lahan. Karena lahan (tanah) adalah sesuatu yang tidak dipisahkan dari masyarakat adat. Seperti yang tertera dalam dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam UU tersebut masyarakat adat didefinisikan sebagai suatu kelompok masyarakat yang berada daerah pesisir “periphery” yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu. Keberlangsungan mereka karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Alam dan terdapatnya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum. Selain itu pula Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendefinisikan masyarakat adat sebagai suatu kelompok masyarakat secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia disebabkan karena terdapat ikatan asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, dan terdapatnya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.
           
            Dalam menelaah ekslusi sosial Derek Hall, Peter Hirsch dan Tania Murray Li (2011) menitik beratkan pada masalah agraria. seperti dijelaskan dalam The Power of Ekslusion,
“Secara empiris ekslusi mengacu pada kondisi yang menunjukan situasi dimana sejumlah besar orang tidak memiliki akses terhadap penggunaan lahan sebagai kondisi yang tidak memiliki akses terhadap tanah atau dimana tanah yang dimiliki sebagai milik pribadi, ketika mengacu sebagai “proses” pada skala besar dan sering terjadi tindak kekerasan dimana masyarakat miskin diusir dari tanahnya oleh aktor yang berpengaruh. Pada sudut pandang ini bahwa siapa yang kuat dia yang menang. Secara normatif ekslusi terlihat sebagai hal yang negatif dan “is counterposed to a positively weighted “inclusion”. Pertanian menyampaikan pengertian bahwa eksklusi memaksakan sesuatu pada yang lemah oleh mereka yang kuat,  dan sesuatu itu harus ditentang”
            Derek Hall, Peter Hirsch dan Tania Murray Li (2011) berpandangan bahwa kondisi dan proses eksklusi tercipta dari interaksi empat kekuasaan (power) seperti: Peraturan (regulation) Paksaan (force), Pasar (market), dan Legitimasi (legitimation).
Secara sederhana, penggunaan power of eksklusion terjadi dalam enam proses yaitu:
1.      Regularisasi akses atas tanah, melalui program pemerintah tentang pendaftaran tanah, formalisasi dan perdamaian ;
2.      Ekspansi ruang dan mengintensifkan usaha melalui konservasi hutan dengan membatasi pertanian;
3.      New boom crop berupa ekspansi tanaman monokultur yang menyebabkan konversi lahan besar-besaran;
4.      Konversi tanah setelah penggunaan untuk pertanian;
5.      Proses-proses yang timbul dari formasi agraria di dalam desa yang melibatkan tali persaudaraan dan tetangga desa (intimate exclusions);
6.      Mobilisasi kelompok-kelompok untuk mempertahankan akses mereka terhadap tanah.

Jika dilihat secara historisnya (di dunia) bahwa pengeksklusian dimulai pada sekitar tahun 1601 ketika Ratu Elizabeth I memproklamasikan perkataan “ Negroid” harus dikeluarkan dari inggris karena mereka “kafir” dan mereka menyumbang pada aspek ekonomi dan permasalahan social seperti kemiskinan dan kelaparan (Haralambos, 2004).
Sejarah Indonesia menyebutkan ketika jatuhnya Regim Soeharto 1998 dan selanjutnya permulaan era reformasi, yang mengajukan desentralisasi dan bertujuan pada demokratisasi, memiliki tawaran kesempatan pada masyarakat adat. Reformasi menjadi pilar utama otonomi daerah dan demokratisasi dibukanya kesempatan negosiasi untuk banyak masyarakat adat untuk mendapatkan kembali apa yang mereka miliki hilang, seperti Harkat, pengakuan, hak dan kedudukan pada kepemilikan yakni tanah (Brigitta Hauser-Schaublin, 2013)
Kasus di Indonesia terdapat beberapa permasalahan yang kaitannya dengan pengeksklusian masyarakat adat, salah satu diantaranya kasus seperti di daerah Maluku Tengah. Masyarakat adat di Maluku Tengah “terusik” dengan hadirnya investor Asing. Masyarakat adat yang sebelumnya “memiliki kebebasan” dalam pemanfaatan sumber daya alam, seperti menangkap ikan, penggarapan lahan dan lain-lain menjadi tidak ada lagi setelah para investor asing memiliki rencana untuk mendirikan sebuah bangunan berupa Resort. Oleh sebab itu daerah yang dahulunya ditempati masyarakat adat menjadi terdapatnya privatisasi. Masyarakat adat menjadi terbatasi dalam mengakses “tanah milik mereka”. Pemerintah dalam hal ini otoritas yang memiliki wewenang terhadap perijinan tersebut, lebih mendukung atas pendirian bangunan oleh investor, bukan “ramah pada masyarakat adat”. Seharusnya pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah lebih berperan dalam melindungi masyarakat adat. Perlindungan diantaranya mengesahkan RUU (Rancangan Undang-undang)  tentang Masyarakat Adat, termasuk hak hak pemanfaatan wilayahnya (Antaranews, 2015).
Tantangan pemerintah kedepan mengesahkan RUU yang memang lebih “ramah” kepada masyarakat adat. Sisi lain pemerintah pun menurut hemat penulis boleh saja menerima investor dengan berbagai pertimbangan dan ketentuan-ketentuan. Ketentuan-ketentuan tersebut saalah satu diantaranya mendirikan bangunan yang ramah lingkungan (Benar dalam AMDAL-nya)  dan yang paling pentung ramah masyarakat adat, hak milik ulayah, tanah yang “dimiliki” masyarakat adat jangan sampai terusik.
Tidak hanya kasus diatas saja, terdapat kasus eksklusi pada masyarakat adat terjadi masyarakat adat Dayak Jalai di Kampung Silat Hulu, Kalimantan Barat. PT. Bangun Nusa Mandiri (BNN) yang merupakan anak perusahaan dari PT. Sinar Mas Group melakukan praktek pembukaan lahan secara ilegal pada lahan garapan masyarakat adat. Akibatnya, banyak masyarakat adat kehilangan mata pencahariaannya yang selama ini bergantung pada hasil pertaniannya. Dalam periode April 2008 sampai September 2009 perusahaan telah mengusir 350 hektar wilayah masyarakat Silat Hulu oleh pada bulan April 2008 (Kalimantanreview, 2015).
Kasus eksklusi yang terjadi pada masyarakat adat seperti yang sudah dijelaskan merupakan bentuk ekskklusi yang terjadi akibat interaksi antara peraturan (regulation), paksaan (force) (Hall, Hirsch dan Li, 2011).

             





DAFTAR PUSTAKA


Brigitta Hauser-Schaublin, 2013, Adat and Indigeneity in Indonesia, Universitatsverlag Gottingen
Byrne David, 2005 Social Exclusi, New York: Open University Press
Hall Derek, Philip Hirsch and Tania Murray Li, 2011, Powers of Exclusion: Land dilemmas in Southeast Asia, Singapore: NUS Press
Haralambos & Holborn, 2004, Sociology (Theme and Perspectives), London: Harper Collins Publisher


UU No 27 Tahun 2007

diakses pada tanggal 31 November 2015



2 komentar: