Selasa, 16 Februari 2016

Quo Vadis Tri Dharma Perguruan Tinggi Antara Akademis dan Politis (Kekuasaan)

Tri Dharma Perguruan Tinggi jangan hanya sebatas labellling, namun sebagai acuan cita-cita luhur yang selalu dijunjung tinggi seluruh sivitas akademika di Negeri ini. Bukan ajang gontok-gontokan kekuasaan, namun cita-cita luhur yang perlu diimplementasikan.
 
Quo Vadis Tri Dharma Perguruan Tinggi atau mau dibawa kemana Tri Dharma Perguruan Tinggi? nampaknya menjadi sebuah istilah yang seakan-akan baru untuk dipertanyakan. Terlebih istilah tersebut muncul kepermukaan setelah Menristek Dikti Muhammad Nasir menyampaikan bahwa mulai Tahun 2016 Menristek Dikti akan menggenjot publikasi ilmiah di Indonesia. Para Peneliti yang bekerja di badan penelitian maupun dosen-dosen yang berada di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta, akan diganjar jika tulisan/ hasil penelitiannya masuk Jurnal Internasional yang terindeks dengan dihargai 100 juta (sebagai reward prestasi). 

Disusul pula dengan pernyataan dari Kementerian Agama melalui Ditjen Pendidikan Islam akan memberikan apresiasi kepada sivitas akademika (dalam hal ini Dosen dan Mahasiswa, pun demikian dengan pengelola Jurnal Kampus) yang berprestasi. Mereka yang mampu terus berkarya dan memiliki dampak bagi Masyarakat secara luas, Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin -tidak lain tidak bukan- juga ingin memacu para sivitas akademika terutama di bidang pendidikan Islam untuk terus berkarya, tentunya berupa hasil penelitian-penelitian ilmiah. 
Image: www.google.com

Terlepas dari implementasinya seperti apa, dari pernyataan-pernyataan diatas tersebut seakan-akan menggugah ingatan bahwa di dunia akademis, sivitas akademika (dalam hal ini Dosen dan Mahasiswa) memiliki kewajiban yang dibalut dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Pertanyaannya apakah para Dosen di Negeri ini sudah menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi? atau malah hanya gontok-gontokan untuk mendapatkan kedudukan struktural kampus yang setinggi-tingginya. Seperti misalnya berambisi menjadi Ketua Jurusan, Dekan hingga Rektor di kampusnya masing-masing. 

Dan apakah para Mahasiswa dilibatkan dalam penelitian-penelitian yang dilakukan kampusnya? Selain itu pula apakah pengelola Jurnal Kampus sudah benar-benar menerapkan sitematika penulisan yang baik dan benar? 

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada titik tertentu antara dosen, mahasiswa dan pengelola jurnal memiliki titik temu dalam arti saling bersinergi. Misalnya saja ketika dosen melakukan sebuah penelitian, mahasiswa pun dilibatkan dalam penelitian dosen tersebut, misalnya sebagai seorang enumerator dosen. Setelah penelitian selesai maka hasil penelitian tersebut dibuat dalam bentuk jurnal di kampusnya masing-masing. Dan pada titik akhir penelitian tesebut (lewat jurnal kampus) diproyeksikan untuk di publikasi di jurnal Internasional. Jadi ada keterlibatan jurnal kampus untuk menggenjot publikasi ke jurnal Internasional.

Selain itu pula yang tidak kalah penting peran dari para pengelola jurnal itu sendiri harus sudah mempersiapkan diri dalam arti kapabilitas para pengelola sudah disiapkan, misalnya dengan mengundang ahli untuk melakukan workshop kepenulisan dan jika memang diperlukan cari pendamping yang memang expert dalam bidang kepenulisan jurnal untuk mendampingi atau bisa juga merekrut ahli yang siap ditempatkan jadi pengelola jurnal di kampus.

Kembali kepada pembahasan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi jangan sampai hanya tinggal nama yang me-labelling para pendidik di dunia kampus dan para Mahasiswa. Dunia kampus yang semestinya menjadi tempat dimana para pendidik (dosen) menyampaikan ilmunya dengan mengajar para Mahasiswa sesuai dengan ketentuan (SOP) dan tidak melupakan aspek pengabdian dan penelitian. Malah dijadikan sebagai ajang gontok-gontokan untuk mendapatkan kekuasaan. Ketika kekuasaan sudah didapatkan, sang dosen malah asyik, duduk nyaman di kursi empuknya dan enggan lagi melangkahkan kakinya ke kelas untuk mengajar Mahasiswa, apalagi melakukan sebuah penelitian ilmiah, dan pengabdian masyarakat -untuk pengabdian kepada masyarakat nampaknya sudah tercipta karena dosen berkaitan langsung dengan lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal, itu pun karena berada diluar ‘jam’ kampus- yang sebenarnya menjadi tugas utama dosen. Karena tidak sedikit pula dosen yang sudah duduk di kursi empuknya enggan lagi masuk kelas malah seakan melimpahkan tugas pada dosen kedua atau asisten dosen. Dengan berdalih, “maaf saya sibuk”. Terus anda di gaji bukankah sebagai Dosen (PNS) yang tugas utamanya sebagai pengajar bukan sebagai pejabat struktural (PNS) an sich?

Tapi senyatanya bagi sebagian dosen yang memiliki tanggung jawab pada tugas utamanya yaitu melakukan proses mengajar, walaupun memiliki posisi struktural tetap saja ia bisa menyempatkan diri untuk mengajar. Permasalahan sebenarnya terletak pada tergerusnya integritas tanggung jawab karena itikad awalnya sudah salah, yaitu berambisi pada kekuasaan semata, sehingga gontok-gontokan kekuasaan pun tidak terelakan.
Begitu pula bagi para Mahasiswa dengan kewajibannya melaksanakan proses pembelajaran dan terus melakukan penelitian-penelitian, minimalnya dilibatkannya mahasiswa dalam penelitian dosen.

