Tri Dharma Perguruan Tinggi jangan
hanya sebatas labellling, namun
sebagai acuan cita-cita luhur yang selalu dijunjung tinggi seluruh sivitas
akademika di Negeri ini. Bukan ajang gontok-gontokan kekuasaan, namun cita-cita
luhur yang perlu diimplementasikan.
Quo Vadis Tri
Dharma Perguruan Tinggi atau mau dibawa kemana Tri Dharma Perguruan Tinggi?
nampaknya menjadi sebuah istilah yang seakan-akan baru untuk dipertanyakan. Terlebih
istilah tersebut muncul kepermukaan setelah Menristek Dikti Muhammad Nasir
menyampaikan bahwa mulai Tahun 2016 Menristek Dikti akan menggenjot publikasi
ilmiah di Indonesia. Para Peneliti yang bekerja di badan penelitian maupun
dosen-dosen yang berada di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta, akan diganjar
jika tulisan/ hasil penelitiannya masuk Jurnal Internasional yang terindeks dengan
dihargai 100 juta (sebagai reward prestasi).
Disusul
pula dengan pernyataan dari Kementerian Agama melalui Ditjen Pendidikan Islam akan
memberikan apresiasi kepada sivitas akademika (dalam hal ini Dosen dan
Mahasiswa, pun demikian dengan pengelola Jurnal Kampus) yang berprestasi.
Mereka yang mampu terus berkarya dan memiliki dampak bagi Masyarakat secara luas,
Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin -tidak lain tidak bukan- juga ingin
memacu para sivitas akademika terutama di bidang pendidikan Islam untuk terus
berkarya, tentunya berupa hasil penelitian-penelitian ilmiah.
Terlepas dari implementasinya seperti
apa, dari pernyataan-pernyataan diatas tersebut seakan-akan menggugah ingatan bahwa
di dunia akademis, sivitas akademika (dalam hal ini Dosen dan Mahasiswa) memiliki
kewajiban yang dibalut dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan,
Penelitian dan Pengabdian. Pertanyaannya apakah para Dosen di Negeri ini sudah
menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi? atau malah hanya gontok-gontokan untuk
mendapatkan kedudukan struktural kampus yang setinggi-tingginya. Seperti misalnya
berambisi menjadi Ketua Jurusan, Dekan hingga Rektor di kampusnya
masing-masing.
Dan
apakah para Mahasiswa dilibatkan dalam penelitian-penelitian yang dilakukan
kampusnya? Selain itu pula apakah pengelola Jurnal Kampus sudah benar-benar
menerapkan sitematika penulisan yang baik dan benar?
Sebelum
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada titik tertentu antara dosen,
mahasiswa dan pengelola jurnal memiliki titik temu dalam arti saling bersinergi.
Misalnya saja ketika dosen melakukan sebuah penelitian, mahasiswa pun
dilibatkan dalam penelitian dosen tersebut, misalnya sebagai seorang enumerator dosen. Setelah penelitian
selesai maka hasil penelitian tersebut dibuat dalam bentuk jurnal di kampusnya
masing-masing. Dan pada titik akhir penelitian tesebut (lewat jurnal kampus)
diproyeksikan untuk di publikasi di jurnal Internasional. Jadi ada keterlibatan
jurnal kampus untuk menggenjot publikasi ke jurnal Internasional.
Selain
itu pula yang tidak kalah penting peran dari para pengelola jurnal itu sendiri harus
sudah mempersiapkan diri dalam arti kapabilitas para pengelola sudah disiapkan,
misalnya dengan mengundang ahli untuk melakukan workshop kepenulisan dan jika memang diperlukan cari pendamping
yang memang expert dalam bidang
kepenulisan jurnal untuk mendampingi atau bisa juga merekrut ahli yang siap
ditempatkan jadi pengelola jurnal di kampus.
