Oleh Agus Mauluddin
Politik yang hanya ada di negara, agama hanya untuk di tempat ibadah saja?
Ketika berbicara tentang sekularisme, tentunya tidak terlepas dari term pemisahan antara agama dan negara. Negara Indonesia yang nota bene berideologi Pancasila yang secara historis disebutkan bahwa ideologi Pancasila adalah gambaran dari karakteristik bangsa Indonesia. Secara esensial, ideologi Pancasila ini begitu kentara memiliki afiliasi dengan agama. Agama seakan-akan tidak bisa dikotomikan dengan negara, begitu juga sebaliknya.
Ideologi Pancasila sering kita artikan sebagai ideologi murni bangsa Indonesia. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, jika dilihat secara historis pun bahwa para founding fathers telah merumuskan Pancasila hingga seperti saat ini adanya, tentu tidak semudah yang dibayangkan. Tentunya perlu pertimbangan yang matang, dan perenungan yang mendalam.
Para founding fathers dalam merumuskan Pancasila yang senyatanya memang berangkat dari penjabaran bangsa Indonesia sendiri.
Sekularisme begitu ramai diperbincangkan, khususnya di dunia akademisi. Memang menjadi suatu topik yang menarik untuk dielaborasi. Akan tetapi, ketika dipertanyakan secara tataran praktisnya, apakah sekularisme ini relevan jika diterapkan di Indonesia mengingat Indonesia berideologi Pancasila?
Indonesia adalah suatu negara yang menerapkan sistem demokrasi Pancasila di mana seperti yang dipaparkan sebelumnya, bahwa Indonesia begitu kentara dengan agama. Walaupun memang terdapat 6 agama yang dilegitimasi di Indonesia, yang kesemuanya memang berbeda akan tetapi sama secara substantif, sama-sama mengajarkan ‘nilai kebenaran dan kebaikan’.
Berangkat dari sekularisme, secara simplifikasinya di Indonesia tidak relevan jika menerapkan paham sekuler atau mendikotomikan agama dengan negara. Akan tetapi secara definitif sekularisme dalam historis-nya, yakni ketika sekitar abad ke-18 terjadinya ‘sekularisasi’ di mana yang awalnya segala hukum sesuatu itu diserahkan sepenuhnya pada gereja, tidak diberi kesempatannya seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya.
Akan tetapi, di sana mulai adanya sekularisme, yang mana gereja tidak lagi menjadi sentral, akan tetapi dengan sekularisme itu seseorang bebas mengekspresikan dirinya. Dalam artian di sini adanya zaman pencerahan (enlightening), kebangkitan bangsa Eropa di dunia.
Serara substantif timbul adanya sekularisme ini memang bagus. Jika kita menyoroti historis Islam pun akan sama juga. Misalnya saja, ketika pada abad ‘kemunduran Islam’. Islam seakan-akan begitu terpuruk. Para tokoh Muslim memperbincangkan hal itu, kenapa Islam bisa terpuruk?
Para tokoh Muslim pun memberikan solusi dan alasannya kenapa Islam seakan-akan terpuruk pada era saat itu. Ternyata setelah dicermati, bahwa Islam selangkah tertinggal dari ‘Barat’. Yang notabene Barat sudah maju dalam ilmu pengetahuannya. Nah, di sana para muslimin seakan-akan tercerahkan. Dan, memiliki gagasan untuk menerapkan ‘sekularisme’, yang mana sekularisme di sini dijabarkan tidak secara ekstrim. Ekstrim dalam artian senyata-nyatanya memisahkan antara agama dan negara, agama hanya untuk di masjid saja, politik yang hanya ada di negara. Penulis rasa para muslimin saat itu tidak seperti demikian.
Nah, jika diafiliasikan dengan bangsa Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim, berideologi Pancasila, penulis rasa jika harus menerapkan sekularisme bisa dipandang relevan, bisa tidak. Tapi, penulis konvergensikan, jika sekularisasi diejawantahkannya pada pemisahan antara agama dan negara yang secara ekstrim maka penulis rasa tidak setuju jika sekularisme diterapkan.
Akan tetapi, jika hanya sebatas ranah ‘kebebasan dalam berinovasi’ dalam artian menciptakan suatu yang baru ataupun ‘meniru’ teknologi Barat dan menerapkan di Indonesia tanpa agama melarang, penulis rasa setuju dengan hal tersebut. Penulis menitik-beratkan, jika memang sesuatu yang baru itu dipandang bagus kenapa tidak untuk diimplementasikan di Negara Indonesia tercinta ini.
Sumber: Suarakarya.id