Analisis Struktur, Kultur dan Prosesual
Jika merujuk pada pemikiran Prof. Paulus Wirutomo (pakar Sosiologi Pendidikan UI) fenomena tersebut dapat dilihat dari aspek Struktur, Kultur, dan Proses Sosial. Tri Dharma Perguruan Tinggi merupakan sebuah aturan (struktur) yang mewajibkan bagi para sivitas akademika (dalam hal ini dosen dan mahasiswa) untuk melaksanakan ketiga kewajiban tersebut, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Namun pada kenyataannya hampir disetiap perguruan tinggi kebiasaan yang nampak sudah terinternalisasi (kultur) seakan-akan bertolak belakang dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut terutama dalam hal penelitian yang dilanjutkan dengan publikasi ilmiah. Karena terdapatnya Negosiasi atau tawar menawar (proses sosial) antara para sivitas akademika dengan aturan Tri Dharma Perguruan Tinggi (struktur), sehingga menjadikan sebuah kebiasaan (kultur) yang seakan-akan dibenarkan oleh semua sivitas akademika (mengabaikan Tri Dharma Perguruan Tinggi). Dan pada akhirnya aturan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam hal ini struktur mampu dikulturkan (Structurally dominated Cultur). Aturan (Tri Dharma Perguruan Tinggi) tidak ditaati dianggap benar karena menjadi kemafhuman secara umum. 

Bagi para Mahasiswa pun demikian. Merujuk Tri Dharma Perguruan Tinggi (struktur) sudah jelas bahwa Mahasiswa memiliki kewajiban untuk melakukan pendidikan tentunya berupa proses belajar di kelas dan di luar kelas. Selain itu pengabdian masyarakat berupa kontribusi bagi lingkungannya masing-masing atau berupa Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKN) yang diprogramkan pihak kampus dan Penelitian (setidaknya dilibatkan pada penelitian Dosen). Namun Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut (struktur) mengalami negosiasi, tawar-menawar (proses sosial) yang begitu pelik. Seperti misalnya adanya pernyataan dari dosen dengan sivitas kampus atau dalam hal ini misalnya pengelola jurnal kampus, “Tidak perlulah melibatkan Mahasiswa, belum tentu Mahasiwa juga mampu melakukan penelitian dengan cara membantu dosen tersebut”. Sehingga mahasiswa pun tidak dilibatkan dalam penelitian.

Sebenarnya dengan dilibatkan Mahasiswa dalam penelitian dosen, menjadi proses pembelajaran bagi Mahasiswa, bukan malah dilarang atau berlaku skeptis pada kemampuan Mahasiswa. 

Pada pelaksanaannya jika memang mahasiswa dilibatkan, namun tetap saja muncul permasalahan. Ketika mahasiswa dilibatkan selalu mahasiswa yang dekat dengan dosen bersangkutan. 

Senyatanya atau seharusnya dilakukan seleksi yang ketat misalnya dibuat seleksi bagi Mahasiswa dengan membuat paper maka bagi yang lolos akan disertakan dalam penelitian-penlitian dosen. 

Pada akhirnya dimensi ‘kultur’ (akhir) akan tercipta yang tergantung pada ‘proses sosial’ yang terjadi, misalnya dosen melibatkan mahasiswa –tentu yang kapabel- dan hal yang demikian menjadi prinsip kampus (internalized) maka akan menjadi sebuah ‘kultur’ yang baik yang akan terciptnya kampus yang mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi secara baik. Tri Dharma Perguruan Tinggi tidak hanya sebatas aturan (struktur) tapi sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging (internalized) maka kemudian itu disebut ‘kultur’. Jika sebaliknya, maka Tri Dharma Perguruan Tinggi hanya akan sebatas labelling semata.

Jika melihat dari pernyataan Menristek Dikti. Menristek Dikti menilai bahwa Indonesia masih tertinggal dalam hal penelitian yang terpublikasi melalui jurnal Internasional yang terindeks, masih kalah dari Singapura, Malayasia, Thailand dan hanya unggul sedikit dari Filipina. Yang nota bene jika dilihat dari banyaknya penduduk Indonesia, mestinya Indonesia lebih unggul dibandingkan Negara-negara di Asia Tenggara, terlebih Negara-negara lain di Dunia. 

Maka pada akhirnya di Indonesia ini perlunya menciptakan dunia akademik yang berangkat dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Tri Dharma Perguruan Tinggi jangan hanya sebatas labellling, namun sebagai acuan cita-cita luhur yang selalu dijunjung tinggi oleh seluruh sivitas akademika dan selalu dijalankan para Dosen, Mahasiswa dan sivitas akademika di negeri ini. Keterlibatan jurnal kampus pun menjadi sebuah sarana untuk menggenjot publikasi di Indonesia, yang pada titik akhir penelitian tesebut (lewat jurnal kampus) diproyeksikan untuk di publikasi di jurnal Internasional. Sehingga akan terciptanya dunia kampus yang mampu bersaing dengan universitas lain di dunia dan mampu mengangkat harkat martabat bangsa sehingga lebih disegani lagi oleh bangsa lain terutama dalam hal akademik atau dibidang keilmuan dan pengetahuan.[]  


NB: Tulisan ini pernah dipublikasikan di laman tajuk pembaca pada website kampus.top
link: http://kampus.top/2016/02/15/quo-vadis-tri-dharma-perguruan-tinggi