Rabu, 25 November 2015

Sebuah Refleksi Pendidikan pada Hari Guru Nasional



     “Berhenti mengeluh tidaklah cukup. Berkata-kata indah penuh semangat juga tidak pernah cukup. Lakukan sesuatu sekarang. Bergabung dalam kerumunan positif dan terlibat membangun masyarakat sipil yang kuat.” Gerakan-gerakan masyarakat sipil seperti ini dapat menjangkau desa-desa terpencil sekalipun, sehingga kesamaan kesempatan (Equality of Oppertunity) dalam mengakses pendidikan oleh anak - anak di daerah dapat tercapai dan yang paling utama dengan adanya CSO atau komunitas-komunitas tentunya dapat membantu pemerintah dalam menyelesaikan “pekerjaan-pekerjaan rumahnya” (Indonesia Mengajar, 2015). 
Image from www.google.com

     Keterkaitan Pendidikan dengan Eksklusi Sosial. Eksklusi sosial dibidang pendidikan merupakan         implikasi dari kemiskinan. Seperti disebutkan Smith dan Noble dikutip Harlambos dan Holborn (2004):
“In a study of the effect of poverty on schooling. Barriers to learning which can result from low income.”
Namun terdapat pula masyarakat berpenghasilan rendah (bukan miskin) yang memilki kesadaran tinggi terhadap pendidikan. Mereka tetap menyekolahkan anaknya walaupun keadan ekonomi keluarga sulit. Hal ini berimplikasi pada proses pembelajara di sekolah, Smith dan Noble seperti dikutip Harlambos dan Halborn (2004) menyebutkan hambatan-hambatan dalam belajar yang disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi), atau sering disebut dengan istilah Barriers to Learning, yaitu diantaranya:
1.   Ketidakmampuan untuk mendapatkan seragam sekolah, perjalanan ke sekolah, transportasi ke sekolah dan dari sekolah, fasilitas belajar di kelas, dan untuk beberapa kasus sulitnya mendapatkan sumber bacaan sekolah. Hal demikian dapat menyebabkan anak terisolasi, tertindas, dalam proses belajar disekolah meraka.
2.   Anak anak dari keluarga yang berpendapatan rendah kemungkinan besar mengalami masalah kesehatan yang bisa mempengaruhi kehadiran dan proses belajar di sekolah.
3.   Ekonomi rendah diartikan bahwa orang tua tidak mampu memberikan biaya atau akses pendidikan privat untuk anak mereka.
4.   Ekonomi rendah sangat mungkin tidak memiliki akses komputer rumah dengan internet, meja belajar, alat peraga, buku, tempat ketika mengerjakan PR, dan rumah yang nyaman dan baik untuk menunjang belajar.
5.   The marketization of school memungkinkan peningkatan polarisasi keberhasilan, fasilitas sekolah yang baik berada di daerah maju sedangkan sekolah-sekolah berfasilitas rendah ada di daerah miskin. Hal tersebut akan mengurangi kesempatan anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Selain konsep Barriers to Learning, permasalahan-permasalah dalam dunia pendidikan yang sifatnya mengeksklusi yaitu Poverty penalty menjelaskan fenomena dimana masyarakat miskin membayar lebih mahal untuk makan dan membeli barang dibandingkan masyarakat kelas atas (Prahald, 2009). Menurut Muller (2002) dan Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal di daerah terpencil dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena mereka tinggal di daerah lingkungan informal dimana kurangnya lnfrastruktur khususnya transportasi.
Jika ditanya, bagaimana dengan kasus di Indonesia? Apakah kedua konsep diatas relevan dengan konteks masyarakat Indonesia dewasa ini? Jawabannya adalah Benar. Benar masih saja dibeberapa daerah di Indonesia dapat kita temukan permasalahan-permasalahan yang ada seputar pendidikan.
Seperti misalnya sebuah berita dari Tempo (2015), menyebutkan bahwa jarak tempuh untuk mencapai sekolah tidak bisa dikatakan jaraknya dekat, seperti berikut:
“Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data bahwa berdasarkan hasil pendataan potensi desa yang dilakukan tiga kali dalam sepuluh tahun, sebanyak 10.985 desa masih belum memiliki sekolah dasar (SD) atau mencapai 13,37 persen. "Sebanyak 10.985 desa masih belum memiliki sekolah dasar, termasuk madrasah ibtidaiyah, atau sebesar 13,37 persen dari total 82.190 desa," kata Kepala BPS Suryamin dalam jumpa pers di Jakarta, Senin, 16 Februari 2015.