Kembali
kepada pembahasan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi jangan
sampai hanya tinggal nama yang me-labelling
para pendidik di dunia kampus dan para Mahasiswa. Dunia kampus yang
semestinya menjadi tempat dimana para pendidik (dosen) menyampaikan ilmunya
dengan mengajar para Mahasiswa sesuai dengan ketentuan (SOP) dan tidak melupakan
aspek pengabdian dan penelitian. Malah dijadikan sebagai ajang gontok-gontokan untuk
mendapatkan kekuasaan. Ketika kekuasaan sudah didapatkan, sang dosen malah
asyik, duduk nyaman di kursi empuknya dan enggan lagi melangkahkan kakinya ke
kelas untuk mengajar Mahasiswa, apalagi melakukan sebuah penelitian ilmiah, dan
pengabdian masyarakat -untuk pengabdian kepada masyarakat nampaknya sudah tercipta
karena dosen berkaitan langsung dengan lingkungan masyarakat dimana mereka
tinggal, itu pun karena berada diluar ‘jam’ kampus- yang sebenarnya menjadi
tugas utama dosen. Karena tidak sedikit pula dosen yang sudah duduk di kursi
empuknya enggan lagi masuk kelas malah seakan melimpahkan tugas pada dosen
kedua atau asisten dosen. Dengan berdalih, “maaf saya sibuk”. Terus anda di
gaji bukankah sebagai Dosen (PNS) yang tugas utamanya sebagai pengajar bukan
sebagai pejabat struktural (PNS) an sich?
Tapi
senyatanya bagi sebagian dosen yang memiliki tanggung jawab pada tugas utamanya
yaitu melakukan proses mengajar, walaupun memiliki posisi struktural tetap saja
ia bisa menyempatkan diri untuk mengajar. Permasalahan sebenarnya terletak pada
tergerusnya integritas tanggung jawab karena itikad awalnya sudah salah, yaitu berambisi
pada kekuasaan semata, sehingga gontok-gontokan kekuasaan pun tidak terelakan.
Begitu
pula bagi para Mahasiswa dengan kewajibannya melaksanakan proses pembelajaran
dan terus melakukan penelitian-penelitian, minimalnya dilibatkannya mahasiswa
dalam penelitian dosen.
Analisis
Struktur, Kultur dan Prosesual
Jika
merujuk pada pemikiran Prof. Paulus Wirutomo (pakar Sosiologi Pendidikan UI) fenomena
tersebut dapat dilihat dari aspek Struktur, Kultur, dan Proses Sosial. Tri Dharma
Perguruan Tinggi merupakan sebuah aturan (struktur) yang mewajibkan bagi para
sivitas akademika (dalam hal ini dosen dan mahasiswa) untuk melaksanakan ketiga
kewajiban tersebut, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Namun pada
kenyataannya hampir disetiap perguruan tinggi kebiasaan yang nampak sudah
terinternalisasi (kultur) seakan-akan bertolak belakang dengan Tri Dharma
Perguruan Tinggi tersebut terutama dalam hal penelitian yang dilanjutkan dengan
publikasi ilmiah. Karena terdapatnya Negosiasi atau tawar menawar (proses
sosial) antara para sivitas akademika dengan aturan Tri Dharma Perguruan Tinggi
(struktur), sehingga menjadikan sebuah kebiasaan (kultur) yang seakan-akan
dibenarkan oleh semua sivitas akademika (mengabaikan Tri Dharma Perguruan
Tinggi). Dan pada akhirnya aturan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam hal ini
struktur mampu dikulturkan (Structurally
dominated Cultur). Aturan (Tri Dharma Perguruan Tinggi) tidak ditaati dianggap
benar karena menjadi kemafhuman secara umum.
