“Berhenti mengeluh tidaklah cukup.
Berkata-kata indah penuh semangat juga tidak pernah cukup. Lakukan sesuatu sekarang.
Bergabung dalam kerumunan positif dan terlibat membangun masyarakat sipil yang
kuat.” Gerakan-gerakan masyarakat sipil seperti ini dapat menjangkau desa-desa
terpencil sekalipun, sehingga kesamaan kesempatan (Equality of Oppertunity)
dalam mengakses pendidikan oleh anak - anak di daerah dapat tercapai dan yang
paling utama dengan adanya CSO atau komunitas-komunitas tentunya dapat membantu
pemerintah dalam menyelesaikan “pekerjaan-pekerjaan rumahnya” (Indonesia Mengajar, 2015).
Image from www.google.com |
Keterkaitan
Pendidikan dengan Eksklusi Sosial. Eksklusi sosial dibidang pendidikan
merupakan implikasi dari kemiskinan. Seperti disebutkan Smith dan Noble dikutip
Harlambos dan Holborn (2004):
“In
a study of the effect of poverty on schooling. Barriers to learning which can
result from low income.”
Namun terdapat
pula masyarakat berpenghasilan rendah (bukan miskin) yang memilki kesadaran
tinggi terhadap pendidikan. Mereka tetap menyekolahkan anaknya walaupun keadan
ekonomi keluarga sulit. Hal ini berimplikasi pada proses pembelajara di
sekolah, Smith dan Noble seperti dikutip Harlambos dan
Halborn (2004) menyebutkan
hambatan-hambatan dalam belajar yang disebabkan karena faktor pendapatan
(ekonomi), atau sering disebut dengan istilah Barriers to Learning,
yaitu diantaranya:
1. Ketidakmampuan
untuk mendapatkan seragam sekolah, perjalanan ke sekolah, transportasi ke
sekolah dan dari sekolah, fasilitas belajar di kelas, dan untuk beberapa kasus
sulitnya mendapatkan sumber bacaan sekolah. Hal demikian dapat menyebabkan anak
terisolasi, tertindas, dalam proses belajar disekolah meraka.
2. Anak
anak dari keluarga yang berpendapatan rendah kemungkinan besar mengalami
masalah kesehatan yang bisa mempengaruhi kehadiran dan proses belajar di
sekolah.
3. Ekonomi
rendah diartikan bahwa orang tua tidak mampu memberikan biaya atau akses
pendidikan privat untuk anak mereka.
4. Ekonomi
rendah sangat mungkin tidak memiliki akses komputer rumah dengan internet, meja
belajar, alat peraga, buku, tempat ketika mengerjakan PR, dan rumah yang nyaman
dan baik untuk menunjang belajar.
5. The
marketization of school memungkinkan peningkatan polarisasi
keberhasilan, fasilitas sekolah yang baik berada di daerah maju sedangkan
sekolah-sekolah berfasilitas rendah ada di daerah miskin. Hal tersebut akan
mengurangi kesempatan anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan
pendidikan yang layak.
Selain konsep Barriers to
Learning, permasalahan-permasalah dalam dunia pendidikan yang sifatnya
mengeksklusi yaitu Poverty penalty menjelaskan
fenomena dimana masyarakat miskin membayar lebih mahal untuk makan dan membeli
barang dibandingkan masyarakat kelas atas (Prahald, 2009). Menurut Muller (2002) dan Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar
lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal di daerah terpencil dengan biaya
transportasi lebih mahal atau karena mereka tinggal di daerah lingkungan
informal dimana kurangnya lnfrastruktur khususnya transportasi.
Jika ditanya, bagaimana dengan kasus di Indonesia? Apakah kedua
konsep diatas relevan dengan konteks masyarakat Indonesia dewasa ini?
Jawabannya adalah Benar. Benar masih saja dibeberapa daerah di Indonesia dapat
kita temukan permasalahan-permasalahan yang ada seputar pendidikan.
Seperti misalnya sebuah berita dari Tempo (2015), menyebutkan bahwa jarak
tempuh untuk mencapai sekolah tidak bisa dikatakan jaraknya dekat, seperti
berikut:
“Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data bahwa berdasarkan
hasil pendataan potensi desa yang dilakukan tiga kali dalam sepuluh tahun,
sebanyak 10.985 desa masih belum memiliki sekolah dasar (SD) atau mencapai
13,37 persen. "Sebanyak 10.985 desa masih belum memiliki sekolah dasar,
termasuk madrasah ibtidaiyah, atau sebesar 13,37 persen dari total 82.190
desa," kata Kepala BPS Suryamin dalam jumpa pers di Jakarta, Senin, 16
Februari 2015.