Suryamin mengatakan, dari 10.985 desa yang tidak memiliki sekolah dasar tersebut, sebanyak 2.438 desa atau kelurahan di antaranya memiliki jarak tempuh sedikitnya tiga kilometer ke SD terdekat. Sedangkan 86,63 persen lainnya sudah memiliki sarana sekolah dasar.
"Untuk sarana pendidikan SLTP sudah ada di 6.799 kecamatan, atau mencapai 96,11 persen. Adapun 275 kecamatan atau 3,89 persen tidak memiliki sarana pendidikan SLTP," ujar Suryamin.
Dari 275 kecamatan yang tidak memiliki sarana pendidikan SLTP tersebut, sebanyak 66,91 persen, atau 184 kecamatan, jarak tempuh ke SLTP terdekat lebih dari enam kilometer
Untuk tingkat SLTA, masih terdapat 816 kecamatan atau 11,54 persen yang belum memiliki sarana pendidikan tersebut. Sebanyak 508 kecamatan di antaranya, jarak tempuh ke SLTA terdekat lebih dari enam kilometer.
Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa mereka (anak-anak yang berada di daerah terpencil dan miskin) harus “mengeluarkan biaya lebih untuk bersekolah” atau dengan kata lain mereka kena Poverty Penalty. Senada dengan apa yang dijelaskan Muller (2002) dan Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal di daerah terpencil dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena mereka tinggal di daerah lingkungan informal dimana kurangnya lnfrastruktur khususnya transportasi.Selain itu pula data tersebut menunjukan bahwa Barriers to Learning begitu kentara disana. Masih ada di beberapa Desa, atau kecamatan tidak memiliki sarana pendidikan yang menunjang pendidikan mereka. Seperti yang disebutkan Harlambos dan Halborn hambatan-hambatan dalam belajar yang disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi), atau sering disebut dengan istilah Barriers to Learning, yaitu ketidakmampuan untuk mendapat fasilitas belajar di kelas, dan sulitnya mendapatkan sumber bacaan sekolah (Haralambos dan Holborn, 2004)
Solusi yang penulis tawarkan untuk pemerintah yaitu pertama, pemerintah harus benar-benar mengupayakan (secara struktural) misalnya dengan program-program yang berorientasi pada “pembangunan” masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil. Misalnya program KIP (Kartu Indonesia Pintar). Program tersebut harus diupayakan mampu mencapai hingga daerah-daerah terpencil secara massif. Kedua, pemerintah harus men-support kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CSO atau komunitas-komunitas, jika perlu dibentuklah regulasi yang menunjukan apresiasi pemerintah kepada CSO.
Program CSR yang menurut hemat penulis mampu “meratakan” pendidikan hingga ke daerah-daerah yaitu CSR yang berupa beasiswa. Namun permasalahannya pada tataran teknis pengimplementasian beasiswa tersebut (kerap terjadi salah sasaran). Maka solusinya adalah perlu “seleksi administrasi dan kapabelitas” penerima beasiswa secara bertanggung jawab, jika perlu tanda tangan diatas materai dan dilibatkannya lembaga penegak hukum jika dikemudian hari terdapat kecurangan. 
Peran komunitas atau hadirnya CSO seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya,  Seperti misalnya Gerakan Indonesia Mengajar besutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era dewasa ini. Seperti tag line  atau moto yang diusung “Berhenti mengeluh tidaklah cukup. Berkata-kata indah penuh semangat juga tidak pernah cukup. Lakukan sesuatu sekarang. Bergabung dalam kerumunan positif dan terlibat membangun masyarakat sipil yang kuat.” Gerakan-gerakan masyarakat sipil seperti ini dapat menjangkau desa-desa terpencil sekalipun, sehingga kesamaan kesempatan (Equality of Oppertunity) dalam mengakses pendidikan oleh anak - anak di daerah dapat tercapai dan yang paling utama dengan adanya CSO atau komunitas-komunitas tentunya dapat membantu pemerintah dalam menyelesaikan “pekerjaan-pekerjaan rumahnya” (Indonesia Mengajar, 2015).