Bagi
para Mahasiswa pun demikian. Merujuk Tri Dharma Perguruan Tinggi (struktur) sudah
jelas bahwa Mahasiswa memiliki kewajiban untuk melakukan pendidikan tentunya
berupa proses belajar di kelas dan di luar kelas. Selain itu pengabdian
masyarakat berupa kontribusi bagi lingkungannya masing-masing atau berupa
Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKN) yang diprogramkan pihak kampus dan
Penelitian (setidaknya dilibatkan pada penelitian Dosen). Namun Tri Dharma
Perguruan Tinggi tersebut (struktur) mengalami negosiasi, tawar-menawar (proses
sosial) yang begitu pelik. Seperti misalnya adanya pernyataan dari dosen dengan
sivitas kampus atau dalam hal ini misalnya pengelola jurnal kampus, “Tidak
perlulah melibatkan Mahasiswa, belum tentu Mahasiwa juga mampu melakukan
penelitian dengan cara membantu dosen tersebut”. Sehingga mahasiswa pun tidak
dilibatkan dalam penelitian.
Sebenarnya
dengan dilibatkan Mahasiswa dalam penelitian dosen, menjadi proses pembelajaran
bagi Mahasiswa, bukan malah dilarang atau berlaku skeptis pada kemampuan
Mahasiswa.
Pada
pelaksanaannya jika memang mahasiswa dilibatkan, namun tetap saja muncul permasalahan.
Ketika mahasiswa dilibatkan selalu mahasiswa yang dekat dengan dosen
bersangkutan.
Senyatanya
atau seharusnya dilakukan seleksi yang ketat misalnya dibuat seleksi bagi
Mahasiswa dengan membuat paper maka
bagi yang lolos akan disertakan dalam penelitian-penlitian dosen.
Pada
akhirnya dimensi ‘kultur’ (akhir) akan tercipta yang tergantung pada ‘proses
sosial’ yang terjadi, misalnya dosen melibatkan mahasiswa –tentu yang kapabel- dan
hal yang demikian menjadi prinsip kampus (internalized)
maka akan menjadi sebuah ‘kultur’ yang baik yang akan terciptnya kampus yang mengimplementasikan
Tri Dharma Perguruan Tinggi secara baik. Tri Dharma Perguruan Tinggi tidak
hanya sebatas aturan (struktur) tapi sudah menjadi kebiasaan yang mendarah
daging (internalized) maka kemudian
itu disebut ‘kultur’. Jika sebaliknya, maka Tri Dharma Perguruan Tinggi hanya
akan sebatas labelling semata.
Jika
melihat dari pernyataan Menristek Dikti. Menristek Dikti menilai bahwa
Indonesia masih tertinggal dalam hal penelitian yang terpublikasi melalui
jurnal Internasional yang terindeks, masih kalah dari Singapura, Malayasia,
Thailand dan hanya unggul sedikit dari Filipina. Yang nota bene jika dilihat
dari banyaknya penduduk Indonesia, mestinya Indonesia lebih unggul dibandingkan
Negara-negara di Asia Tenggara, terlebih Negara-negara lain di Dunia.
Maka
pada akhirnya di Indonesia ini perlunya menciptakan dunia akademik yang
berangkat dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan
Pengabdian. Tri Dharma Perguruan Tinggi jangan hanya sebatas labellling, namun sebagai acuan
cita-cita luhur yang selalu dijunjung tinggi oleh seluruh sivitas akademika dan
selalu dijalankan para Dosen, Mahasiswa dan sivitas akademika di negeri ini. Keterlibatan
jurnal kampus pun menjadi sebuah sarana untuk menggenjot publikasi di Indonesia,
yang pada titik akhir penelitian tesebut (lewat jurnal kampus) diproyeksikan
untuk di publikasi di jurnal Internasional. Sehingga akan terciptanya dunia
kampus yang mampu bersaing dengan universitas lain di dunia dan mampu
mengangkat harkat martabat bangsa sehingga lebih disegani lagi oleh bangsa lain
terutama dalam hal akademik atau dibidang keilmuan dan pengetahuan.[]
NB: Tulisan ini pernah dipublikasikan di laman tajuk pembaca pada website kampus.top
link: http://kampus.top/2016/02/15/quo-vadis-tri-dharma-perguruan-tinggi
link: http://kampus.top/2016/02/15/quo-vadis-tri-dharma-perguruan-tinggi