Suryamin mengatakan, dari 10.985 desa yang tidak memiliki
sekolah dasar tersebut, sebanyak
2.438 desa atau kelurahan di antaranya memiliki jarak tempuh sedikitnya tiga
kilometer ke SD terdekat. Sedangkan 86,63 persen lainnya sudah memiliki
sarana sekolah dasar.
"Untuk sarana pendidikan SLTP sudah ada di 6.799 kecamatan,
atau mencapai 96,11 persen. Adapun 275 kecamatan atau 3,89 persen tidak
memiliki sarana pendidikan SLTP," ujar Suryamin.
Dari 275 kecamatan
yang tidak memiliki sarana pendidikan SLTP tersebut, sebanyak 66,91 persen, atau 184 kecamatan, jarak tempuh ke SLTP
terdekat lebih dari enam kilometer
Untuk tingkat SLTA, masih terdapat 816 kecamatan atau 11,54
persen yang belum memiliki sarana pendidikan tersebut. Sebanyak 508 kecamatan di antaranya, jarak tempuh ke SLTA terdekat
lebih dari enam kilometer.
Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa mereka (anak-anak
yang berada di daerah terpencil dan miskin) harus “mengeluarkan biaya lebih
untuk bersekolah” atau dengan kata lain mereka kena Poverty Penalty. Senada dengan apa yang dijelaskan Muller (2002) dan
Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal
di daerah terpencil dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena mereka
tinggal di daerah lingkungan informal dimana kurangnya lnfrastruktur khususnya
transportasi.Selain itu pula data tersebut menunjukan bahwa Barriers to Learning begitu kentara disana. Masih ada di beberapa
Desa, atau kecamatan tidak memiliki sarana pendidikan yang menunjang pendidikan
mereka. Seperti yang disebutkan Harlambos dan Halborn hambatan-hambatan
dalam belajar yang disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi), atau sering
disebut dengan istilah Barriers to
Learning, yaitu ketidakmampuan untuk mendapat fasilitas
belajar di kelas, dan sulitnya mendapatkan sumber bacaan sekolah (Haralambos dan Holborn, 2004)
Solusi yang penulis tawarkan untuk pemerintah yaitu pertama, pemerintah
harus benar-benar mengupayakan (secara struktural) misalnya dengan
program-program yang berorientasi pada “pembangunan” masyarakat yang berada di
daerah-daerah terpencil. Misalnya program KIP (Kartu Indonesia Pintar). Program
tersebut harus diupayakan mampu mencapai hingga daerah-daerah terpencil secara massif.
Kedua, pemerintah harus men-support kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh CSO atau komunitas-komunitas, jika perlu dibentuklah regulasi yang
menunjukan apresiasi pemerintah kepada CSO.
Program CSR yang menurut hemat
penulis mampu “meratakan” pendidikan hingga ke daerah-daerah yaitu CSR yang
berupa beasiswa. Namun permasalahannya pada tataran teknis pengimplementasian
beasiswa tersebut (kerap terjadi salah sasaran). Maka solusinya adalah perlu
“seleksi administrasi dan kapabelitas” penerima beasiswa secara bertanggung
jawab, jika perlu tanda tangan diatas materai dan dilibatkannya lembaga penegak
hukum jika dikemudian hari terdapat kecurangan.
Peran komunitas atau
hadirnya CSO seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, Seperti misalnya Gerakan Indonesia Mengajar besutan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan era dewasa ini. Seperti tag
line atau moto yang diusung “Berhenti mengeluh tidaklah cukup.
Berkata-kata indah penuh semangat juga tidak pernah cukup. Lakukan sesuatu sekarang.
Bergabung dalam kerumunan positif dan terlibat membangun masyarakat sipil yang
kuat.” Gerakan-gerakan masyarakat sipil seperti ini dapat menjangkau desa-desa
terpencil sekalipun, sehingga kesamaan kesempatan (Equality of Oppertunity)
dalam mengakses pendidikan oleh anak - anak di daerah dapat tercapai dan yang
paling utama dengan adanya CSO atau komunitas-komunitas tentunya dapat membantu
pemerintah dalam menyelesaikan “pekerjaan-pekerjaan rumahnya” (Indonesia Mengajar, 2015).