Kamis, 05 November 2015

Masyarakat Adat dan Eksklusi Sosial

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang berada daerah pesisir “periphery” yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu. Keberlangsungan mereka karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Alam dan terdapatnya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum (UU No 27 Tahun 2007).




Image: www.google.com


Masyarakat adat dalam keberlangsungan hidupnya memiliki sebuah tata nilai yang benar-benar dijunjung tinggi. Tata nilai tersebut sering disebut sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kebidupan masyarakat (UU No 27 Tahun 2007). Seringkali pada realitanya kearifan lokal tersebut tidak sepenuhnya terjaga. Pemerintah dalam hal ini sebagai “pelindung” harus memberikan sebuah aturan berupa kebijakan yang dapat melindungi masyarakat adat dari terjadi Eksklusi Sosial.
            Eksklusi sosial dapat diartikan sebagai proses yang menghalangi atau menghambat individu, keluarga, atau kelompok dari sumber daya yang dibutuhkan, untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat dengan utuh (Byrne, 2005).      
David Byrne menekankan adanya peran aktor yang menghambat individu atau kelompok lain dalam memperoleh sumber daya.
Dalam konteks masyarakat adat, salah satu sumber daya yang dimaksudkan adalah lahan, akses terhadap penggunaan lahan. Karena lahan (tanah) adalah sesuatu yang tidak dipisahkan dari masyarakat adat. Seperti yang tertera dalam dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam UU tersebut masyarakat adat didefinisikan sebagai suatu kelompok masyarakat yang berada daerah pesisir “periphery” yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu. Keberlangsungan mereka karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Alam dan terdapatnya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum. Selain itu pula Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendefinisikan masyarakat adat sebagai suatu kelompok masyarakat secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia disebabkan karena terdapat ikatan asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, dan terdapatnya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.
           
            Dalam menelaah ekslusi sosial Derek Hall, Peter Hirsch dan Tania Murray Li (2011) menitik beratkan pada masalah agraria. seperti dijelaskan dalam The Power of Ekslusion,
“Secara empiris ekslusi mengacu pada kondisi yang menunjukan situasi dimana sejumlah besar orang tidak memiliki akses terhadap penggunaan lahan sebagai kondisi yang tidak memiliki akses terhadap tanah atau dimana tanah yang dimiliki sebagai milik pribadi, ketika mengacu sebagai “proses” pada skala besar dan sering terjadi tindak kekerasan dimana masyarakat miskin diusir dari tanahnya oleh aktor yang berpengaruh. Pada sudut pandang ini bahwa siapa yang kuat dia yang menang. Secara normatif ekslusi terlihat sebagai hal yang negatif dan “is counterposed to a positively weighted “inclusion”. Pertanian menyampaikan pengertian bahwa eksklusi memaksakan sesuatu pada yang lemah oleh mereka yang kuat,  dan sesuatu itu harus ditentang”
            Derek Hall, Peter Hirsch dan Tania Murray Li (2011) berpandangan bahwa kondisi dan proses eksklusi tercipta dari interaksi empat kekuasaan (power) seperti: Peraturan (regulation) Paksaan (force), Pasar (market), dan Legitimasi (legitimation).
Secara sederhana, penggunaan power of eksklusion terjadi dalam enam proses yaitu:
1.      Regularisasi akses atas tanah, melalui program pemerintah tentang pendaftaran tanah, formalisasi dan perdamaian ;
2.      Ekspansi ruang dan mengintensifkan usaha melalui konservasi hutan dengan membatasi pertanian;
3.      New boom crop berupa ekspansi tanaman monokultur yang menyebabkan konversi lahan besar-besaran;
4.      Konversi tanah setelah penggunaan untuk pertanian;
5.      Proses-proses yang timbul dari formasi agraria di dalam desa yang melibatkan tali persaudaraan dan tetangga desa (intimate exclusions);
6.      Mobilisasi kelompok-kelompok untuk mempertahankan akses mereka terhadap tanah.

Jika dilihat secara historisnya (di dunia) bahwa pengeksklusian dimulai pada sekitar tahun 1601 ketika Ratu Elizabeth I memproklamasikan perkataan “ Negroid” harus dikeluarkan dari inggris karena mereka “kafir” dan mereka menyumbang pada aspek ekonomi dan permasalahan social seperti kemiskinan dan kelaparan (Haralambos, 2004).
Sejarah Indonesia menyebutkan ketika jatuhnya Regim Soeharto 1998 dan selanjutnya permulaan era reformasi, yang mengajukan desentralisasi dan bertujuan pada demokratisasi, memiliki tawaran kesempatan pada masyarakat adat. Reformasi menjadi pilar utama otonomi daerah dan demokratisasi dibukanya kesempatan negosiasi untuk banyak masyarakat adat untuk mendapatkan kembali apa yang mereka miliki hilang, seperti Harkat, pengakuan, hak dan kedudukan pada kepemilikan yakni tanah (Brigitta Hauser-Schaublin, 2013)
Kasus di Indonesia terdapat beberapa permasalahan yang kaitannya dengan pengeksklusian masyarakat adat, salah satu diantaranya kasus seperti di daerah Maluku Tengah. Masyarakat adat di Maluku Tengah “terusik” dengan hadirnya investor Asing. Masyarakat adat yang sebelumnya “memiliki kebebasan” dalam pemanfaatan sumber daya alam, seperti menangkap ikan, penggarapan lahan dan lain-lain menjadi tidak ada lagi setelah para investor asing memiliki rencana untuk mendirikan sebuah bangunan berupa Resort. Oleh sebab itu daerah yang dahulunya ditempati masyarakat adat menjadi terdapatnya privatisasi. Masyarakat adat menjadi terbatasi dalam mengakses “tanah milik mereka”. Pemerintah dalam hal ini otoritas yang memiliki wewenang terhadap perijinan tersebut, lebih mendukung atas pendirian bangunan oleh investor, bukan “ramah pada masyarakat adat”. Seharusnya pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah lebih berperan dalam melindungi masyarakat adat. Perlindungan diantaranya mengesahkan RUU (Rancangan Undang-undang)  tentang Masyarakat Adat, termasuk hak hak pemanfaatan wilayahnya (Antaranews, 2015).
Tantangan pemerintah kedepan mengesahkan RUU yang memang lebih “ramah” kepada masyarakat adat. Sisi lain pemerintah pun menurut hemat penulis boleh saja menerima investor dengan berbagai pertimbangan dan ketentuan-ketentuan. Ketentuan-ketentuan tersebut saalah satu diantaranya mendirikan bangunan yang ramah lingkungan (Benar dalam AMDAL-nya)  dan yang paling pentung ramah masyarakat adat, hak milik ulayah, tanah yang “dimiliki” masyarakat adat jangan sampai terusik.
Tidak hanya kasus diatas saja, terdapat kasus eksklusi pada masyarakat adat terjadi masyarakat adat Dayak Jalai di Kampung Silat Hulu, Kalimantan Barat. PT. Bangun Nusa Mandiri (BNN) yang merupakan anak perusahaan dari PT. Sinar Mas Group melakukan praktek pembukaan lahan secara ilegal pada lahan garapan masyarakat adat. Akibatnya, banyak masyarakat adat kehilangan mata pencahariaannya yang selama ini bergantung pada hasil pertaniannya. Dalam periode April 2008 sampai September 2009 perusahaan telah mengusir 350 hektar wilayah masyarakat Silat Hulu oleh pada bulan April 2008 (Kalimantanreview, 2015).
Kasus eksklusi yang terjadi pada masyarakat adat seperti yang sudah dijelaskan merupakan bentuk ekskklusi yang terjadi akibat interaksi antara peraturan (regulation), paksaan (force) (Hall, Hirsch dan Li, 2011).

             





DAFTAR PUSTAKA


Brigitta Hauser-Schaublin, 2013, Adat and Indigeneity in Indonesia, Universitatsverlag Gottingen
Byrne David, 2005 Social Exclusi, New York: Open University Press
Hall Derek, Philip Hirsch and Tania Murray Li, 2011, Powers of Exclusion: Land dilemmas in Southeast Asia, Singapore: NUS Press
Haralambos & Holborn, 2004, Sociology (Theme and Perspectives), London: Harper Collins Publisher


UU No 27 Tahun 2007

diakses pada tanggal 31 November 2015